Di dalam hutan yang lebat terdapat sebuah kerajaan yang sangat besar berdiri kokoh. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang Raja yang disegani oleh para kaumnya. Johnson Volard si pemilik kekuasaan.
Namun kegelisahan selalu melanda minggu-minggu ini. Ia menghawatirkan seluruh bangsa vampir, para bangsa werewolf terus saja mengusik kerajaannya. Permusuhan ini tidak akan terjadi, jika Maurine masih ada. Maurine adalah istri Johnson yang meninggal setahun setelah Edgar terlahir ke dunia.
Pada saat Maurine meninggal, David Davinci sangat membenci Johnson. Ia menyalahkan Johnson atas kepergian Maurine. David adalah seorang alpha terkuat diwerewolf. Ia mencintai Maurine, tetapi Maurine lebih melilih Johnson, walaupun hubungannya di tentang oleh kedua pihak.
Maurine bukan vampire seperti Johnson. Ia half werewolf, ayah Maurine adalah raja werewolf. Awalnya hubungan kedua nya di tentang karena berasal dari bangsa yang berbeda, namun seiring berjalan nya waktu Raja werewolf merestui hubungan kedua nya. Walaupun ada beberapa pihak yang tidak setuju. Tapi ia tidak peduli, karena sangat menyayangi Maurine anak satu-satu nya itu.
Sebulan setelah pernikahan antara werewolf dan vampire. Raja werewolf meninggal dengan cara yang tidak wajar, entah apa penyebab nya.
Kerajaan werewolf diambil alih oleh David. David kembali menciptakan benteng permusuhan di antara bangsa werewolf dan vampire. Dendam lama mencuat kembali ke dasarnya. Ia semakin murka setelah mengetahui kabar meninggalnya Maurine. Dan akan mengancam kelangsungan kehidupan para kaum vampir.
Dan satu-satu nya peninggalan dari Maurine adalah 'Edgar', namun Johnson sedikit membenci Edgar karena menurut nya Edgar lah penyebab kematian Maurine.
Walaupun Maurine adalah werewolf dan Johnson adalah vampir, tak ada sedikit pun darah werewolf mengalir di dalam diri Edgar, jika sampai ada darah werewolf mengalir sedikit saja maka akan sangat bahaya, jika David mengetahuinya.
Johnson tahu bahwa akan ada seorang manusia yang akan membawa keberuntungan bagi bangsa nya. Dan hanya Edgar yang bisa melakukan nya.
Johnson sangat senang mendengar kabar bahwa Edgar sudah menemukan orang itu. Namun terbesit kekhawatiran yang sangat mendalam, bahwa orang yang di cari selama ini sangat sulit untuk di taklukan.
Ia takut jika Edgar tidak berhasil mendapatkannya, maka berakhir lah sudah para bangsa vampir.
***
Dilain tempat. Edgar sedang memikirkan sesuatu. Ia mempunyai rencana akan membuat Alessa hanya untuk dirinya.
Dua minggu setelah kejadian di rumah Miranda. Alessa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.
Besok ia akan berangkat ke Boston, Universitas Harvard yang letak nya berada di Boston, Amerika Serikat. Ia menghela napas nya. Sudah dua minggu ia tak mendengar kabar tentang Miranda.
Ia benar-benar akan berpisah dengan sahabat nya itu. Miranda melanjutkan kuliah nya di Stanford sama dengan Mahesa.
Seketika pikirannya melayang entah kemana. Ia teringat akan wajah tampan Edgar. Alessa menggelengkan kepala cepat mencoba menghapus bayang-bayang Edgar, yang sudah berhasil mengganggu pikiran nya beberapa hari ini.
"Lebih baik aku tidur, karena besok harus berangkat pagi," ucapnya pada diri sendiri.
***
Alessa kini sudah siap. Ia mengenakan kemeja longgar berwarna putih dengan celana jeans hitam. Rambutnya ia biarkan tergerai, rambut Alessa yang berwarna cokelat sangat kontras dengan kemeja putih itu.
Ia membawa satu koper besar. Setelah turun dari tangga, lalu menghampiri kedua Orangtuanya di ruang tamu.
Ibunya nampak tersenyum, namun kesedihan juga terpancar jelas dari kedua manik mata Ibunya itu. Alessa langsung menghambur ke pelukan sang Ibu—Alana Wildblood— Alana mengusap punggung anaknya itu dengan lembut.
"Aku akan sangat merindukanmu, Bu," ucap Alessa lirih.
"Berhentilah bersikap kekanakan Alessa. Lagi pula jarak antara Brooklyn dan Boston tidak terlalu jauh," ujar Alana sembari melepaskan pelukan nya.
"Tetap saja aku akan sangat merindukanmu," setelah itu Alessa menatap sang Ayah dan memeluknya juga. "Aku juga akan sangat merindukanmu, Ayah"
Jems Wildblood—Ayah Alessa terkekeh pelan. "Aku tidak menyangka kau sudah tumbuh sebesar ini, Ale. Kau sudah dewasa sekarang"
Ale adalah panggilan sayang sang Ayah. Ketika Alessa mendengar Ayahnya memanggil dengan sebutan 'Ale' seketika ia teringat akan minuman kemasan yang ada di Indonesia. Tanah kelahiran Alana.
"Kau terlalu sibuk bekerja, Ayah. Sehingga tidak menyadari bahwa Anakmu ini sudah tumbuh dewasa."
"Ayahmu ini bekerja untukmu juga. " Jems mengusap rambut Alessa pelan.
Alessa tersenyum lebar. "Tetapi bagi ku. Aku tetap lah putri kecil mu, Ayah"
Jems tersenyum dan mencium kening Alessa. "Sudah, sudah, cepatlah berangkat kau harus tiba di sana dengan cepat!"
Alessa mengerucutkan bibir nya kesal. "Apa kau mengusir ku, ayah?" tanyanya kesal.
"Tidak, Ale. Ayahmu ini tidak mengusirmu."
"Ibu lihat lah, Ayah mengusirku!" Adu Alessa kepada Ibunya.
Alana tertawa renyah disusul oleh Jems yang tersenyum simpul. "Baiklah, aku akan berangkat sekarang kalau begitu." Putus Alessa.
"Hati-hati dijalan, Sayang. Hubungi kami bila kau sudah sampai di sana!" ucap Jems.
"Baik, ayah"
Setelah berpelukan sekali lagi dengan kedua Orangtuanya. Alessa pergi mengendarai mobil. Entah mengapa ia merasa bahwa akan benar-benar pergi jauh dari keluarganya.
Mobil Alessa membelah kota Brooklyn pada pagi itu. Ia melajukan dengan kecepatan sedang. Ketika di perjalanan ia merasa haus dan memutuskan untuk berhenti di sebuah super market.
Selang beberapa menit Alessa keluar dengan sebotol minuman dingin. Tiba-tiba ada yang menarik tangannya dan kepalanya membentur dada bidang seseorang. Alessa terkejut mulutnya terbuka lebar, ia hampir menjatuhkan minumannya.
Edgar! Ya, lelaki itu adalah Edgar.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi," ucap Edgar dengan seringaiannya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Alessa gemetar.
"Menjemputmu untuk pergi bersamaku," jawab Edgar polos.
Alessa mencoba melepaskan cekalan tangan Edgar, namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria itu.
"Kau benar-benar gila, lepaskan tangan ku sekarang!" Walaupun Alessa mengagumi ketampanan Edgar, tapi ia juga tidak menyukai, jika Edgar bersikap demikian.
Edgar tidak menggubris perkataan Alessa, dan menariknya masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan. Kau akan membawaku kemana?"
Mobil itu bergerak cepat, Edgar mengatakan tempat tujuannya kepada sang sopir.
"Edgar, kau akan membawaku kemana!" teriak Alessa frustrasi. Ucapan nya sama sekali tidak didengar dari tadi.
"Berhenti lah banyak ber—"
"Banyak bertanya katamu, kau baru saja menculikku dan entah kemana kau akan membawaku. Dan bagaimana dengan mobilku. Oh shit! Semua barang-barangku ada di dalam mobil dan ponselku juga di sana!" Alessa berteriak heboh.
"Tenanglah, Alessa. Orang suruhanku akan mengurus semuanya!"
"Tenang? Kau menyuruh ku tenang? Apa aku harus bersikap biasa saja seolah-olah kita akan pergi ke suatu tempat yang indah. Begitu maksud mu. Haha!" Alessa tertawa miris.
Takut, marah, kesal, bingung seakan menjadi satu. Pikiran Alessa benar-benar kacau. Ia juga sangat ingin menangis sekarang.
"Berhentilah memasang wajah datarmu itu. Dan katakan kita akan pergi kemana sekarang?"
Mobil berdecit, menandakan mereka telah sampai di tempat tujuan. Dan Alessa begitu terkejut, karena sekarang ia ada di Bandara. Bandara!