webnovel

Membenarkan

Selesai menyantap sarapan, aku sudah bersiap-siap ingin menyaksikan pertandingan sepak bola yang diadakan oleh para pemuda Karang Taruna untuk menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kahfi, Idris dan anak-anak IREMA ikut serta memeriahkan.

"Assalamualaikum ... Ichaaa ... Chaa ...."

Nah tuh, suara Resti. Dia pasti mau mengajakku pergi ke lapangan. Bergegas mengambil tas selempang dan memasukkan dompet dan handphone ke dalam tas kecil. Kemudian keluar kamar.

Ternyata Ibu sudah membukakan pintu. Terlihat Resti yang mengenakan kaos dan celana training panjang. Sekarang dia memang sudah berubah penampilannya, menjadi lebih sopan.

"Nah itu, Icha! Bu, kita pamit dulu ya?"

"Iya. Hati-hati." Aku mencium punggung tangan Ibu. Begitu pula Resti, melakukan hal yang sama. Sebab Resti sudah menganggap ibuku seperti ibunya. Aku pun demikian.

Kali ini kami menuju lapangan mengendarai motor matic. Area lapangan sudah dipenuhi para warga dari yang muda sampai yang tua. Para pedagang pun ikut serta berada di sana.

"Pertandingannya sudah dimulai?" tanyaku, saat turun dari motor matic milik Resti.

"Belum kayaknya." Aku dan Resti berjalan beriringan. Lapangan luas telah dikelilingi oleh para warga. Sementara para pemain sedang melakukan pemanasan. Aku mengitari sekeliling, mencari sosok Kahfi.

"Idrrriiisss ... Ayaaaangg ... Sini ....!"

Astaghfirullah, Resti! Ngapain sih dia teriak begitu? Ya Allah, bikin malu saja nih anak!

Idris yang mengenakan seragam Jersey biru muda menoleh, melambaikan tangan. Lalu di belakangnya terlihat Kahfi. Mereka berdua pun berlari ke arah kami. Resti menjulurkan kedua tangan ke depan, disambut Idris sang pujaan hati.

"Uuuhh ... Semangat Ayang ... Semangat ... Muach, muach, muach!"

Ampun ah, ganjen banget!

"Cha, jangan malu ya semangatin aku!" Pinta Kahfi ada-ada saja. Aku nyengir kuda, mengangguk terpaksa.

"Eh, Kahfi! Tadi calon mertua kamu nitipin salam. Katanya suruh semangat!"

"Serius, Res?"

"Seriuslah ...."

Hah? Jadi tadi Ibu sempat menitipkan salam ke Resti! Aiih ... Ibu bikin malu deh!

"Asyiiikk ... Jadi semangat euy!"

"KAHFII ... IDRIIIS ... AYOK MULAAAI!"

Teriakan Zulkarnain sebagai kapten tim Kahfi membuat kedua lelaki yang berdiri di depan kami menoleh.

"Ayang, aku tanding dulu ya!"

"Iya, Ayaaaanngg ...." Dengan ceria Resti menanggapi permintaan Kahfi.

Pertandingan pun mulai. Aku dan Resti duduk di atas karpet yang disewakan di sekitar pertandingan. Kami duduk sambil bersorak. Telingaku sampai berdenging mendengar Resti meneriakkan kata 'Ayang' untuk Idris.

Sejujurnya aku kurang menyukai sepak bola. Selain tidak mengerti aturan mainnya, tidak suka juga menontonnya. Kalau bukan karena ajakan Resti dan permintaan Kahfi, malas sekali datang ke sini. Lebih enak rebahan dari pada berada di kerumunan banyak orang ini. Lama banget lagi gol-nya. Dari pada bosan, lebih baik mengeluarkan handphone, membaca novel di salah satu aplikasi.

"GOOOOLLLL ... YEEEEHH ... GOOOOOLLL!"

Aku terlonjak mendengar Resti berteriak sambil berjingkat.

Gol? Melihat ke arah lapangan, Kahfi dan Idris berlari selebrasi. Bahkan mereka ada yang bersujud. Ya ampun, kayak pemain nasional. Aku bertepuk tangan, berdiri di samping Resti.

Pertandingan kembali dimulai. Aku dan Resti pun duduk. Menyaksikan pertandingan yang terlihat mulai memanas. Lawan dari tim Kahfi mulai bermain kasar. Mereka menyenggol bahkan ada salah satu pemain tim Kahfi yang adu mulut. Hampir terjadi keributan. Nah ini, yang bikin aku kurang menyukai pertandingan sepak bola.

"Lah kok, si Farhan yang dapat kartu kuning! Yang curang kan tim dia!" Resti bersungut. Aku hanya terdiam. Khawatir kejadian lima tahun lalu terjadi kembali. Pertengkaran antar kampung hanya gara-gara tidak menerima kekalahan saat bermain sepak bola. Kulihat Kahfi berusaha memisahkan keduanya. Pertandingan kembali dimulai. Dalam hati aku berdoa, semoga saja tidak terjadi keributan lagi. Sungguh, aku tidak mau dua kampung terjadi perselisihan.

"Kalau Bapak mau pulang, pulang saja!"

Aku dan Resti menoleh cepat ke arah sumber suara.

Erin? Sejak kapan ia berada di sampingku. Pak Hamdan yang memegang lengan Erin ditepisnya. Wanita yang mengenakan cadar itu langsung duduk di samping.

"Erin, ka-kamu ...."

"Kenapa? Gak boleh kalau aku nonton sepak bola? Atau kalian takut orang-orang jadi tertular penyakitku?"

Aku terkejut mendengar tanggapan Erin. Tatapan kedua mata Erin sangat tajam. Kenapa dia berpikir seperti itu? Aku dan Resti saling pandang. Tetapi, Resti sepertinya enggan angkat bicara.

"Tadinya Erin mau main ke rumah Resti, tetapi kata Mamanya, Resti sama kamu lagi nonton bola. Terus Erin pengen ke sini."

Aku tersenyum menanggapi penuturan Pak Hamdan.

"Ya sudah, Pak. Erin biar sama kami saja. Bapak kalau mau pulang, pulang saja," kataku mengerti keadaan Pak Hamdan. Aku tahu, pak Hamdan sekarang sedang sibuk di sawah karena di kampung kami sudah mulai menyebar bibir padi atau sedang tandur.

"Bapak nitip Erin ya, Nak."

Pak Hamdan pun berlalu. Pandanganku kembali terfokus pada pertandingan. Melihat para pemain saling merebutkan bola. Meski dengan kehadiran Erin aku jadi tidak leluasa, aku rasa Resti pun begitu. Ia tidak teriak-teriak lagi seperti sebelum kedatangan Erin.

Pertandingan pun usai dengan dimenangkan oleh Tim Kahfi.

Resti berdiri, menyambut kedatangan Kahfi dan Idris. Kedua lelaki itu dibanjiri oleh keringat. Mereka tampak terkejut melihat Erin berada di antara kami.

"Selamat ya atas kemenangan kalian. Permainan kalian hebat."

Aku melongo mendengar perkataan Erin. Tidak biasanya dia bersuara. Menyapa Kahfi dan Idris duluan.

"Kamu udah sehat, Rin?" tanya Idris sambil mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang dibawakan Resti.

"Aku sehat."

Idris manggut-manggut.

"Ayang, capek ya? Sini, aku pijitin!" Idris duduk membelakangi, Resti pun langsung memijat kedua pundak Idris.

Beruntung, Kahfi duduk agak jauh dari tempatku. Aku jadi tidak terlalu risih. Dia duduk di samping Idris.

"Cha, kamu gak pijitan Kahfi juga? Kasihan tuh, dia kayaknya kecapekan!"

Ketiga sahabat menoleh ke arahku dan Erin. Tidak menyangka kalau Erin berkata demikian.

Diantara kami tidak ada yang menanggapi, hingga Resti berucap memecah keheningan.

"Ayang, besok aku mau ke Jakarta lagi. Tadi bos-ku telepon. Katanya besok sore ada pemotretan. Gak apa-apa ya?"

Sikap kami kembali mencair karena pembahasan karier Resti yang di Jakarta.

"Kamu berapa hari di sana?"

tanyaku, sebab kalau Resti sudah kembali ke Jakarta, aku tidak teman jalan atau teman ngobrol. Kalau tidak ingat Ibu, rasanya aku pun ingin ikut Resti ke ibu kota.

"Belum tahu, Cha. Soalnya kan ... Aku masih freelance."

"Kalau Resti sudah pergi, kamu ngerasa gak ada temannya ya, Cha? Iyalah, sekarang kan kamu gak bakal mau temenin orang yang penyakitan macam aku!"

Astaghfirullah, Erin ... Kenapa pikirannya selalu buruk padaku?

Kulihat Resti, Idris dan Kahfi memandang iba ke arahku. Erin memang keterlaluan. Selalu saja beranggapan buruk kepada semua orang terlebih kepadaku.

"Kamu benar, Rin. Aku gak ada teman kalau Resti pergi ke Jakarta soalnya sahabat aku yang bernama Erin, sekarang selalu saja beranggapan buruk padaku. Bahkan niat baikku padanya saja ditanggapi buruk! Bagaimana bisa aku berteman dengan orang yang selalu menganggapku buruk dan jahat?"