webnovel

CHAPTER I - Oni Putih

Irama musik keluar dari earphone.

BOOM CHK KLAK!

Volume sekitar lima puluh persen,

Menaikan mood Anak itu, hingga ke atas secara kiasan. Dia menikmati musik yang memasuki gendang telinganya. Berirama Jazz bercampur Rap, terpadu dengan serasi, menurutnya. "Oh Yeah!" Katanya sambil menggoyangkan tubuh. Beberapa jam telah berlalu, sejak Anak itu berjalan sembari menulis lirik yang terlintas dalam benaknya. Menapaki jalan di tengah hutan besar Negara Api. Berpikir beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dirampok atau mungkin lebih buruk lagi, itu hal yang cukup realistis jika di pikirkan,

Tapi kembali.

Nama Anak itu ialah nama yang diberikan oleh Ibunya.

Arato Uzumaki.

-Dia menghentikan langkah, lalu, melepaskan topeng putih pada wajahnya. Perlahan-lahan, sambil memandangi awan-awan putih yang berkerumun. Langit itu cerah, terlihat seperti lukisan alami, Woah! Arato terpukau. Kedua pupil matanya bersinar, mencerminkan cahaya langit yang memasuki pandangannya. Seperti gelembung yang terbuat dari air, bersinar bagaikan mutiara. Membuat Anak itu merasakan, nostalgia, akan sensasi alami itu secara langsung.

Dan.

Hari itu terkesan, hari yang sangat tenang, cukup membosankan, dan itu yang dia pikir saat melihat cerahnya suasana pagi. Langit membentang seperti laut tanpa batas, pagi yang sebenarnya, hanya seperti hari-hari biasa, pada umumnya. Arato menggaruk rambut memakai pulpen.

Tetapi,

Pagi itu bukanlah pagi yang biasa bagi Arato Uzumaki. Dia menoleh, mendengarkan sesuatu, bunyi semak-semak! Di sekitarannya berbunyi. Menandakan kehidupan di tengah luasnya hutan besar Negara Api. Suara burung, hembusan angin, dedaunan semak, bergerak seperti mengikuti irama musik yang dia putar. "Sudah cukup lama." Arato tersenyum lebar, lalu kembali berjalan, meninggalkan pemikirannya di belakang kepala.

Dia menuliskan semua, inspirasi, seseorang mengejek. lagi? Lanjutnya."Uhum." Arato menghiraukan perkataan tadi sambil berpikir, Hari ini, "Langit berwarna mirip seperti air. Yo!" Dia berima. Menuliskan bait kata demi kata yang dia rasakan. Meneteskan semua perasaan dengan tinta pulpen ke dalam sebuah buku putih yang bentuknya seperti binder. "Apa-apaan itu!!"Seseorang terkejut. Suara itu terdengar dari sisi kiri secara tiba-tiba. Itu adalah suara yang sama seperti tadi. Tetapi Anak itu tidak terkejut, "Ada apa?" Dia menoleh. Bertanya kepada seorang Anak laki-laki. Anak itu setinggi dirinya, 162cm, berambut api bagaikan kompor, berpakaian layaknya seorang Samurai. Memakai hakama putih, bertali biru yang terikat di sisi kiri pinggang. Tali itu bersimpul kupu-kupu, menjadi sebuah penahan katana sepanjang 80cm di tengah tali itu. Yamato? Arato bertanya-tanya, kenapa dia terkejut begitu?? Sambil menyilangkan kedua tangan.

Yamato meliriknya dari balik topeng pada wajahnya.

Topeng putih yang sama dengan yang dia pakai sebelumnya.

Topeng berwajah Oni, bercorak tangisan darah di bawah kelopak mata. Tanpa tanduk, bertaring biru, tersenyum lebar dengan cara yang sangat mengerikan.

Topeng itu berada pada pin tas putih pembawa pesan di balik punggungnya.

Arato berjaga-jaga, "Ada apa? Yamato!" Kali ini dia terdengar lebih waspada. "A-aku r-rrrasa ada s-seseorang di sana." Yamato membalas dengan suara gugup. "Hmm..." Arato setengah percaya kepada perkataan itu. Namun, dari cara Anak berambut api itu tergugup, ini pasti serius. Pikir Arato. Anak berpakaian Samurai tadi, ya, Yamato membalas. Dia memiliki nama yang sangat spesial. Nama itu ialah nama yang diberikan langsung oleh Arato kepadanya.

Homura Yamato.

Nama Pedang bergagang hitam, tipis, berujung seperti pisau kater. Dapat menebang pohon setebal 10 sampai 20meter seperti kapas. Berada tepat di dalam sarung pedang pada punggung sweter Anak laki-laki itu. "Hmmmm!?" Arato mengangkat alis, lalu kembali menapaki jalan musim semi dengan senyuman.

Di saat itu juga,

Senyuman pada wajahnya berubah menjadi ekspresi ragu. Seketika dia berbalik, itu mungkin adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan.

Arato mengigil takut,

GHGHGHGHGHGH.

Kira-kira seperti itu.

Dia sempat terkejut saat berbalik, seperti terkena sambaran listrik. Dia mencoba untuk merasionalkan hal itu, tetapi sulit untuk menyepelekan apa yang dia lihati. Sekitar 35meter di depannya, di balik semak-semak belukar, di belakang dedaunan itu. "Yang benar-." Yamato mengatakan itu, lalu menghilang. Wujudnya tertiup angin selembut bantal, padam bagaikan lilin. Saja! Lanjutnya."Dan, dia kabur." Kata Arato dengan suara murung, membalas perkataan yang terdengar seperti bisikan itu. "Huh!" Sesuatu mengatakan itu. Memundurkan langkah-nya hingga setengah meter kebelakang.

SHKSHK! Bunyi semak-semak, lalu, selanjutnya.

-KRKKKK! Bunyi ranting pohon yang patah.

Mengagetkannya.

Dan yang lebih buruk lagi,

KRKKK-KRKKK-KRKKKKKKK-!!

Dahan-dahan ranting patah beberapa kali seperti suara kacang. Sebelum dia sadari, tepat di bawah kakinya. Beberapa dahan ranting yang tadinya tersusun dengan sangat rapi, sedang menutupi sesuatu, atau lebih tepatnya menyembunyikan sebuah, Jebakan. Itu yang terlintas dalam pikirannya. Membuat Anak itu sedikit curiga akan hal yang tidak alami itu.

Arato melirik kesekitarannya dengan amat cepat, tapi tersadar. Dia melihat sesuatu, atau seseorang yang pendek. "Oh!" Kata Orang itu, "Ternyata bukan tupai." Mendesah dengan suara yang murung. Seorang Anak perempuan keluar dari balik semak-semak, lalu berlari mendekatinya. Umurnya sekitar enam tahun, aku tidak yakin dengan apa ini?? Pikir Arato, saat seutas tali mengikat pergelangan kakinya.

Seperti dugaan.

Dia terangkat hingga ujung rambut berada seperempat meter dari atas tanah. Menatap kerikil dengan tatapan yang sama saat menatap langit. Kejadian yang cukup biasa, hal itu kadang terjadi di tengah Hutan seluas Negara Api. Dan, Untung saja! Yamato terdengar legah, walaupun sempat terkejut. Dia awalnya mengira, Anak perempuan itu: itu, (Hantu). Tingginya 42cm, berpakaian serba putih, bercorak bunga yang mengitari gaunnya, seperti hantu saja bocah ini! Cukup beruntung bahwa, dia yang keluar dari semak-semak. Yamato menggumam.

"Nenek!" Anak perempuan itu memanggil seseorang.

Yamato semakin waspada.

Dia mencium aroma dari sesuatu, namun tidak mampu untuk menjelaskannya dengan tepat. Aroma yang tercium seperti bunga, Pikir Yamato. Tercium agak menyengat pada seluruh tubuh Anak perempuan itu. Dan yang satunya, lebih mengkhawatirkan. Anak berambut api itu langsung merasakannya, itu, bahaya. "Ternyata jebakanku masih perlu latihan lagi..." Kata Anak perempuan itu dengan suara murung. Yamato melirik sesuatu yang sedang berjalan. Walau hanya sekilas, sebuah bayangan melewati pepohonan, lalu, tiba-tiba sebuah telapak tangan kiri menyentuh pohon itu. "Hhh..."Seseorang menghembus napas sedalam mungkin. Mengejutkan Arato. "Huh!" Dia menyipitkan mata. Melihat seorang Nenek yang berjalan memakai tongkat perlahan-lahan. Postur tubuhnya membungkuk, terlihat kepayahan saat mendekati mereka. Rambutnya berwarna seperti abu dari tungku api. Aha, Arato menghela napas, memikirkan dua kemungkinan. Pertama, sepertinya, Anak itu baru saja gagal menjebak sarapan pagi. Jadi kemungkinan besar dia akan di lepaskan.

Akan tetapi sesuatu membuat Anak laki-laki itu cukup khawatir.

Dari sudut pandang Arato, yang kedua adalah yang terburuk. Hari-hari menjadi tahanan mungkin akan segera terjadi. Membuatnya berpikir, dua kemungkinan itu, tidak terlalu buruk juga. Bahkan lebih baik dari pada berurusan dengan hal yang sebelumnya terjadi kepadanya. "Untung saja." Arato menggumam. "Jebakan tupai?" Dia bertanya kepada Anak perempuan itu. "Hmp." Anak perempuan itu mengangguk, dan terlihat kesal melihatnya. Nenek melangkah maju, jarak mereka sekarang sekitaran 3meter. Dia mendesah, "Lagi..."Si Nenek terlihat kerepotan. Umurnya sekitar 50 tahun, memegang keranjang yang penuh dengan buah dan sayur. Memakai kimono berwarna abu-abu tua. Dia memiliki rambut yang sangat panjang, panjangnya hingga menyentuh tanah.

Arato melihat wajah Nenek dengan seksama. Dia memiliki, Byakugan? Arato mengatur pernapasannya. "Seorang Shinobi harus mampu mengendalikan irama tubuhnya sendiri. Bahkan di saat yang mengancam nyawa sekalipun. Kau tidak boleh memperlihatkan rasa takut dihadapan musuh." Sesuatu seperti itu yang Shu biasa katakan. Sebenarnya kata-kata itu sangat membantunya beberapa kali. Jika dia bernapas lebih tenang, maka dia dapat mengatur detak jangtungnya, membuat pembulu darah mengecil untuk sementara waktu. Membuat otot-otot di dalam tubuh seperti terkompres, yah itu teorinya. Kata Yamato

Tepat sekali, Balas Arato. Itu teorinya.

Di dunia nyata, bahaya adalah sesuatu yang nyata. Saatnya untuk praktek langsung di lapangan, Pikir Arato. Walaupun kemungkinan besar: Si Nenek dan Anak perempuan itu penduduk desa di Balik Daun. Tidak ada salahnya untuk tetap waspada.

Apa penciumanku sedang menipu kepalaku? Yamato tidak begitu yakin. Dia lebih mempercayai insting dari pada kepalanya. Mereka berdua melihat seorang Nenek yang membawa alat di balik punggung. Kelihatannya seperti, cangkul. Jika dilihati lebih lama, benda itu sepertinya, sabit! Dengan kepala180° Di bawah. Arato menarik napas lalu bertanya dengan penuh keraguan. "Aku ... punya roti lapis isi keju?" Katanya dengan sangat gugup. "Kalau kau mau sih-?"

"Hahahaha..." Anak perempuan itu tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi Nenek itu masih menatapnya dengan wajah yang cukup serius. "Kamu'kan!" Kata Nenek. Rambut hitam, pedang, sweter putih. Pikirnya sambil mengangkat tongkat. "Oni Putih!" Nenek terkejut. Kejadian itu lebih seperti, si Nenek sedang memantrai Arato dengan tongkat sihir. "Uh, huh!?" Arato berkeringat, bukan karena tongkat yang sedang mengarah ke perutnya. Tetapi ekspresi ganas yang berada di samping Nenek itu. Dia masih menatapku. Tatapan itu sungguh-sungguh, serius! seperti menembus dirinya. Membuat Yamato sedikit takut. Walau tatapan itu berasal dari bocah berumur enam tahun. Dia pasti tidak biasa, Kata Yamato.

"A-apa ada sesuatu?" Arato bertanya. "Tidak. Tidak ada apa-apa." Anak perempuan itu menggelengkan kepala. "Tentu." Balas Arato. "Anak muda" Nenek memanggilnya, namun Arato tidak mendengar panggilan itu. "Anak muda!" Nenek memanggilnya sekali lagi. Membuat Arato tersadar. "Aku minta maaf atas perbuatan cucukku ini."

"Uh!? Ah itu, ... T-tidak-tidak. Tidak apa-apa kok." Arato membalas. Dia sempat terkejut.

Namun,

Cara Nenek itu berbicara terdengar formal, sedikit kuno. Dari caranya memanggil, cukup halus. Dia seperti seorang Bangsawan, tapi dari apa yang dia amati, sepertinya Nenek ini seorang agrikultur. Pekerjaan seperti bercocok tanam tidak biasa bagi seseorang dari Klan Hyuga. Walaupun itu yang terlintas dalam kepalanya, dia juga berpikir, itu mungkin juga hal yang baik. Bagaimana-pun juga, zaman telah berubah cukup drastis. Bahkan melebihi ekspetasi dari Hokage Ketujuh.

Naruto Uzumaki.

Kakek dari Anak laki-laki bersweter putih itu.

Beberapa tahun telah berlalu, sejak dia berumur enam tahun, dia masih memikirkannya. Menghantui Anak itu seperti pantulan air yang terlihat semakin lama, semakin mengkerut. Dia tidak ingin memikirkannya, tapi ingatan itu selalu kembali mengingatkan dirinya. Sebuah kenangan yang kelam, dalam, menyakitkan. Bagaimana pun juga, dia mendapatkan sesuatu karena itu. Sesuatu yang masih melindunginya selalu, bahkan setiap saat.

Api dari Hati; Homura sang pelindung. Api biru yang membara di dalam sebuah Kuil yang tidak biasa.

Kuil itu di namai Aomori.

Kuil yang entah bagaimana tercipta dalam tubuh Arato Uzumaki. Sebuah misteri besar yang membuat Anak itu haus untuk pecahkan. Walaupun begitu, dia juga tidak dapat memikirkan hal-hal sekompleks itu. Kapasitas otak yang dia miliki seperti ingin menghiraukan hal-hal yang terlalu rumit.

Arato masih mendengar suara tawa di dekatnya.