Lucia pun sampai di istana saat dini hari dengan kondisi memapah Aquila yang sedang tak sadarkan diri. Lucia sendiri juga sangat lelah karena harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk kembali ke istana. Lucia berusaha secepat mungkin untuk membawa Aquila ke kamar Camilla, tempat semua kakaknya berada (sudah direncanakan sebelumnya) karena ia sendiri sudah hampir tidak kuat lagi.
Sesampainya mereka di depan pintu kamar Camilla, Lucia mengetuk pintu beberapa kali hingga pintu terbuka. Baru kakinya selangkah maju memasuki kamar, Lucia sudah ambruk, begitu juga dengan kakaknya. Untung saja, mereka bertiga sempat menangkap mereka berdua sebelum jatuh menghantam lantai. Dibaringkannya Aquila di atas kasur Camilla, sedangkan Lucia yang nyaris pingsan dibantu untuk duduk di sofa.
"Aku akan pergi mengambil air, kalian diam di sini, jaga Lucia dan Kak Aquila." kata Aelia cepat cepat, lalu segera keluar kamar untuk mengambil air. Ia juga berusaha agar tidak menimbulkan suara.
Lucia menyenderkan punggungnya ke sofa, kedua kakaknya duduk di sebelah kiri dan kanan sambil mengusap-usap telapak tangannya yang dingin dengan sedikit panik. Akhirnya, Aelia pun datang dengan terburu-buru dengan nampan berisikan teko kaca transparan yang sudah terisi air serta gelas transparan. Aurelia pun menuangkan air mineral ke dalam gelas, lalu membantu Lucia untuk minum. Keadaan Lucia menjadi lebih baik setelah meminum segelas air dalam sekali teguk.
Setelah Lucia membaik, Aelia mencoba untuk bertanya, "Luci, apa yang terjadi di sana?"
"Kak, biarkan Luci istirahat dulu. Luci pasti kelelahan." ucap Camilla khawatir.
"Baiklah. Bawa Luci ke kamarnya, Milla agar dia bisa berbaring di tempat tidur." intruksi Aelia.
"Baik, kak." jawab Camilla patuh. "Ayo, Luci! Kita ke kamarmu." ajaknya sambil tetap berada di sisi Lucia, berjaga-jaga jika Luci pingsan.
"Jaga Luci juga, ya!" seru Aelia. Camilla mengangguk, kemudian pergi ke kamar sebelah, yaitu kamar Lucia.
"Aelia, bagaimana jika Ayah dan Ibu tahu tentang hal ini?"
"Kita beri tahu yang sebenarnya." katanya santai.
"Apa tidak apa apa?" tanya Aurelia dengan ragu ragu.
"Mau bagaimana lagi? Jika kak Aquila belum juga bangun sebelum pagi, Ayah dan Ibu pasti akan tahu." kata Aelia pasrah dan ikut duduk di sofa bersama saudari kembarnya. Suasana menjadi hening cukup lama. Tidak ada suara sama sekali sehingga suara yang kecil bisa langsung terdengar dengan mudah.
Sekarang sudah pukul 5 pagi dan Aquila belum kunjung bangun dari pingsannya. Dan, Aelia dan Aurelia tak sengaja tertidur di sofa itu karena saking lelahnya pada pukul 5. Tanpa mereka sadari, Aquila sudah siuman tak lama setelah mereka tertidur. Ia diam diam pergi dari sana menuju ke kamar Lucia untuk mengambil inti pulau itu. Siapa lagi yang membawa inti itu, jika tidak ada pada dirinya. Rupanya, di dalam kamar Lucia ada Camilla yang sudah terbangun atau mungkin belum tidur sama sekali dan Lucia yang masih tidur nyenyak di atas tempat tidurnya.
"Syukurlah kakak sudah sadar." ucap Camilla penuh syukur. Ia mendekati kakaknya dan memeluknya. Aquila juga membalas pelukan adiknya.
"Camilla, kita harus bergerak cepat, oke?" bisik Aquila setelah pelukannya lepas. Camilla hanya mengangguk pelan sambil menunjukkan senyum pada wajahnya.
"Di mana inti itu? Luci membawanya, bukan?"
"Iya, kak." ucapnya pelan, lalu menoleh ke meja kecil di samping tempat tidurnya yang tak lain di atasnya terdapat batu inti itu.
Aquila langsung menyambar batu inti itu dan menarik tangan Camilla untuk pergi bersamanya ke ruang utama istana, tempat batu inti itu terletak.
"Pelan pelan, kak! Bagaimana jika kakak terjatuh?." Camilla mengingatkan kakaknya sambil tersengal-sengal karena harus berlari akibat tarikan tangan kakaknya.
"Tidak bisa, Camilla. Kita harus cepat sebelum semuanya bangun." bantah Aquila, juga dengan tersengal-sengal.
Akhirnya, mereka berdua pun sampai di ruang utama dengan napas tidak beraturan. Mereka berdua sama sama membungkuk dan menumpu tangan mereka pada kedua lututnya serta keringat yang menetes perlahan dari pelipisnya.
"Biar aku saja, kak." pinta Camilla yang napasnya sudah kembali teratur sambil menjulurkan tangannya untuk meminta batu inti itu.
Aquila hanya menatap adiknya dan tangannya yang terjulur secara bergantian. Ia seakan-akan tidak memercayai adiknya sendiri.
"Aku bisa melakukannya, kak. Jadi, biar aku saja, kak. Kakak mau cepat, kan? Berikan padaku dan akan kulakukan dengan cepat!" Camilla berusaha meyakinkan kakaknya yang sedang menatap dirinya tidak yakin.
"Baiklah. Kakak rasa kakak juga belum bisa terbang dengan baik sekarang." kata Aquila yang akhirnya menyetujui setelah mempertimbangkannya lagi. Ia pun memberikan batu inti itu ke tangan Camilla yang sudah sedari tadi terjulur.
Camilla yang sudah menerimanya langsung terbang menuju ke atas tempat batu inti itu yang sudah lama kosong. Awalnya memang sangat susah untuk memasangnya. Tapi akhirnya, Camilla pun berhasil memasangnya dengan tepat hingga batu itu memancarkan sinar yang tidak teralu terang. Walaupun, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya, belum ada orang yang terlihat di ruang utama.
"Sudah, kak." kata Camilla dengan sedikit bersemangat. Ia bangga pada dirinya sendiri karena bisa melakukannya dengan baik.
"Ya sudah! Ayo, kita kembali ke kamar! Kita harus membangunkan Aelia dan Aurelia sebelum Ayah dan Ibu ke kamarmu."
Aquila dan Lucia pun kembali berlari ke kamar Camilla. Sebisa mungkin mereka tidak menghasilkan suara hentakan kaki agar tidak membuat kebisingan dan tidak membangunkan yang lain, terutama Ayau dan Ibu mereka.
Setelah sampai di depan pintu kamar, mereka cukup lega karena pintu kamar orang tua mereka dan pintu kamar Camilla masih tertutup. Dengan pelan, Camilla membuka pintu kamarnya agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun itu hingga terbuka sepenuhnya. Namun, betapa terkejutnya Camilla dan Aquila melihat Ayah dan Ibunya sedang duduk berdampingan di atas tempat tidur dengan wajah cemas. Di sofa, Aelia dan Aurelia sudah terbangun dari tidurnya. Sekarang, mereka semua menatap Camilla dan Aquila yang tampak terkejut. Mereka diam di tempat dan tak bergeming. Tidak berani melangkahkan kaki ataupun berbicara.
"Apa yang kalian lakukan sebenarnya?" bentak Ayah mereka yang sekarang sedang berdiri dengan marahnya, hanya ada sedikit kecemasan di wajahnya sekarang.
"Maaf, yah. Kami hanya tidak ingin kalian khawatir." ucap Aquila sambil menunduk, tidak berani menatap mata Ayahnya. Ia juga masih diam di tempatnya.
"Tidak ingin kami khawatir? Justru dengan kalian tidak memberi tahu kami, kami akan semakin khawatir dengan kalian," ucap sang Raja masih dengan meninggikan suaranya. "untung saja kalian tidak melibatkan adik bungsu kalian, Lucia." geram Ayahnya.
"Luci ikut serta, yah!" seru Lucia yang berada di belakang Aquila.
"Apa maksudmu, Lucia? Jangan membela keempat kakakmu!" kata Raja kesal dengan suara tinggi
"Luci tidak sedang membela siapa pun. Luci hanya mengatakan yang sebenarnya." balas Luci dengan suara tinggi.
"Kalian masuklah! Kita bicarakan ini di dalam." ucap dingin Ibunda mereka yang langsung dituruti.