Tok tok tok
Pintu kelas itu berbunyi, di ketuk sebanyak tiga kali kode permisi. Pintu itu ditarik dari luar alhasil pintu itu terbuka sedikit. Belum nampak jelas siapa yang membukanya namun sebuah suara terdengar. "Permisi, Bu."
Seisi kelas langsung menolehkan kepala menatap sumber suara. Mereka kenal siapa dia.
Bu Ana yang tengah menerangi materi baru untuk kelas XI IPA3 terpaksa terhenti. Ia pun juga ikut menoleh ke sumber suara, dan mendapati Diva yang tubuhnya terlihat setengah karena terhalang pintu kayu. Gadis itu bersembunyi. Tak berani masuk karena belum mendapatkan izin.
"Masuk!" Kata Bu Ana. Guru bertubuh tambun itu menutup spidol hitam yang baru ia gores di papan tulis. Ia mengambil posisi duduk di kursi guru, sambil memperhatikan gadis yang baru saja masuk ke kelas.
Diva menunduk, menyalami Bu Ana dengan sopan. "Maaf Bu, saya telat."
"Darimana saja kamu?" Tanya Bu Ana dengan logat batak nya.
"Hm, s-saya tadi di hukum di lapangan Bu..." Jawab Diva lirih. Ia meremas kedua tangan nya yang saling berpautan.
"Yasudah. Duduk sana!" Diva mengucapkan terimakasih, dengan sedikit berlari gadis itu menghampiri kursi paling belakang tempat duduk nya.
Dilihatnya Riza dan Zuma yang ternyata sedari tadi memperihatikan Diva. "Lu kemana aja?" Tanya Zuma sedikit berbisik. Di depan sana Bu Ana kembali menerangkan materi Logaritma yang tadi sempat tersendat.
"Gua gak liat lu baris perasaan. Tiba-tiba gua liat lu dihukum aja," Timpal Riza. Baik Zuma maupun Riza keduanya menghadap kebelakang membelakangi Bu Ana.
"Gua baris di barisan kelasnya Fabian," Kata Diva sembari mengeluarkan buku matematika miliknya.
"Lah?" Sontak Zuma langsung menyumpal mulutnya dengan tangan ketika ia memekik.
"Berisik, bego!" Riza yang gemas memukul tangan Zuma.
"Iya, jadi tuh gua gak jadi pinjem topi sama petugas upacara. Ter-..."
"Riza! Zuma! Ngapain kalian hadap kebelakang?" Belum sempat Diva melanjutkan ceritanya. Bu Ana sudah lebih dulu menegur mereka. Riza dan Zuma buru-buru balik ke posisi semula. Sedangkan Diva terduduk kaku di barisan belakang.
"Diva! Lepas topi kamu. Ini di kelas bukan di lapangan."
Seperti dugaan nya. Diva juga ikut kena semprot. "Iya, Bu."
Tunggu.
Topi?
Diva meraba kepalanya. Dan sial, ia lupa mengembalikan topi Fabian. Ia menghela nafas kesal, lagi-lagi karena topi ini ia harus berhadapan dengan pria itu.
Diva melepas topi tersebut dan menyimpan nya di kolong meja. Baru saja ia membuka buku pelajaran yang tadi ia keluarkan dari tas. Kesialan kembali menimpanya.
"Diva! kerjakan soal di depan!"
Untung saja ia di anugerahi otak yang cerdas. Ia dengan mudah memahami pelajaran Logaritma itu dan mengerjakan soal di papan tulis dengan mudah.
***
"Gila! Ngantuk bener gua." Zuma mengusap wajahnya. Gadis itu meregangkan tubuhnya. 4 jam sudah di lalui untuk mata pelajaran pertama dan kedua.
"Kantin ga?" Kata Riza kepada Zuma dan Diva. Sekarang pukul 09.30 waktu nya istirahat pertama.
Diva berpikir sejenak, meremas perutnya yang sudah keroncongan. Diva sebenarnya lapar ia lupa membawa bekal. Tapi, kalau ke kantin sudah pasti ia bertemu dengan Fabian.
"Kantin lah," Kata Zuma sembari mengolesi liptint di bibirnya. Riza mendengus di samping nya.
"Kantin gak, Div?" Tanya Riza lagi kepada Diva. Riza belum mendengar jawaban gadis itu.
"Kantin deh," Putusnya. Masalah bertemu dengan Fabian atau tidak. Itu ia nomer sekian kan karena yang terpenting adalah urusan perutnya.
Riza bangkit dari duduk nya begitu pula dengan Zuma. Sementara Diva terlihat tengah merogoh tas milik nya dan mengeluarkan dompet kulit berwarna peach pemberian papa nya kemudian di masukan ke dalam saku.
"Kuy!" Riza pun jalan terlebih dahulu diikuti oleh Diva dan Zuma di belakang nya. Mereka menuju kantin.
Sesampainya di kantin ketiga nya menghentikan langkah kemudian mulai mengedarkan pandangan. Sepertinya mereka terlambat karena suasana kantin yang sudah ramai di penuhi siswa/i SMA Nusa Bangsa walau tak semua nya.
"Buset! Rame banget kek pasar," Kata Diva.
"Kayak nya gak ada kursi kosong lagi deh. Dah pada penuh," Simpul Zuma setelah melihat kesana dan kemari mencari kursi kosong yang dapat menampung mereka bertiga.
"Itu disana tuh!" Zuma dan Diva mengikuti arah jari Riza yang menunjuk kursi yang baru saja di tinggali. Masih ada sisa bekas makanan di sana. "Sana aja yuk!"
Zuma meng-iya-kan. "Ayo!" Dengan tak sabar Zuma menarik tangan kedua sahabatnya, Diva dan Riza. Namun Zuma langsung menghentikan langkah ketika satu tangan nya yang tadi menarik Diva tak di respon gadis itu.
Ia pun menoleh menatap Diva. Gadis itu terdiam menutup mulutnya rapat, terfokus menatap ke satu arah. Riza yang memiliki kepekaan yang tinggi ikut menyadari itu. Mereka ikut menatap ke arah pandangan Diva yang terkunci.
Sontak Zuma langsung berdecih melihat pemandangan itu, pemandangan dimana lagi-lagi Fabian dan Jenisa yang duduk di satu kursi yang sama. Juga ada ke-empat teman Fabian didalam nya.
"Njir! Itu cewek yang sama kayak waktu itu bukan sih?" Tanya Riza sembari menyenggol bahu Diva.
Diva mengerjapkan mata terbangun dari lamunan nya. Sedari tadi gadis itu bahkan tak menyadari kalau kedua teman nya ikut melihat pandangan yang lagi-lagi menyesakkan hati nya.
"Eh, kenapa?" Tanya Diva.
"Sialan tuh cewek. Siapa nya Fabian sih dia? Cakep enggak banyak gaya banget." Ketus Zuma. Zuma memicing menatap tajam dua sejoli yang tengah tertawa sembari menyantap makanan nya itu. Ia menatap jijik ke arah gadis di kelilingi 5 lelaki itu.
"Udah. Kok jadi emosi sih, ayo! Katanya mau makan. Udah nemu kursi kosongnya belom?" Tanya Diva ia maju beberapa langkah membalikan badan menghadap teman nya. Tubuh mungil nya berhasil menutupi pemandangan itu dari kedua teman nya.
"Kita beli makanan kecil aja yuk. Nanti makan nya di kelas," Lanjut Diva.
Riza mengernyit sementara Zuma menggeram kesal melihat Diva dengan senyum nya. Senyum yang mengembang di bibir sementara matanya menyorot tatapan sedih.
"Makan di kelas?" Ulang Zuma. Zuma tersenyum sarkas. "Minggir!" Zuma menggeser tubuh Diva yang menghalangi sedikit kasar kemudian mulai melangkah.
"Eh, Zuma!" Teriak Diva panik melihat Zuma yang berjalan mengarah ke meja yang berisi Fabian, Jenisa serta teman Fabian disana.
"Zuma! Lu mau ngapain!" Teriak Riza.
Zuma seolah menulikan pendengaran nya dan berjalan santai ke arah meja Fabian. Dagu nya mengangkat angkuh dengan seringaian di bibirnya menghiasi wajah Resting Bitch Face a.k.a wajah judes dan tidak santai gadis itu.
Sementara diposisi nya, Diva menggerakan kaki gelisah menggigit bibirnya melihat Zuma. Riza pun ikut merasakan apa yang Diva rasakan. Mereka tahu betul siapa Zuma kalau sudah benci dengan orang.
Zuma semakin memantapkan langkah nya yang tinggal beberapa langkah lagi sampai di tujuan nya. Ia sengaja memperlambat kaki nya saat sudah semakin dekat dengan mereka. Senyum setan gadis itu mengembang mendapati ide jahat di kepalanya. Lirikan mata Zuma sempat memicing tajam ke arah Fabian dan Jenisa yang masih tidak menyadari kehadiran nya sementara teman Fabian asik dengan dunia mereka sendiri, seolah-olah mereka terpaksa duduk bersama kedua pasangan setan dari neraka itu.
Langkah kaki Zuma berhenti tepat di samping Jenisa yang memang duduk nya di ujung kursi sebelah kanan. Dan mereka masih tidak menyadari kedatangan Zuma.
"Guys! Kita di meja itu aja yuk," Zuma berpura-pura memanggil teman nya kemudian membalikan tubuh nya dengan sengaja mengibas rambut panjang bergelombang nya.
"Aw!" Disaat yang bersamaan terdengar ringisan yang terdengar dari mulut Jenisa. Jenisa langsung mengucek mata nya kasar saat di rasa rambut Zuma mengibas ke arah mata nya yang tengah terbuka.
"Eh! Sorry. Aduh sorry ya dek, gak sengaja tuh." Zuma menutup mulut nya dengan kedua tangan mendramatisir keadaan seolah Zuma tak sengaja melakukan nya.
Fabian dan ke-empat teman nya langsung mendangakan kepala melihat Zuma. Ke-empat teman Fabian menatap nya terkejut sementara Fabian menatap nya dengan tatapan marah.
Tak jauh dari mereka baik Diva dan Riza juga shock melihat apa yang Zuma lakukan.
"Njir! Bar-bar," Ucap Riza menggumam meringis melihat kelakuan sahabat nya itu. Riza dengan cepat menarik tangan Diva menghampiri Zuma takut suasana semakin kacau.
"Gapapa kan ya itu mata? Gak buta kan?" Sarkas Zuma melipat tangan di dada. Tak ada wajah penyesalan dari nya malahan seringaian semakin nyata di bibirnya.
Arsen, Farel, Chocky dan Hilman masih terpaku di tempatnya masih tak menyangka apa yang baru saja gadis itu lakukan. Mereka menyadari Zuma sengaja melalukan nya dari ekspresi yang di tunjukan gadis itu.
"Jangan di kucek gitu, je. Apa nya yang sakit. Coba buka matanya aku liat dulu sini," Perintah Fabian dengan lembut. Ia memiringkan badan nya menangkup wajah gadis itu.
Deg.
Diva menggigit bibir dalam nya kuat. Meremas erat rok putih yang ia kenakan tak kalah kuat. "Aku"? Apa Diva tidak salah dengar. Barusan Fabian menyebut diri nya dengan sebutan "aku" hati nya semakin teriris mendengar nada khawatir dari pria itu. Berbanding terbalik dengan nya. Dari awal pacaran, Fabian tak pernah menyebut diri nya dengan sebutan "aku". Kedua matanya masih fokus melihat pemandangan yang benar-benar membuat dadanya sesak.
Fabian langsung menggeram saat mendapati mata Jenisa yang memerah. Ia juga tidak dapat menyalahkan Jenisa yang memakai soflen di mata nya. Mungkin penyebap matanya memerah karena saat gadis itu mengucek kedua matanya soflen itu ikut bergeser mengenai matanya.
Fabian bangkit dari duduk nya. Berkata keras sambil menunjuk ke arah Zuma. "Lo yang buta!" Balas Fabian hampir membentak. "Matanya merah lo gak liat? Dan itu lo bilang gapapa? Lo bisa gak sih santai dikit jadi cewek?!"
Nafas lelaki itu memburu. Fabian mengedarkan pandangan nya dan baru menyadari kalau juga ada Diva di sana. Gadis itu menatap nya lekat dengan matanya yang berkaca-kaca. Sontak Fabian langsung membungkam mulut melihat tatapan gadis itu yang kini menatap dirinya dan Jenisa yang tengah tertunduk dengan bergantian.
"Lo ngehina gua hah?! Biarpun lo disini satu tingkat di atas gua, tapi gua gak takut lawan cowok banci kayak lo!" Teriakan Zuma berhasil mengundang semua rasa penasaran seluruh siswa/i yang saat ini berada di kantin. Tak sedikit dari mereka mulai mengerubung untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi.
Riza mendekat ke arah Zuma berusaha menenangkan Zuma yang sedang berapi-api. "Zuma! Udah!"
"Brengsek!" Umpat Fabian. Baru saja Fabian ingin menghampiri Zuma. Ketiga teman nya sudah lebih dulu menahan nya. Terkecuali Arsen yang memilih diam dan menikmati makanan nya dengan santai seolah tidak ada yang terjadi.
"Udah, Fab! Malu di liat banyak orang." Chocky berjalan mengitari meja menghampiri Fabian yang ada di seberangnya. Memang bahu lelaki itu berusaha menenangkan nya.
"Udah bego, Fab! Dia cewek. Masih aja lo lawan," Farel ikut berdiri memasang badan takut-takut Fabian akan menyerang.
"Mending lo bawa deh nih cewek ke UKS," Sambung Hilman melirik ke Jenisa yang mulai terisak meringis perih.
Fabian menepis tangan Chocky dengan kasar. Tangan nya tergerak merapihkan seragam sekolah nya. Lagi, Fabian kembali menatap ke arah Diva.
"Lo!" Kini giliran Diva yang di tunjuk Fabian. "Ajarin temen lo jadi cewek baik-baik."
Arsen menghentikan acara makan nya. Membanting sendok yang ia pegang dan berdiri memasang badan di depan Diva. "Bisa gak gini aja gak usah lo perpanjang?"
Tbc
See you next chapter