Kiai Faizan mondar-mandir di depan pintu kelas diniyah Al-Awwal sembari melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah terhitung lebih dari satu jam Syifa izin keluar kelas diniyah. Bahkan, sampai semua kelas sudah buyar, termasuk kelas Al-Awwal, tetapi Syifa belum juga memunculkan batang hidungnya.
"Assalamu'alaikum. Afwan, Kiai. Khanza tidak menemukan keberadaan Khawla Asyifa. Khanza pada saat nanya santriwati lainnya juga katanya sama sekali tidak melihat Syifa kembali ke asrama."
Ning Khanza yang baru saja datang menemui sang Kiai pun kini berujar dengan panik. Pasalnya, dia juga sudah diberitahu Kiai Faizan perihal Syifa yang sampai sekarang belum kembali. Ning Khanza berinisiatif untuk mencari Syifa, mengira bahwa Syifa tidak betah di dalam kelas dan memutuskan untuk kembali ke asrama. Namun, nihil, perempuan itu juga tidak ditemukan di sana.
"Astaghfirullah. Ke mana kamu, Syifa." Kiai Faizan berujar, pelan. Ning Khanza yang sempat mendengar pun turut semakin merasakan kekhawatiran. Meski pada dasarnya Syifa ini bukan santriwati menetap seperti santriwati lainnya---hanya tinggal sementara seperti yang dikatakan Syifa---tetapi bagaimanapun juga siapa saja yang tinggal di pesantren tentu segala permasalahannya akan menjadi tanggung jawab besar bagi mereka. Termasuk menghilangnya Syifa saat ini.
"Saya minta tolong sama Ning Khanza buat jaga santriwati lainnya, agar tidak ada yang keluar asrama," ucap Kiai Faizan.
Ning Khanza sejenak menatap sang Kiai, tetapi setelahnya, tanpa banyak mengeluarkan tanya, perempuan itu langsung mengangguk takzim dan berpamitan kembali ke asrama.
Kiai Faizan sejenak mengunci pintu kelas kemudian melangkah menuju gerbang pesantren. Tatapan beliau mengarah ke arah gerbang yang tidak tertutup rapat. Seingat beliau, tadi ketika beliau menutup gerbang ini sudah dipastikan tertutup, tidak terbuka sedikit seperti ini.
Kiai Faizan memicing. Pikirannya seolah tengah kompak bekerja sama dengan apa yang dilihatnya ini.
"Assalamu'alaikum, Abah."
Kiai Faizan menoleh. Didapatinya sang putra tengah berada di dekatnnya. Dia tidak datang seorang diri, melainkan ada Bagas dan juga beberapa para santriwan yang turut membuntuti Gus Arfan.
"Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh," jawab Kiai Faizan.
"Afwan, Abah. Dari yang Arfan ketahui tentang berita perihal hilangnya Asyifa, apakah itu benar?"
Kiai Faizan yang mendapati pertanyaan itu pun tidak langsung menjawab. Beliau terkejut mendapati sang putra yang mengetahui perihal hilangnya salah satu santriwatinya itu. Pasalnya, Kiai Faizan belum memberitahu para santriwan. Hanya saja beliau memberitahu Ning Khanza untuk turut membantunya.
"Kamu tahu dari mana?"
"Omongan-omongan para santriwati, Abah. Mereka pada saat masih berada di depan koridor, begitu ramai membahas soal Asyifa. Bahkan ada beberapa dari mereka yang nekat untuk turut mencari Asyifa, tetapi untung ada Ning Khanza yang langsung mengamankan dan tidak memperbolehkan salah seorang dari mereka keluar asrama," terang Gus Arfan.
"Afwan, Kiai. Kalau boleh tahu, tadi Mbak Syifa izin sama Kiai bagaimana?" Kali ini Bagas yang menimpali pun mendapat anggukan dari yang lainnya. Mereka juga turut penasaran.
"Izin ke belakang, Bagas, saya kira Syifa mau ke toilet, jadi saya izinkan saja," jawab Kiai Faizan.
Gus Arfan terdiam. Seperti halnya Kiai Faizan tadi, kini tatapan lelaki itu tertuju kepada sebuah gerbang pesantren yang terbuka.
"Apa jangan-jangan Syifa keluar dari pesantren?" Kalimat itu spontan keluar dari bibir Gus Arfan.
Kiai Faizan tidak lagi dapat mengelak hal itu. Memang pada dasarnya beliau juga sempat memiliki pemikiran sama semenjak melihat gerbang pesantren yang tidak tertutup rapat. Secara logika, di luar pesantren jalanan sepi, belum lagi para santriwan dan juga santriwati yang turut mengikuti kegiatan pesantren pada malam hari.
"Afwan, Abah, Arfan minta izin. Bagaimana jika Arfan yang mencari Asyifa dengan beberapa santriwan lainnya?" Setelah beberapa saat terdiam, Gus Arfan kembali mengeluarkan suara.
Kiai Faizan menghela napas. Beliau sejenak menatap ke arah semua santriwan yang turut hadir saling sahut bersahutan untuk ikut menemani Gus Arfan.
"Hanya tiga orang saja yang ikut Nyari Syifa. Yang lainnya balik ke asrama." Kiai Faizan memberikan arahan, meski pada dasarnya sebagian dari mereka kecewa karena terpaksa harus tidak ikut Gus Arfan, tetapi mereka tidak membantah dan tetap menurut arahan Kiai Faizan.
Gus Arfan dan tiga orang santriwan---di antaranya ada Bagas---pun langsung berpamitan dengan Kiai Faizan serta santriwan yang harus tetap berada di pesantren.
Kiai Faizan serta beberapa santriwan yang ada di dekatnya kini mengamati kepergian Gus Arfan dan juga para santriwan lainnya yang semakin lama semakin jauh dari jangkauan.
Kiai Faizan mendongakkan wajahnya ke atas. Menatap suasana langit malam seraya mengembuskan napas. Beliau beristigfar, pelan, serta meminta perlindungan kepada Allah.
"Ya Allah, lindungilah mereka," ucap Kiai Faizan sembari mengadahkan kedua telapak tangannya. Para santriwan yang masih setia di dekatnya pun turun mengaminkan pelan. Mereka ikut merasakan kekhawatiran seperti apa yang sang Kiai rasakan.
***
Tepat di pangkalan ojek, Gus Arfan dan ketiga santriwan memutuskan untuk menghentikan langkah dan kompak membagi tugas. Mereka bertanya-tanya kepada pengemudi ojek dengan menyebutkan ciri-ciri Syifa barangkali perempuan itu sempat lewat di sini atau malah menaiki ojek salah seorang dari mereka.
"Dia juga memakai pashmina. Apakah Abang melihatnya? Barangkali dia lewat di sini." Gus Arfan menatap pengemudi ojek yang terlihat seolah tengah berpikir sesuatu.
Pengemudi itu sejenak membenarkan posisi duduknya di ojek, kemudian kembali menatap Gus Arfan dengan tatapan segan. Dia mengenal Gus Arfan ini putra Kiai Faizan. Secara, pesantren Al-Huda sudah sangat terkenal, termasuk di kawasan mereka, tidak mungkin juga mereka sampai tidak mengenal Kiai Faizan, sekaligus putranya.
"Maaf, Gus. Seingat saya, saya tadi sempat mengantarkan seorang perempuan yang terlihat sedang terburu-buru." Pengemudi itu sejenak menjeda ucapannya. Dia masih berusaha mengingat penumpang yang tengah dia maksud. "Saya tidak tahu, apakah perempuan itu, perempuan yang dimaksud Gus Arfan atau bukan," sambungnya lagi.
"Dia seorang diri?"
Pengemudi itu mengangguk.
"Kalau boleh tahu, dia meminta untuk diantarkan ke mana?" tanya Gus Arfan lagi.
"Di sebuah gudang. Jaraknya lumayan jauh dari sini Gus. Tadi jalanan yang macet membuat saya langsung nyari jalan pintas."
"Apakah kamu masih ingat jalannya?"
Kesekian kalinya, pengemudi itu mengangguk.
"Baik. Saya minta untuk diantarkan ke sana."
Tanpa banyak mengeluarkan tanya, pengemudi itu menurut dan memberikan Gus Arfan helm untuk lelaki itu kenakan. Sama halnya dengan santriwan yang lain, mereka turut mengikuti lajuan ojek yang ditumpangi gusnya itu dengan menaiki ojek yang yang lain.
Gus Arfan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Suasana yang mereka lewati kini terlihat begitu sepi. Perlahan, pikirannya kembali terpacu kepada Syifa. "Sebenarnya, apa yang terjadi, Asyifa? Semoga kamu baik-baik saja," gumam Gus Arfan.