Pagi harinya aku terbangun, menatap Gilang yang sudah menghilang dari kamar kami. Aku menatap sekeliling kamar, sambil mengucak-ngucak mataku. Aku berjalan masuk kedalam kamar mandi, lalu keluar dengan handuk yang melilit ditubuh ku.
Aku mencari pakaian yang ada didalam lemari pakaian. Namun tiba-tiba, seorang laki-laki masuk kedalam kamar, membuatku terkejut. Aku menatap Gilang ada didepan pintu, matanya menatap tajam kearah ku.
"Ahhhhh..."
"Kenapa berteriak? Benar-benar tidak waras!" ucap Gilang lalu masuk kedalam kamar. Gilang mengunci pintu kamar kami, hanya ada aku dan Gilang, berdua didalam kamar itu.
Aku menggigit bibirku, ada rasa takut menggerogoti hatiku. Bagaimana jika dia melakukan hal buruk padaku? Bagaimana jika dia macam-macam padaku?
Aku menatap wajah Gilang yang sedang asyik merapikan berkas-berkas ditangannya. Lalu memberikan satu berkas kepadaku tanpa menoleh.
"Ini..." ucapnya.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Pendaftaran kuliah untukmu! Kata Kayla kau ingin kuliah kan?" ucapnya datar, tanpa ekspresi sedikitpun.
"Apa kau izinkan? Aku boleh kuliah?" ucapku senang, laki-laki itu hanya mengangguk masih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Cepat bersiap, aku akan mengantarmu!" ucap Gilang lalu keluar dari kamar kami.
Aku jingkrak-jingkrak kegirangan, rasanya aku melihat sosok lain dari robot angkuh itu. Ternyata dia punya sisi positif dalam dirinya yang tidak aku ketahui.
Aku memakai bajuku, dress cantik berwarna putih menjadi pilihanku. Aku menatap kearah cermin, sambil memutar badanku beberapa kali, seraya bergaya bak seorang model. Aku merias sedikit wajahku, lalu menyisir rambut panjangku.
Aku keluar dari kamar, menatap semua penghuni rumah sudah berada di meja makan. Semua mata menatap kearah ku, ada apa memangnya? Apa yang salah dengan pakaian yang aku kenakan!
Ibu Gilang menutup mulutnya, serasa terkejut sekali menatapku. Sementara Gilang, tersenyum menatap kearah ku. Tersenyum? Apa aku tidak salah lihat? Robot angkuh itu tersenyum menatapku?
"Duduk disini!" ucap Gilang sambil menepuk kursi yang berada disebelahnya.
Aku hanya menuruti permintaan Gilang, untuk duduk disebelahnya. Sementara mata para penghuni rumah masih melotot menatap kearah ku. Sebenarnya ada apa? Apa yang membuat mereka terkejut?
"Habiskan sarapan mu!" ucap Gilang sambil menyendok nasi goreng ke piringku.
Aku memakan sarapanku, walau aku masih menyimpan banyak pertanyaan dengan wajah para penghuni rumah pagi ini. Kenapa mereka masih saja menatapku dengan tatapan menyeramkan seperti itu?
Aku menatap Gilang berdiri lalu berjalan masuk kedalam kamarnya. Tiba-tiba semua yang berada dimeja makan berbisik padaku.
"Dimana kau mendapatkan dress itu?" tanya Ibu.
"Aku menemukannya didalam lemari pakaian. Memangnya ada apa dengan baju ini?" tanyaku.
"Itu baju untuk Kak Elisha yang dibeli Kak Gilang dulu! Aku saja pernah menyentuhnya, tapi Kak Gilang ngamuk. Tapi hari ini berbeda, dia malah tersenyum menatap kau memakai dress itu, apa jangan-jangan... " Keysa tidak melanjutkan kata-katanya.
"Jangan-jangan apa?" tanyaku penasaran.
"Kak Gilang mulai menyukaimu!" tawa Keysa.
Terlihat Ibu dan Ayah Gilang tersenyum menatap kearah ku. Apa sebegitu hebat kah diriku, hingga bisa membuat seisi rumah terkejut.
"Tetaplah bersama Gilang, Nak!" ucap Pak Bagas.
"Jangan buat dia kecewa ya!" sahut Ibu sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk, apa lagi yang bisa aku ucapkan? Aku bahkan tidak pernah ingin hadir didalam kehidupan mereka, tapi takdir memaksaku untuk tetap berada bersama mereka.
Aku menatap kearah Gilang yang sudah rapi dengan setelan jas kantornya. Dia menggandeng tanganku, lalu menuntunku keluar dari rumah itu tanpa bicara sepatah katapun. Aku menoleh kearah Keysa, namun Keysa hanya tersenyum dari kejauhan. Mau bawa aku kemana robot angkuh ini?
Gilang membukakan pintu mobil untukku, tanpa bicara sepatah katapun. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi sedikitpun. Sudah menjadi hal yang biasa untukku, menghadapi keangkuhan dan wajah datar laki-laki itu.
Gilang menjalankan mobilnya sambil sesekali membetulkan kaca spion mobilnya. Aku menoleh kearah Gilang yang masih diam dan mungkin hanya akan tetap diam. Lama-lama bersamanya benar-benar membuat ingin menggigitnya agar dia berteriak dan mengeluarkan suaranya. Apa sebegitu sulitkah, mengajak aku berbicara? Apa dia tidak tahu, bersama dengannya benar-benar membuatku bosan.
Aku menatap kearah jendela mobil disampingku, malas jika harus menatapnya sepanjang jalan. Wajah angkuh tanpa senyum, benar-benar menyeramkan!
Gilang menghentikan mobilnya didepan sebuah Universitas besar, lalu memintaku untuk turun tanpa berbicara. Mungkin Gilang ini laki-laki yang hemat baterai, bicaranya hanya jika dia ingin bicara saja, selebihnya dia habiskan untuk mengunci mulutnya.
Gilang menemui seorang dosen, dia berbicara berdua dengan dosen itu. Entahlah, apa yang mereka bicarakan! Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu!
Setelah cukup lama berbicara berdua, Gilang kembali menghampiriku. Aku menatap dari kejauhan, Keysa baru turun dari mobilnya. Dia melambaikan tangan kearah ku.
"Kak Andini!" teriak Keysa.
Gilang menatap kearah Keysa dengan wajah menyeramkan nya itu. Keysa buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Jangan panggil dia Kakak, panggil nama saja saat di tempat kuliah. Kalian masuk dalam kelas yang sama. Aku pergi, jaga Andini!" ucap Gilang seraya meninggalkan aku dan Keysa.
Keysa menatap kearah ku, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Matanya menatap tajam kearah ku. Ada guratan pertanyaan yang ingin dia ketahui dariku.
"Apa yang kau berikan pada Kakakku?" tanya Keysa penasaran.
"Aku? Aku memberikan apa memangnya?"
"Kenapa kau balik bertanya, Andini? Apa kau tidak merasakan perubahan sikap Kak Gilang padamu?"
"Memangnya apa yang berubah? Dia masih sama saja, sikapnya tetap angkuh dan dingin sekali padaku!"
"Hahaha... Ini kali pertama Kak Gilang berbicara layaknya manusia!"
"Apa maksudmu? Apa kau mau bilang, jika Kakakmu sebelumnya bukan manusia?" tawaku.
"Begitulah kurang lebih nya!" tawa Keysa.
Aku dan Keysa terus berbincang sampai suara bel masuk berbunyi. Aku duduk disebelah Keysa, sambil menatap kearah dosen yang baru saja masuk kedalam kelas kami.
Wajah dosen itu masih muda, mungkin usia dosen itu berkisar 22 tahun. Dosen itu tersenyum sambil memulai menyampaikan materi pelajaran.
Sepanjang pelajaran, aku menatap semua mahasiswi menatap kearah dosen itu dengan tatapan lebay. Kenapa lebay, karena yang mereka tatap bukan materi yang dijelaskan si dosen, tapi lebih mengarah ke wajah dosennya yang tampan. Huh... Mereka benar-benar mahasiswi yang haus akan belaian! Masa dosen saja jadi rebutan?
Aku masih menulis rangkaian materi yang disampaikan dosen tampan bernama Randy Ardian itu. Sementara Keysa menyenggol tubuhku dengan bahunya tanpa menoleh kearah ku.
"Kau lihat, itu dosen paling tampan di Universitas ini!" ucap Keysa pelan.
"Lalu?"
"Lalu? Kau tidak ngiler liat wajahnya yang tampan?"
"Tidak. Biasa saja!"
"Apa? Yang seperti Randy, kau bilang biasa saja? Apa kau tidak waras? Besok akan ku belikan kau kacamata agar kau bisa melihat dosen itu dengan jelas," ucap Keysa kesal.
.
"Tapi mataku tidak apa-apa! Aku masih bisa melihat dengan jelas wajah pria itu!"
"Kau tidak tertarik?"
"Tidak."
"Tidak bernafsu dengan wajah tampannya?"
"Tidak."
"Apa kau sudah gila?"
"Aku masih waras Keysa! Aku memang tidak menyukai laki-laki itu!" ucapku sambil tersenyum.
"Lalu, laki-laki mana yang kau suka? Kakakku?"
"Tidak. Aku tidak pernah berani jatuh cinta! Rasanya pasti akan sakit jika aku tidak bisa mendapatkannya! Aku lebih suka belajar, bekerja, daripada memikirkan masalah cinta," tawaku.
"Huh... Pemikiran mu benar-benar mirip dengan orang tua!" tawa Keysa.
Tak lama setelah hampir dua jam memberikan materi, dosen muda itupun menyudahi pelajarannya. Para mahasiswa berebut untuk menghampiri dosen tampan itu. Sementara aku keluar dari ruangan yang dipadati oleh fans liar dosen Randy.
Aku berkeliling universitas, aku menatap pemandangan dan suasana tempat itu begitu indah dan bersih. Aku terkejut, saat seorang laki-laki menarik lembut tanganku.
Aku menatap sekilas laki-laki itu, aku terkejut sampai mundur beberapa langkah dari tempat ku berdiri. Aku menepis tanganku yang disentuh olehnya. Laki-laki itu bernama Fero Yudistira. Dia adalah laki-laki yang pernah menyukaiku waktu aku masih sekolah di bangku SMA dulu.
"Kau... Mau apa?" ucapku pelan.
"Sudah lama ya, kita tidak bertemu!" ucap Fero sambil tersenyum.
"Aku masih ada urusan!" ucapku sambil berjalan meninggalkan laki-laki itu. Tapi saat berjalan meninggalkan Fero, aku tidak sengaja menabrak tubuh seseorang, hingga aku jatuh dalam pelukannya.
Aku menatap laki-laki tampan itu, maksudku dosen tampan yang tadi mengajar di kelasku. Dosen Randy masih menatapku dengan tatapan takjub. Ada guratan senyum yang terukir dibibirnya.
"Maaf..." ucapku sambil melepaskan pelukan dosen itu.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang membuatmu ketakutan seperti itu?" tanya dosen Randy.
"Tidak ada. Aku hanya sedang mencari seseorang!"
"Siapa? Pacarmu kah?" senyum dosen tampan itu.
"Tidak. Sepupuku!" ucapku sambil tersenyum.
"Siapa sepupumu?" tanya Dosen itu, mulai kepo.
"Keysa, namanya Keysa."
"Jadi kau itu sepupunya Keysa? Wah, kalau begitu kapan-kapan aku akan main kerumah Keysa, lalu mampir kerumah mu!" ucap dosen Randy antusias.
"Hah..." Aku terkejut mendengar ucapan dosen tampan itu. Memangnya mau apa dia?
"Sudah ya, Pak! Saya masih ada hal lain yang harus saya selesaikan. Saya permisi!" ucapku sambil berjalan meninggalkan laki-laki itu.
Keysa menghampiriku setengah berlari, lalu menyerahkan ponselnya padaku.
"Kakakku sejak tadi meneleponku, menanyakan tentangmu! Cepat kau hubungi dia, sebelum dia marah padaku!" ucap Keysa sambil menarik nafasnya.
Aku meraih ponsel ditangan Keysa, lalu mulai menghubungi nomor telepon Gilang. Panggilan terhubung, aku mendengar suara robot angkuh itu berbicara.
"Halo..." ucapku.
"Iya. Bagaimana?" tanya Gilang.
"Bagaimana? Bagaimana apanya, Mas?" tanyaku bingung.
"Apa kau betah kuliah disana? Apa ada yang menggoda mu? Ceritakan padaku!" ucap Gilang.
"Tidak ada. Aku betah kuliah disini!"
"Ya sudah. Kau tetap harus hati-hati! Ingat, jangan pernah tertarik pada laki-laki lain. Kau sudah menikah, ingat itu!" ucap Gilang sambil mematikan ponselnya.
Aku mencerna kata-kata yang diucapkan Gilang. Kenapa dia begitu mengkhawatirkan keadaanku? Apa jangan-jangan...
Ah, jangan berpikir hal yang mustahil terjadi! Dia itu robot angkuh yang tidak mungkin jatuh cinta padaku.
Aku memberikan ponsel Keysa, lalu duduk disamping adik Gilang itu.
"Kenapa? Apa yang dikatakan Kak Gilang?" tanyanya.
"Dia hanya mengingatkan aku agar tidak dekat-dekat dengan laki-laki. Dia memperingatkan aku, jika aku ini sudah menikah dengan dia!" ucapku.
"Benarkah? Bukankah harusnya kau senang?" tawa Keysa.
"Senang? Kenapa aku harus senang?" tanyaku heran.