Emma menjelaskan kepada Haoran apa yang didengarnya dari AWA. Pemuda itu mendengarkan baik-baik. Ia kini mengerti apa yang terjadi di masa lalu. Pikirannya seketika dipenuhi rasa takjub.
Ia sangat menggemari astronomi dan tidak pernah menduga bahwa suatu kali ia akan menjadi saksi adanya kehidupan di planet lain di luar angkasa, yang bahkan jauh lebih maju dari bumi.
Dari cerita Emma, ia dapat membayangkan sebuah kerajaan dengan peradaban sangat maju dan orang-orangnya memiiki kekuatan ajaib. Ini seperti di film sci-fi dan fantasi yang banyak dibuat Hollywood!
"Emma, kalau kapsul orang tuamu masih ada di bulan, itu berarti mereka pergi tanpa menggunakannya. Coba tanyakan kepada AWA apakah kapsulnya masih bisa dipakai? Apakah kita bisa pergi ke Akkadia dengan menggunakan kapsul itu?" tanya Haoran dengan penuh semangat.
Emma mengulang pertanyaan Haoran kepada AWA, tetapi ia harus menelan pil pahit saat AWA menjawab bahwa kapsul mereka rusak dan memerlukan perbaikan besar agar dapat kembali beroperasi.
"Apakah ada cara lain bagi kami untuk mencapai Akkadia?" tanya Emma dengan sedih.
"Di kapsul ada pesawat mini tanpa awak sebagai alat pengirim berita untuk keadaan darurat. Kalau Tuan Putri ingin mengirim kabar ke Akkadia, Tuan Putri bisa mengirim pesawat mini itu ke Akkadia. Mereka akan menerima pesan Anda dan mengirim bantuan," jawab AWA.
Emma tertegun mendengar penjelasan AWA. Satu-satunya jalan ia dapat mencapai Akkadia adalah dengan mengirimkan permintaan tolong, agar mereka menjemputnya. Tetapi... bukankah itu berarti upaya orang tuanya untuk menyembunyikannya menjadi sia-sia?
Ugh... seandainya teknologi di bumi sudah maju dan mereka bisa menggunakan pesawat luar angkasa untuk pergi ke Akkadia...
Sedangkan untuk pergi ke Mars saja manusia masih membutuhkan waktu 8 bulan perjalanan. Bagaimana mungkin mereka bisa ke Akkadia yang jaraknya 6-bulan cahaya dari sini?
Emma tiba-tiba merasa dadanya dihinggapi kesedihan luar biasa. Akhirnya ia menemukan jejak orang tuanya tetapi pada saat yang sama, ia juga merasa buntu. Bagaimana ia dapat mencari mereka ke Akkadia tanpa membocorkan keberadaannya.
"Kita tidak punya pilihan, Emma.." kata Haoran. "Walaupun misalnya kapsul itu bisa digunakan... tidak mungkin kita bisa pergi ke Akkadia tanpa mereka mengetahui kedatangan kita. Ini adalah sesuatu yang harus kau putuskan. Apakah kau ingin mencari orang tuamu ke sana... atau kau ingin mengikuti kehendak mereka dan menyembunyikan diri di bumi. Kau tahu bahwa orang tuamu bersusah payah melakukan segala macam cara untuk menyembunyikanmu dari mereka..."
Emma mengerti apa yang dimaksudkan Haoran. Tadinya ia sangat ingin mencari orang tuanya ke ujung dunia. Tetapi setelah ia tiba di Bulan dan bertemu AWA, Emma menyadari bahwa perjuangan mencari ayah dan ibunya jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan.
Kelelahan batin yang dialaminya selama belasan tahun akhirnya tumpah saat itu juga. Emma menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu.
"Emma..." Haoran yang sangat mengerti apa yang dirasakan gadis itu segera mendekap Emma dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. "Kita akan menemukan orang tuamu... kalau itu yang kau inginkan."
Emma sangat ingin bertemu orang tuanya... tetapi orang tuanya ingin agar keberadaan Emma tidak diketahui orang-orang Akkadia.
Apa yang harus ia lakukan?
"Aku lelah sekali.. kurasa aku perlu tidur..." kata Emma setelah air matanya hampir kering. Ia melepaskan diri dari dada Haoran dan mengusap wajahnya. "Kau mau melihat kamar tidur untuk kita beristirahat?"
Haoran mengangguk. Ia berdiri dan membawa kedua koper mereka di kedua tangannya. Emma bangkit dan berjalan ke kiri. Di sana ada dua buah pintu.
Pintu pertama mengarah pada sebuah kamar tidur besar yang ditata dengan sangat nyaman. Ketika ia membuka pintu kedua, mereka melihat ada sebuah kamar cantik yang ditata untuk seorang anak perempuan.
"Kau mau tidur di kamar orang tuaku atau di kamarku?" tanya Emma kepada Haoran.
"Kamarmu cantik sekali.. aku akan tidur di situ," kata Haoran. Ia sengaja memilih kamar anak karena mengira Emma ingin menghabiskan waktu sendirian di kamar orang tuanya. Ia lalu mendorong kopernya masuk ke kamar yang lebih kecil. "Kau mau langsung tidur atau mau makan dulu? Bukankah kau bilang tadi ada robot yang mempersiapkan makanan untuk kita?"
Emma merenung. Ia tidak ingin makan karena sama sekali tidak memiliki nafsu makan, tetapi ia sadar bahwa mereka belum makan apa-apa sejak makan siang tadi di Swiss dan tentu Haoran merasa lapar.
"Aku akan beristirahat satu jam dan kembali ke ruang tengah untuk makan malam," akhirnya gadis itu menjawab.
"Baiklah. Tidak usah buru-buru," kata Haoran. Ia lalu mendorong koper Emma ke kamar orang tuanya dan menarik tangan gadis itu ke tempat tidur. "Ayo istirahat. Aku akan menunggumu satu jam lagi di ruang tengah."
"Terima kasih, Haoran." Emma mengangguk dengan penuh terima kasih.
Setelah Haoran meninggalkan kamarnya, Emma menutup pintu dan duduk di tepi ranjang. Ia mengamati sekelilingnya dan kemudian memejamkan mata. Ia seolah dapat membayangkan kedua orang tuanya berada di dekatnya sekarang.
Ia sungguh merindukan mereka. Sudah hampir 15 tahun lamanya ia tidak bertemu ayah dan ibunya. Kerinduan yang menghantam dadanya terasa begitu menyesakkan.
"AWA... apakah kau memiliki rekaman saat ayah, ibu dan aku ada di sini?" tanya Emma tiba-tiba.
"Ada, Tuan Putri. Apakah Tuan Putri mau melihatnya?" tanya AWA.
"Mau... tolong putar. Aku sangat merindukan ayah dan ibu..." kata Emma lirih.
"Saya akan memutar rekaman secara acak. Untuk rinciannya, Tuan Putri bisa melihat log rekaman di komputer sentral," kata AWA.
"Terima kasih, AWA," kata Emma sambil mengangguk.
Ia duduk di tepi tempat tidur dan menyaksikan AWA memilihkan satu rekaman untuknya.
Kaoshin sedang mengejar Emma kecil yang sedang melayang-layang di udara sambil tertawa riang.
"Ayo, Ayah! Tangkap akuuuuu...!!" cetus gadis kecil itu.
"Kalau Ayah berhasil menangkapmu, apa hadiah yang akan ayah dapatkan?" tanya Kaoshin sambil tersenyum.
"Aku akan mencium ayah.." kata Emma sambil tertawa.
"Baiklah..." Kaoshin tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya. Tiba-tiba saja dari tangannya melesat sebuah tanaman yang menjulur cepat dan membelit tubuh Emma, kemudian segera menariknya dari udara ke pangkuan ayahnya. "Kau utang satu ciuman."
Emma tertawa berderai-derai dan mencium pipi ayahnya. "Sudah. Ayah menang."
Saat itu Arreya berjalan mendekat keduanya dengan wajah yang dipenuhi ekspresi kebahagiaan.
"Jenderal Stardust..." panggil wanita cantik itu dengan suara bergetar.
Kaoshin yang masih menciumi pipi Emma mengangkat wajahnya dan menatap istrinya dengan wajah tersenyum. Sepasang matanya tampak bertanya.
"Ya, Putri Arreya?"
Arreya tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap suaminya dengan pandangan yang emosional. Seketika Kaoshin tampak menjadi emosional. Ia menaruh Emma kecil perlahan-lahan di kursi dan kemudian berdiri untuk memeluk istrinya.
"Benarkah?" tanyanya dengan suara berbisik.
Arreya mengangguk dan sepasang matanya dipenuhi air mata, walaupun bibirnya tersenyum.
"Aku sangat bahagia mendengarnya..." Kaoshin mencium bibir Arreya dengan sangat mesra. Ia memeluk pinggang wanita itu erat-erat dan mencurahkan segenap kasih sayangnya kepada Arreya.
Emma kecil menatap adegan itu dengan mata terbelalak.
"Oh, Tuhan... aku harus mencari mereka!" Emma tiba-tiba menghentikan rekaman dan berlari keluar dari kamarnya.
"Ada apa?" tanya Haoran yang berada di ruang tamu dan melihat Emma keluar kamar dengan tergesa-gesa.
"AWA... aku mau ke kapsul. Aku harus mengirim berita ke Akkadia dan meminta mereka menjemputku!" Nada suara Emma terdengar mendesak.
"Kau yakin?" tanya Haoran. "Kalau kau mengirim berita dan mereka datang menjemputmu.. maka mereka akan mengetahui keberadaanmu."
"Aku sudah tidak peduli..." kata Emma dengan suara tegas. "Aku harus menemukan orang tua dan adikku. Kalau mereka ingin menangkapku dan membunuhku... aku akan menghadapi mereka. Aku tidak mau menyerah sebelum berjuang sampai titik darah penghabisan..."
"Adik?" Haoran tidak mengerti apa yang dimaksud Emma.
"Ibuku sedang mengandung ketika mereka meninggalkanku.. Haoran... aku bukan hanya memiliki orang tua, tetapi juga seorang adik." Emma mengguncang bahu Haoran dengan emosional. "Aku tidak peduli, apa pun yang terjadi, aku harus menemukan mereka."