webnovel

Pernikahan Paksa Tanpa Cinta

Andini terpaksa menikahi laki-laki angkuh, untuk melunasi hutang-hutang Ayahnya. Gadis berusia 18 tahun itu, harus menerima takdirnya, menikah muda dengan seorang laki-laki angkuh demi melunasi hutang-hutang Ayahnya. Gilang dan Andini menikah, namun sikap laki-laki itu tidak pernah ramah sama sekali. Pernikahan hambar yang hanya bergelut dengan air mata, karena laki-laki yang dinikahi Andini adalah laki-laki dingin, angkuh dan tidak punya perasaan. Seperti apa Andini menghadapi suami angkuhnya itu? Apakah Andini bisa membuat Gilang jatuh cinta padanya? Lanjut baca yuk...

Rena_Karisma · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
14 Chs

Aku Takut

Siang itu menjadi siang yang panjang untukku dan Gilang. Kini Gilang kembali menyerangku dengan deru nafsu diwajahnya. Aku masih merasakan hal aneh saat melakukan percintaan bersama Gilang. Namun aku tidak bisa menolak segala hal yang dilakukan Gilang padaku.

Bibir Gilang masih menguasai bibirku, dengan deru nafas yang menggebu serta gejolak cinta yang menguasai hati kami. Aku menahan rasa ngilu di bagian sensitif ku. Namun tetap melanjutkan permainan yang dilakukan Gilang padaku.

Entah sudah berapa lama kami berada dikamar hingga Ibu Gilang mengetuk pintu kamar kami.

TOK... TOK... TOK...

Suara ketukan itu tentu membuat sepasang mata kami melotot karena terkejut. Aku menatap Gilang, namun Gilang hanya tersenyum kecil menatapku.

"Nak, buka pintunya! Kalian berdua belum sarapan, turunlah dulu! Ini sudah jam setengah 12 siang. Apa Gilang sakit, Andini?" ucap Ibu mertuaku terlihat cemas.

"Bagaimana, Mas? Ibumu ada didepan pintu kamar kita?" bisikku pelan, menatap Gilang yang berada di atas tubuhku.

"St... Panggil aku dengan sebutan sayang! Ini perintah untukmu. Masalah Ibuku, biarkan saja dia. Aku tidak mau ada orang yang mengganggu kita saat ini!" ucap Gilang sambil mengusap lembut wajahku.

"Tapi Ibumu pasti khawatir! Katakanlah sesuatu, agar dia tidak menunggu di luar kamar kita!" ucapku pelan.

"Baiklah, sayang!" ucap Gilang sambil bangun dari tubuhku.

Dia mengambil handuk yang tergantung di samping pintu kamar mandi. Gilang memakai handuk itu lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuhku.

Gilang berlahan membuka pintu kamarnya, menatap dengan tatapan sinis kearah Ibunya itu. Namun Ibu Gilang malah tersenyum menatap putranya yang terlihat sangat kesal.

"Nak, kau tidak pergi ke kantor?" tanya Ibu.

"Tidak."

"Kenapa? Apa kau sakit?" tanya Ibu dengan wajah khawatir.

"Tidak. Aku sedang sibuk bersama istriku! Jangan ganggu kami!" ucap Gilang dengan wajah datarnya.

"Apa yang kalian lakukan? Apa sedang membuat cucu untukku?" ucap Ibu dengan wajah gembira.

Ibu Gilang menatap ke arahku yang ada di atas tempat tidur. Wajahnya begitu berbinar-binar menatap ke arahku.

"Buatlah cucu untukku, Andini!" teriak Ibu sambil melambaikan tangannya.

Sementara Gilang terlihat kesal menatap kearah Ibunya yang mulai berteriak-teriak minta cucu. Tak lama Ibu Gilang pergi meninggalkan kamar kami, karena merasa hal yang dilakukannya membuat sang putra terlihat sangat kesal.

"Baiklah, Nak! Ibu akan pergi! Lakukanlah sesering mungkin, agar Ibu secepatnya mendapatkan cucu dari kalian berdua!" ucap Ibu Gilang sambil berlalu meninggalkan kamar kami.

Gilang menutup pintu kamar kami dengan wajah yang masih kesal. Aku sedikit takut padanya, walaupun dia bilang mencintaiku bukankah dia tetap saja menyeramkan?

"Buka selimutnya!" ucap Gilang sambil menatap ke arahku.

"Aku pikir, sudah selesai!" ucapku mengendus kesal.

"Kau harus melakukan kewajiban mu sebagai istriku. Jangan menolak, buka selimutmu!" ucap Gilang dengan senyum yang menakutkan.

Karena aku kekeh mempertahankan selimutku, dengan kasar Gilang menarik selimut itu dan melemparnya ke sembarang tempat. Kini tawanya menyeringai menatap tubuhku tanpa balutan pakaian.

"Jangan menatapku begitu! Wajahmu benar-benar menakutkan!" ucapku sambil menundukkan kepalaku.

"Sayang, bukankah ini adalah hal yang selama ini kau inginkan dariku? Jangan pura-pura jaim, aku bisa melihat tatapan matamu yang selalu menggodaku setiap harinya!" tawa Gilang.

"Apa maksudmu!" ucapku sambil melotot menatap kearah Gilang.

Dengan cepat Gilang menyerangku, bibirnya mengecup mesra bibirku tak terkendali. Suasana semakin panas, saat Gilang menyusuri tangannya di tubuhku.

Gerakan Gilang semakin membuatku kewalahan, hingga akhirnya pertempuran sengit itupun berakhir. Lelah baru terasa setelah semuanya berakhir. Dengan senyum manisnya Gilang mengecup bibirku lalu beranjak menuju kamar mandi.

Kini hanya tinggal aku di tempat tidur, aku mencoba menggerakkan tubuhku namun seluruh tubuhku rasanya sakit semua. Aku menatap bercak darah di sprei tempat tidur. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah menyerahkan keperawananku pada Gilang.

Aku mengambil handuk untuk menutupi tubuhku sambil menunggu Gilang keluar dari kamar mandi. Aku terkejut, saat Gilang keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Aku menggigit bibirku, menatap pesona yang terpancar dari wajah Gilang.

Namun dengan sombongnya laki-laki itu mengacuhkan ku, dia langsung berbaring di sofa. Dia memainkan ponselnya, seolah aku benar-benar tidak ada dihadapannya. Ternyata dia mulai lagi, dia kembali menjadi pria angkuh setelah birahinya tuntas.

"Kenapa menatapku begitu? Ada yang aneh?" ucap Gilang masih asyik memainkan ponselnya.

"Tidak."

Aku hanya menggerutu di dalam hati, menatap kesal kearah suamiku itu. Namun aku juga menyadari, mungkin aku yang terlalu jauh menafsirkan ucapannya. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar mandi.

"Huh, menyebalkan! Bukankah tadi dia sangat romantis? Kenapa tiba-tiba berubah? Apa dia itu tidak waras? Atau aku yang mulai gila karena mengharapkan cinta darinya? Sudahlah Andini! Untuk apa kau memikirkan laki-laki itu? Dia memang tampan, tapi dia robot angkuh. Kau akan sakit hati terus dibuatnya, lebih baik buang jauh-jauh perasaan aneh yang menyerang hatimu!" ucapku menasehati diri sendiri.

Setelah selesai mandi, aku memakai baju tidurku. Aku cukup terkejut karena baju tidur yang biasa ku pakai tiba-tiba diganti dengan baju tidur baru. Baju tidur seksi yang pasti membuatku tidak betah memakainya. Apalagi melihat Gilang ada bersamaku dikamar ini. Tentu ini akan mengundang pertempuran baru untuk kami.

"Sayang, aku lapar!" bisikku pelan.

Gilang masih fokus dengan ponselnya, dia tidak mengindahkan ucapanku. Aku berusaha menarik nafas panjang, agar bisa sabar menghadapi laki-laki dihadapanku ini.

"Baiklah, sayang! Aku mau keluar kamar untuk mengambil makanan di dapur!" ucapku sambil melangkah pergi.

"Tunggu! Jangan pernah keluar kamar dengan baju tidur itu!" teriak Gilang yang membuatku terkejut.

Aku menghentikan langkahku, lalu menoleh kearah Gilang.

"Lalu bagaimana? Aku lapar! Bukankah kau yang mengganti baju-baju ku dengan baju tidur seksi ini?" ucapku kesal.

"Aku? Kenapa aku harus melakukan hal bodoh macam itu? Sudahlah, duduk di sana! Aku akan menelpon pelayan rumah untuk membawakan makanan untuk kita!" ucap Gilang sambil menekan nomor di ponselnya.

"Halo, ini aku Gilang! Tolong bawakan makanan ke kamarku, segera!" ucap Gilang lalu mematikan ponselnya.

Tak butuh waktu lama, dua pelayan wanita datang ke kamar kami. Mereka menata makanan di atas meja. Aku menelan ludahku, menatap makanan yang ada di meja itu. Sudah jam satu siang, aku bahkan belum makan apa-apa karena aku ditawan Gilang dan dilarang keluar dari kamar ini.

"Keluarlah!" ucap Gilang sambil memberikan kode pada para pelayan untuk pergi dan menutup kembali kamar ini.

Aku masih menunggu Gilang menawariku makan, namun dia masih sibuk dengan ponselnya. Aku mengusap perutku yang lapar, akankah aku kembali disiksa oleh robot angkuh itu? Apanya yang cinta, perduli padaku saja tidak!

Aku menahan geram dalam hati, ingin rasanya aku menelan manusia dihadapanku ini hidup-hidup. Lama-lama aku bisa benar-benar gila jika terus berada bersamanya. Bahkan hampir setengah jam, aku hanya jadi penonton melihat dia memainkan ponselnya.

Aku yang kesal dan mulai tak sanggup menahan lapar, akhirnya memutuskan mengambil makanan yang ada di meja. Gilang menatap ke arahku, bibirku sudah penuh diisi dengan makanan yang aku masukan kedalam mulutku.

"Siapa yang mengizinkanmu makan?" ucap Gilang pelan, namun membuatku terkejut.

"UHUKK... UHUKK..."

Aku terbatuk-batuk mendengar kata-kata yang diucapkan Gilang padaku. Masa untuk makan saja, aku harus minta izin padanya. Lagipula sejak tadi aku sudah menunggunya menawariku makan, namun dia tidak perduli padaku.

"Minum ini!" ucap Gilang sambil memberikan gelas berisi air putih padaku.

Aku segera meminum air yang diberikan Gilang padaku. Kini wajah Gilang menatap tajam ke arahku.

"Kenapa kau makan secepat itu, jadi tersendak kan!" ucapnya.

Padahal setahuku, bukankah aku tersendak gara-gara dia memarahiku karena aku makan tanpa seizinnya. Benar-benar pria menyebalkan!

"Aku lapar sekali! Maafkan aku!" ucapku sambil menundukkan kepalaku.

"Ya sudah, lanjutkan makannya! Aku ada urusan penting di luar rumah. Ingat kata-kataku, jangan pernah keluar dari kamar tanpa seizin ku!" ucap Gilang sambil menatap tajam ke arahku.

"Baik!"

"Baguslah! Ingat, jika kau tidak mematuhi apa yang aku perintahkan, aku akan memberikan hukuman untukmu!" ucap Gilang sambil berjalan menuju pintu kamar.

"Iya, aku mendengar kata-katamu!" ucapku sambil tersenyum.

Saat berjalan keluar kamar, tiba-tiba Gilang kembali masuk ke dalam kamar ini. Aku cukup terkejut, mau apa dia mendekat ke arahku lagi? Bukankah dia bilang ada urusan di luar rumah.

Gilang menatap ke arahku dengan wajah angkuhnya. Tangannya meraih daguku lembut, lalu mengecup bibirku cukup lama. Aku menutup mataku saat melihat Gilang melakukan hal yang sama. Tak lama Gilang melepaskan kecupannya di bibirku. Lalu kembali menatap kearah wajahku.

"Aku mencintaimu!" ucap Gilang lalu pergi meninggalkan kamar.

Aku sangat terkejut dengan hal yang dilakukan Gilang padaku. Entahlah, terkadang dia begitu romantis, tetapi kadang dia berubah menjadi laki-laki yang menyebalkan. Aku kembali duduk di sofa sambil memakan makanan yang ada di meja itu.

Setelah kenyang, aku memutuskan untuk mengusir sepiku dengan menatap pemandangan yang ada di balkon kamar itu. Aku menatap pemandangan di sekitar rumah dan menatap langit terang yang biru.

Aku melihat burung-burung berterbangan kesana-kemari di atas langit. Aku juga menatap mobil yang melintas di sekitar komplek yang tak jauh dari gerbang rumah Gilang.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengangkat telepon itu.

"Halo..." ucapku pada si penelpon.

"Sayang, ini aku suamimu! Aku saat ini sedang bersama klien-klienku, kebetulan aku ada meeting dan melewati toko boneka. Apa kau suka boneka?" ucapnya.

"Suka. Memangnya kau mau membelikan boneka untukku?"

"Kau suka boneka apa? Panda, hello Kitty, beruang, Miki mouse atau boneka yang lain? Katakan saja, nanti aku belikan!" ucap Gilang dengan suara penuh kebahagiaan.

"Apapun boneka yang kau belikan untukku, aku pasti suka!" ucapku dengan hati bahagia.

"Baiklah, sayang! Sudah ya, aku masih belum selesai dengan meetingku. Tunggu aku pulang, bye!" ucap Gilang sambil mematikan ponselnya.

Aku seperti mendapatkan kupon undian, saat mendengar kata-kata manja dan lembut dari robot angkuh yang kini jadi suamiku. Sepanjang perjalanan kami menikah, ini kali pertama dia memperlakukanku seperti layaknya manusia. Entahlah, jika dia terus bersikap semanis ini, besar kemungkinan aku akan jatuh cinta padanya.

Aku menarik sprei tempat tidur, lalu mengganti sprei itu dengan sprei baru yang ada di lemari. Aku merapikan kamar Gilang yang nampak berantakan. Hingga aku menemukan sepucuk surat di laci meja.

Aku membuka surat itu, saat membacanya hatiku bergetar. Ada haru yang menyelimuti perasaanku.

"Aku sudah lelah menghadapi sikap keluargamu yang tidak bisa menerima kehadiranku. Kita sudah berpacaran lebih dari empat tahun, namun sikap keluargamu padaku masih sama seperti awal pertemuan kita dulu. Mereka menganggap aku tidak pantas untukmu hanya karena latar belakang keluargaku. Aku sakit hati, aku tidak terima, saat Ibu dan Ayahmu mengusirku dari rumah besar milikmu. Aku mau pergi saja dari hidupmu! Lupakan saja, jika kita pernah saling mencintai!"

Aku menutup kembali surat itu, aku yakin itu adalah surat dari Elisa. Ternyata cinta mereka terhalang oleh kedua orang tua Gilang. Pantas saja Gilang begitu membenci keluarganya. Mungkin ini adalah alasan dan penyebabnya. Aku mengembalikan surat itu di kotak laci tempatku menemukannya.

Aku berjalan pelan menuju tempat tidur lalu membaringkan tubuhku di sana. Entah kenapa aku bisa membayangkan rasa sakit yang dialami Gilang saat itu. Aku ikut sedih, aku seakan tidak rela melihat dia harus merelakan orang yang dia cintai.