webnovel

Paman, Bibi, Dan Sepupu (1)

Selain bicara dengan Feny dan Helen, Aria tadinya sama sekali tidak berani menoleh ke arah Rei sepanjang perjalanan mereka. Tapi begitu hari mulai malam dan kedua anak itu mulai tertidur, Aria jadi mulai merasa canggung sendiri karena Rei tentu saja tidak tidur--dan masih suka melihat ke arahnya dengan tatapan penuh protes.

Makanya sebelum dimarahi lagi, Aria pun memilih untuk membicarakan hal yang lain dulu. "O-Omong-omong, apa kau serius saat mengatakan itu sebelumnya?" Tanya Aria akhirnya.

Menoleh, Rei sempat memandanginya dulu sebelum menjawab. "Aku tidak yakin kau sedang membicarakan apa, tapi biasanya Aku selalu serius."

"Tentang memecatku."

"Ah, kau mendengar itu? Karena kau mengabaikanku, kupikir telingamu sempat tuli karena ditembaki jamur itu terus." Balas Rei yang sesuai dugaan masih senang mencibirnya.

Tapi setelah membiarkan Aria memasang wajah cemberut sesaat, dia pun kembali melanjutkan. "Yah, tadinya memang serius. Tapi setelah kau merusak ini, sepertinya itu harus diundur lagi." Katanya sambil melemparkan sesuatu.

Aria sempat kelabakan saat Rei tiba-tiba melakukannya, tapi untungnya dia bisa menangkapnya. Dan setelah dilihat, ternyata itu adalah kubus mahal yang sekarang sudah tidak berguna lagi.

"Pokoknya nanti kau yang jelaskan pada nyonya Loreine." Tuntut Rei kemudian.

Tidak perlu dijelaskan, Aria juga langsung bisa merasakan kalau dia sudah tidak bisa menarik sihir apapun dari kubus itu. Jadi dia pun tidak membantah. "Aku minta maaf."

"Tapi darimana kau berpikir bisa menyekap jamurnya di situ?"

"Tidak tahu… Aku hanya tiba-tiba terpikir, kalau kubusnya bisa menyimpan sihir, siapa tahu dia juga bisa menyimpan kutukan jamur itu." Balas Aria seadanya. "Makanya Aku buat lingkaran sihir yang bisa membuatnya tertidur." Jelasnya.

Tapi karena Rei malah terdiam setelah mendengarnya, Aria pun mulai merasa aneh lagi. "...Kenapa? Apa itu sangat aneh?"

"Tidak juga. Kerja bagus." Balas Rei singkat. Meski sebenarnya dia seperti kembali diingatkan kenapa dia ingin Aria bekerja untuknya. Perkataan orang jenius memang suka bikin bingung dan kagum secara bersamaan.

"Lalu, sebenarnya kita mau apa ke kota Emor?" Tanya Aria lagi.

"Emblem terakhirnya."

Membeku, Aria bisa merasakan irama jantungnya mulai berdetak tidak beraturan. "Ba-Ba-Bagaimana caranya?" Tanya Aria yang sudah mulai mengeluarkan keringat dingin.

Yang pertama bajak laut, lalu yang kedua monster jamur… Kalau yang berikutnya dia benar-benar disuruh melawan raja iblis sekalian, Aria bisa mati betulan kali ini!

"Tenang saja. Kau tidak perlu melakukan apa-apa kali ini." Balas Rei yang langsung geli melihat wajah Aria memucat. "Aku hanya perlu memintanya pada pamanku."

Tidak begitu mengerti maksudnya, Aria tadinya cuma bisa diam. Tapi setelah teringat sesuatu, dia pun kembali angkat suara. "Eh, pamanmu?" Ulangnya.

"Ya. Yang waktu itu mengirim kucing setan." Balas Rei yang malah mulai melebarkan senyumnya mengerikan. "Dia berhutang banyak padaku."

"Oh…" Celetuk Aria sekenanya. Tapi saat dia pikir percakapan mereka sudah selesai, Rei malah kembali memanggilnya.

"Oh iya, omong-omong kau harus memanggilku dengan sebutan tuan lagi." Katanya kemudian. "Pamanku bisa curiga kalau tahu kau menyebut namaku dengan santai, soalnya nanti Aku berencana bilang kalau kau hanya penjual obat yang sedang kusewa."

Mendesah dalam hati, Aria hanya bisa diam. Tapi lagi-lagi Rei kembali bicara. "Dan satu lagi, pamanku punya anak laki-laki yang seumuran denganmu, namanya Oliver." Ceritanya lagi. "Aku seharusnya tidak perlu sampai mengatakan ini, tapi jangan dekat-dekat dengannya."

"Kenapa?"

"Yah, tidak akan sulit untuk menebaknya. Nanti kau juga tahu."

===============================

Hal pertama yang Aria rasakan begitu mereka mulai memasuki pekarangan mansion itu adalah energi sihirnya yang lumayan berat. Yang setelah dijelaskan oleh Rei, ternyata itu disebabkan oleh pelindung sihir yang dipasang di sana.

Selain pernah mengirim kucing setan pada Rei, kelihatannya orang yang bernama tuan Fendi itu juga pernah dapat kiriman hewan liar ke rumahnya. Jadi tidak aneh kalau dia punya kewaspadaan yang tinggi.

Lalu yang kedua adalah suasananya yang sunyi. Karena entah kenapa semua pelayan dan pekerja yang dia lihat berkeliaran di halaman sama sekali tidak ada yang bicara atau membuat suara apapun.

Bahkan tukang kebun yang sedang memangkas semak-semak saja kelihatan menggerakkan guntingnya dengan perlahan.

"Perasaanku sudah tidak enak." Celetuk Feny duluan. 

"Simpan tenaga kalian. Saat masuk rasanya masih akan lebih buruk." Balas Rei sambil mengisyaratkan pandangannya ke depan mansion, di mana para tuan rumah sudah siap untuk menyambut mereka.

Pria bertubuh besar yang ada di tengah itu pasti tuan Fendi, paman Rei yang sudah dia ceritakan. Baru dilihat sekilas saja Aria sudah bisa melihat garis wajahnya yang tidak ramah--yang sebenarnya agak mirip dengan Rei--juga lekukan bibirnya yang sudah menekuk ke bawah.

Aria sudah mulai merasa khawatir dengan itu, tapi kemudian dia menangkap sosok wanita dengan rambut brunet yang ada di sampingnya. "Itu bibimu?"

"Yaa, dia istrinya. Namanya Genia." Balas Rei. "Tapi dia tidak banyak bicara, jadi kau tidak usah terlalu memikirkannya." Jawabnya cepat karena akhirnya mereka sudah sampai di depan mereka.

Dan dengan cepat Rei langsung memasang senyumnya lagi. "Ah paman Fendi dan bibi! Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa kalian sehat-sehat saja?" Katanya ramah. Dia bahkan membungkuk kecil pada mereka sehingga Aria dan yang lain juga buru-buru mengikutinya.

Tapi rupanya bukan cuma Rei yang tiba-tiba melebarkan senyumnya. Pamannya juga begitu.

"Aku juga kaget sekali!" Kata pria itu. "Kalau kau mau datang, kau harusnya bilang dari jauh hari. Bukannya dadakan begini." Lanjutnya. Yang walaupun nadanya terdengar ramah, rasanya juga terdengar menyindir dan penuh keluhan.

Mereka berpelukan, tapi anehnya itu sama sekali tidak enak dilihat.