webnovel

QOLLBII QOLLBUKA

"Saya akan menangkapmu dan melucuti semua pakaianmu!" Keputusan Khawla Asyifa keluar dari dunia terlarang, membuatnya berlari dari kejaran Albert---mantan kekasih---yang tengah menagih hak satu malam dengannya. Lari tanpa memperdulikan jarak membuatnya memasuki sebuah tempat asing yang beratasnamakan pesantren, hingga dipertemukan dengan seorang Gus yang berhasil menyelamatkannya malam itu. Abizar Arfan Al-Faizan, dengan penuh keikhlasan hati, dia turut membantu Syifa menyelesaikan permasalahannya dengan Albert. Perkenalannya dengan Syifa yang cukup lama, membuatnya memantapkan hati, hingga menjadikan perempuan itu sebagai seorang istri. Namun siapa sangka, pernikahan itu hanya berlangsung tiga bulan lamanya. Gus Arfan dikabarkan meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan surat wasiat yang menyatakan ; bahwa Syifa harus menikah dengan lelaki yang sudah dia pilihkan. Syifa enggan untuk menjalankan wasiat itu. Namun, mengingat segala kebaikan suaminya serta Kiai Faizan---sang mertua---membuat Syifa mau tidak mau harus menjalankan wasiat suaminya. Syifa memutuskan untuk memantapkan hati dengan niatan berbakti kepada mertua dan juga sang suami. Perjalanan hidup Syifa tidak mulus begitu saja. Pernikahan barunya yang tanpa berlandaskan cinta, membuat Syifa kerap berpikiran untuk berpisah. Terlebih lagi ketika Syifa mendapati ada rahasia besar suami barunya yang sudah lama disembunyikan dalam rumah tangga mereka.

Radeka_Frishilla · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
19 Chs

Diam-diam Menemui Albert

Perkataan Sindi kemarin terus saja terngiang di ingatan Syifa hingga sekarang. Bahkan, semalam Syifa tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian pagi yang ada di depan gerbang pesantren. Syifa semakin merasa bersalah dengan semua orang. Terlebih lagi dengan Gus Arfan yang tentunya akan bertanggung jawab sepenuhnya, karena lelaki itulah yang memintakan izin kepada Kiai Faizan untuk Syifa tinggal sementara waktu di pesantren ini.

Syifa bahkan juga membenarkan perkataan Sindi perihal dirinya yang tidak pantas berada di tempat ini. Kenyamanan pesantren ini mendadak terancam semenjak kehadiran Syifa. Mengingat Albert, lelaki itu pasti tidak akan berhenti sampai di sana. Albert pasti mempunyai banyak cara agar bisa membuat Syifa kembali padanya.

Syifa sejenak melihat ke arah posisi para santriwati yang tengah melakukan kerja bakti di Jumat pagi ini. Ning Khanza dan beberapa santriwati lainnya juga mendapatkan tugas memasak untuk dinikmati ketika istrihat nanti.

Di jarak yang lumayan jauh darinya, para santriwan juga sama, mereka sedang kerja bakti membenarkan atap dan juga mengulang cat tembok yang warnanya sudah terlihat sedikit kusam.

Syifa mengembuskan napas. Dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelesaikan masalahnya sejenak dengan Albert. Lagipula, selama Syifa tinggal di sini, ponsel perempuan itu sama sekali tidak dikumpulkan seperti halnya para santri lainnya. Jadi, Syifa bisa saja saat ini menghubungi Albert agar sekarang lelaki itu menemuinya di tempat yang sudah Syifa rencanakan.

Syifa melangkah dengan mengendap-ngendap menuju pintu gerbang pesantren yang untungnya sedang dibuka. Sesekali dia memastikan keadaan sekitar, barangkali ada salah seorang dari mereka yang memergoki Syifa.

Setelah dirasa aman, Syifa langsung bergegas keluar gerbang. Perempuan itu berlari dengan sekuat tenaga ketika sudah mengeluari area pesantren Al-Huda.

"Fiwh. Aman." Syifa berujar. Kedua jempol Syifa dengan cekatan menghubungi Albert dan menyuruhnya untuk datang ke posisinya sekarang.

Seperti dugaannya, Albert langsung saja menerima ajakan Syifa. Dia berkata bahwa Syifa harus menunggu Albert kisaran dua puluh lima menit lamanya.

Sebenarnya Syifa juga ogah-ogahan mengajak ketemuan Albert kalau saja dia tidak menginginkan masalah ini kelar. Apalagi Syifa harus menunggu Albert seperti ini.

"Hai, Manis. Apakah sudah sangat lama menunggu?"

Kurang dari dua puluh menit, rupanya Albert sudah memunculkan batang hidungnya, membuat Syifa yang baru saja duduk di bebatuan besar pun langsung bangkit dan sejenak meremas kedua tangannya.

"Kamu seolah mengerti kalau saya sangat merindukanmu, Syifa. Makanya kamu mengajak saya ketemuan, bukan? Meski ... di tempat yang ... seperti ini." Albert mendekat ke posisi Syifa seraya mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Tempat yang mereka datangi memang sudah seperti hutan---banyak akan pepohonan, serta bebatuan.

Syifa memang sengaja mengajak Albert ketemuan di tempat ini. Selain karena jaraknya menghindar dari pesantren, di sini juga Syifa merasa kalau tempat ini aman untuk Syifa diam-diam menemui Albert, tanpa sepengetahuan orang.

"Atau ... jangan-jangan kamu juga merindukan saya?"

"Jangan sentuh-sentuh saya, Albert!" Spontan, Syifa menepis tangan Albert yang menyentuh dagunya. "Kamu jangan salah faham! Saya mengajakmu ketemuan karena saya ingin kamu sadar, kalau hubungan kita sudah kelar!"

Sejenak, Syifa merogoh sesuatu dari saku celanannya. Dia kemudian mengulurkan sebuah amplop cokelat ke arah Albert.

"Apa ini?" tanya Albert.

"Ini uang yang kamu gunakan untuk membayar saya kemarin dengan syarat booking satu minggu, bukan? Karena saya tidak bisa melakukannya, maka saya kembalikan uang bayaranmu. Dipastikan, kalau uang itu masih utuh. Belum saya gunakan untuk foya-foya."

Albert sejenak menatap amplop yang tersodor di hadapannya. Gigi atas dan bawahnya mulai bergesekan, kemudian kembali lagi menatap ke arah Syifa dengan tatapan tajam.

"Apa maksudmu, Syifa?" Albert bertanya dengan intonasi yang tinggi. "Apa uang ini tidak cukup?"

Syifa menggeleng tegas. "Big no, Albert!"

"Lantas?"

"Perempuan bukan barang yang harga dirinya bisa berpacuan dengan uang!"

Rahang Albert semakin mengeras. Dia menepis sebuah amplop yang tersodor di hadapannya.

Syifa bahkan terkejut mendapati amplop yang ditepis Albert hingga jatuh ke tanah.

Tanpa menunggu lama lagi, Albert langsung mencengkeram erat kedua pundak Syifa. Dia menatap tajam ke arah perempuan yang ada di hadapannya ini.

"Tatap saya, Syifa!"

Syifa malah memejam sembari merintih sakit ketika Albert semakin menguatkan cengkeramannya. "Sakit, Albert." Syifa berujar, lirih. Dia kemudian memberanikan diri untuk membuka mata.

"Saya sudah memutuskan untuk berhenti memasuki dunia gelap itu, Albert! Saya sudah lelah dengan kehidupan saya yang menjadi perempuan bayaran, kupu-kupu malam, serta pemuas para lelaki hidung belang! Saya lelah! Lagipula, saya sudah memikirkannya matang-matang kalau saya akan berhenti dengan hal terlarang itu," sambung Syifa.

"Syifa, dengarkan saya! Saya membayarmu mahal itu karena ... agar saya bisa leluasa bersama kamu, Syifa! Semenjak kamu mengakhiri hubungan kita, apa kamu berpikir saya langsung melupakanmu begitu saja?"

Syifa tidak menyahuti. Dia berusaha untuk melepaskan kedua tangan Albert yang semakin lama semakin menguatkan cengkeramannya. Bahkan, Syifa nyaris meneteskan air mata. Rintihan sakitnya seolah tidak terdengar di telinga Albert.

"Tidak, Syifa! Berapa kali lagi harus saya jelaskan kalau saya benar-benar jatuh hati kepadamu! Dengan cara membayarmu dan membookingmu, itu termasuk salah satu cara agar saya punya peluang untuk tetap bersama kamu ...." Kali ini Albert sedikit melunak. Dia perlahan merenggangkan cengkeramannya. Tangan kanannya perlahan juga mulai mengusap pipi Syifa.

"Albert, please. Lepasin saya." Syifa kembali berujar. Matanya kembali berkaca-kaca. "Tapi saya sudah memutuskan untuk mengubah hidup saya, Albert. Biarkan saya berubah." Syifa menatap sendu ke arah Albert. Dia mengiba.

Kedua sorot mata Albert kembali menatap tajam ke arah Syifa. Sedang kedua mata Syifa melirik ke arah tangan kanan Albert yang tergerak ke belakang kepalanya. Tangan itu menekan bagian tengkuk Syifa hingga membuat wajah keduanya semakin mendekat.

"Saya tidak mencintaimu, Albert." Syifa kembali mengingatkan. Meski dia mengerti kalau Albert sudah sangat mengetahuinya tentang itu.

"Tapi saya mencintaimu!" bentak Albert.

Syifa memejam dengan kuat. Dia sudah sangat pasrah dengan perlakuan kasar Albert karena marah dengan apa yang baru saja Syifa katakan. Syifa tidak melawan, karena yang dia inginkan saat ini adalah menyelesaikan masalahnya dengan Albert hingga kelar.

Namun, justru dugaan Syifa salah. Albert justru menempelkan kedua mulut mereka dan mulai beraktivitas lembut di sana. "Ingat, Syifa. Meski kamu sudah berubah seperti ini, tetapi itu sama sekali tidak membuat rasa saya ikut berubah."

Syifa hanya bergeming. Dia bahkan masih memejam, tidak berani membuka mata. Hanya air mata yang mewakilinya.

Perlahan, Albert menarik dirinya. Dia sejenak mengusap lembut air mata Syifa dan mengecupnya, kemudian memberikan ruang untuk Syifa bisa bernapas dengan lega.

"Meski kamu berkata hubungan kita selesai, itu bukan persoalan bagi saya. Bagaimanapun juga, kamu tetap akan ada di hati saya."

Perlahan, Syifa kembali membuka mata. "Tapi, apakah kamu menerima keputusan saya?" tanya Syifa.

Albert tidak menyahuti. Sekeras dan sekasar apa pun Albert, sebenarnya lelaki itu tentu masih mempunyai sisa-sisa hati nurani terhadap orang yang dicintainya, terlebih lagi ketika mendapati raut wajah mengiba Syifa tadi.

"Dan saya mohon sama kamu. Jangan sangkut pautkan urusan kita kepada orang terdekat saya, para santri Al-Huda atau bahkan kenyamanan pesantrennya."

Rahang Albert kembali lagi mengeras. Dia menyeringai. "Saya tidak berjanji untuk itu!"

Syifa terbelalak. Dia sangat mengenal Albert. Namun, Syifa juga tetap mencoba memakluminya. Dia memilih untuk mengalah saja.

"Saya harap, kamu memahami saya, Albert!" Spontan, Syifa langsung menghamburkan diri dalam dekapan Albert.

Dalam larutan dekapan dan moment mereka saat ini, mereka sama sekali bahkan tidak menyadari kalau sedari tadi ada sepasang mata yang dari awal memperhatikan mereka di tempat persembunyian. Saat dirasa sudah cukup menyaksikan, mata-mata itu bergegas pergi sebelum objek yang menjadi pacuannya memergokinya begitu saja.

"Malam ini, tidurlah dengan saya, Syifa. Jangan berpikiran kalau saya seperti pelanggan-pelanggan kamu. Seperti yang saya bilang tadi, saya melakukan itu agar saya bisa terus bersama kamu." Albert berbisik di telinga Syifa. Dia juga turut mengecup perempuan itu. Kerinduannya dengan Syifa nyaris membuatnya sedikit melupakan amarahnya.

Syifa menggeleng. Dekapan Albert yang semakin lama semakin erat membuatnya sedikit susah bernapas. "Tidak, Albert. Saya sudah memutuskan untuk tidak kembali ke dunia terlarang itu."

"Hanya satu malam, Syifa. Saya sangat merindukanmu."

Syifa menggeleng. Saat dirasa dekapan Albert perlahan merenggang, Syifa langsung menggunakan kesempatan itu untuk perlahan menarik dirinya.

"Maaf, Albert. Tidak bisa." Syifa menyahuti kemudian sejenak melihat benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Terima kasih atas waktunya menemui saya. Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Saya tadi ke sini tanpa sepengetahuan para santri dan juga Kiai. Maafkan saya, saya pamit pergi."

Tanpa menunggu persetujuan atau bahkan sahutan dari Albert, Syifa langsung berlari meninggalkan lelaki yang tengah menatap kepergiannya.

Deru napas Albert naik-turun tidak beraturan. Mati-matian tadi dia menahan kemarahan ketika mendengar fakta perihal keputusan dan juga penolakan Syifa.

"Argh! Sialan!"

Albert berteriak sembari mengacak rambutnya, frustrasi. Dia bahkan menendang pohon yang ada di dekatnya dengan begitu keras, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di kakinya.

Perlahan, Albert kembali menyeringai. "Saya akan terus berusaha untuk kembali mendapatkanmu, Syifa. Lihat saja dan tunggu tanggal mainnya."