webnovel

Kita Tidak Jadi Menenggelamkannya?

"Tapi teman-temanmu bodoh sekali, apa kau tahu?" Kata Rei setelah selesai menceritakan kronologinya. "Kalau tidak kusuruh, mereka tadinya tidak akan ingat untuk menuliskan surat untukmu dan kau pasti tidak akan percaya padaku--"

Tapi sama sekali tidak menggubris Rei, Aria langsung mengambil surat itu dan pergi ke pojokan kapal untuk membacanya sendiri. Meski saat dia baru baca tulisan tangan Leyna yang bertuliskan 'untuk Aria', dia sudah langsung mulai meneteskan air mata.

Makanya setelah itu Rei juga sengaja membiarkannya sendiri dulu untuk beberapa lama. Tapi entah kenapa Aria malah kelihatan semakin terisak sendiri setelah membaca surat itu, yang justru mulai membuatnya khawatir kalau dia benar-benar akan betulan mencoba untuk kabur dari kapal karenanya.

Jadi walaupun dia belum memikirkan mau bilang apa, untuk sementara dia berencana untuk mendekatinya dulu. Meski tepat saat dia akan melakukannya, seseorang malah menarik tangannya.

"Kau berencana mengganggu perempuan yang sedang menangis?" Tanya anak perempuan kecil itu kecut. Kalau tidak salah Rei sempat mendengar gadis berambut merah ini memanggil pria tua tadi dengan sebutan 'ayah'.

"Tidak punya perasaan juga ada batasnya kan?" Lanjutnya lagi.

Tidak bisa membalas protes itu, Rei pun akhirnya diam lagi, sehingga akhirnya anak perempuan itu yang mendekati Aria.

Rei juga tidak menyadari ini sampai dia naik ke atas kapal, tapi ternyata anak itu cuma punya satu tangan yang masih utuh. Selagi di tangan kanannya dia malah menggunakan semacam besi penjepit sebagai gantinya. Dibanding ayahnya, anak kecil ini sejujurnya lebih kelihatan seperti bajak laut.

"Kakak tidak apa-apa?" Tanya gadis itu pada Aria.

Mendengar suara orang baru, Aria sempat menoleh dengan agak kaget. Tapi karena matanya masih becek, dia pun buru-buru kembali mengalihkan wajahnya untuk kembali terisak.

Meski ternyata gadis perempuan itu malah mengikuti arah wajah Aria supaya wajah mereka tidak kelihatan oleh Rei yang masih mengintipi dari jauh. "Jangan khawatir. Kalau kakak mau kabur dari pria gila itu, ayahku masih punya beberapa racun yang biasa dia jual!" Bisiknya kemudian.

"...Eh, apa?" Aria akhirnya mengangkat kepalanya.

"Cerita kakak perempuan tadi memang meyakinkan, tapi laki-laki itu tetap saja tidak kelihatan seperti orang baik!" Balasnya kemudian. "Tapi tidak apa! Sebelum kita sampai di ibukota kakak bisa racuni dia. Lagipula ayah sudah menerima uangnya, jadi kita tinggal buang dia ke laut supaya dimakan hiu--"

"Tu-Tu-Tunggu, tunggu…!" Potong Aria akhirnya, mulai terganggu mendengar gadis kecil sepertinya merencanakan pembunuhan yang brutal seperti itu. "Bu-Bukan seperti itu. Orang itu tidak, maksudku, Aku tidak…" Katanya lagi, meski ternyata dia malah agak kesulitan bagaimana menjelaskannya.

"...Kakak tidak mau meracuninya?"

Terdiam sebentar, Aria mencuri pandangan ke arah Rei yang masih memperhatikan mereka dari jauh dan kembali melihat surat di tangannya. "Tidak…juga…" Jawabnya masih agak sendu.

"Berarti kita tidak jadi menenggelamkannya ke laut?"

"Iya, tolong jangan." Balas Aria getir. Meski saat dia menoleh ke arah Rei lagi dan melihatnya sedang bicara dengan pria tua tadi, dia jadi mendesah pelan lagi.

Aria memang punya pikiran untuk pergi ke ibukota dengannya. Tapi selain waktunya yang terlalu cepat, dia juga tidak menyangka kalau kemarin adalah terakhir kalinya dia melihat teman-teman dan adik-adiknya. "Hiks…"

"Kakak yakin kakak tidak mau meracuninya?" Tanya gadis itu lagi saat melihat mata Aria mulai berkaca-kaca lagi. Orangnya sih menggeleng-geleng, tapi entah kenapa rasanya tidak meyakinkan.

Bahkan Aria juga tahu itu, makanya dia pun berpikir untuk mengalihkan pembicaraan dulu. "Itu, kau putri dari tuan pemilik kapal ya?" Tanyanya kemudian. "Aku Aria. Namamu siapa?"

"Feny--"

"Hei!" Panggil Rei tiba-tiba. "Kalau kau sudah selesai, ada banyak yang perlu kujelaskan sebelum kita sampai." Katanya.

"Sudah kuduga orang itu bukan orang baik…" Celetuk Feny. "Kalau kakak berubah pikiran, Aku akan siapkan racunnya." Lanjutnya pada Aria lagi, yang cuma bisa tersenyum getir selagi dia berjalan mendekat ke tempat Rei.

Meski sebelum mereka bicara, keduanya malah terdiam saling memandang dulu. "Kau sudah tidak ingin lompat ke laut lagi kan?" Tanya Rei dan untungnya Aria hanya diam dengan bibir sedihnya.

"Kalau begitu…" Lanjutnya memulai, meski anehnya dia malah kelihatan agak ragu akan sesuatu.

Tapi karena merasa bisa memikirkannya nanti, dia pun mengurungkan pikiran itu dulu dan mulai ke masalah utamanya saja. "Pertama-tama, apa kau tahu apa itu akademi sihir?"

Ditanya pertanyaan yang tidak dia duga, Aria sempat kebingungan sejenak. "Itu… Apa itu beda dengan sekolah sihir?" Tanya Aria balik. Karena dia juga sering dengar kalau di kota lain biasanya ada sekolah untuk mempelajari sihir.

"Tentu saja beda. Sekolah sihir adalah tempat para amatir mempelajari sihir dasar. Tapi akademi sihir adalah tempat para penyihir tingkat lanjut di seleksi untuk jadi anggota resmi di Luxen."

"Lu-Luxen?!" Ulang Aria agak kaget, karena kali ini dia mengenali sebutan itu. "Maksudmu organisasi yang dipimpin langsung oleh penyihir agung? Luxen yang itu?"

"Yaa, kategori sebenarnya lebih seperti kementerian karena mereka punya kekuasaan khusus di kerajaan. Tapi ya, itu." Balas Rei.

"Dan sejujurnya statusmu sekarang yang cuma penyihir jalanan tidak terlalu berguna untukku. Jadi hal pertama yang perlu kau lakukan saat kita sampai adalah daftar ke sana dan jadi anggota resmi."

Mulai digerogoti firasat tidak enak, tanpa sadar Aria mulai agak gemetar. "Bukankah di sana… Seleksinya berat?" Tanyanya. Dia ingat pernah bertemu dengan pemain sirkus yang katanya pernah gagal dalam seleksi itu, dan dia cerita kalau dia kehilangan kaki dan matanya karena ujian di sana.

"Tenang saja, tingkat kematiannya cuma 1 banding 20."

"Ada yang mati??" Tanya Aria yang semakin gemetaran.

Meski Rei sama sekali tidak menggubris itu dan tetap melanjutkan penjelasannya. "Ujian utamanya akan diadakan kurang dari 6 bulan lagi. Tapi karena di sana kau harus melewati 7 tingkat tes sebelum mengikuti ujian utama, kau harus langsung buru-buru menaikkan tingkatmu--Tapi yah, sebelum itu masih ada masalah yang lebih besar lagi sih…"

"Masih ada masalah yang lebih besar?"

"Herka sialan itu…" Balasnya dengan nada menggerutu. "Beberapa bulan yang lalu dia menambahkan aturan bahwa cuma masyarakat tingkat 3 ke atas yang bisa mendaftar ke sana. Dan kau…"

Tapi tentu saja Aria langsung menggeleng-geleng.

"Tentu saja bukan…" Desah Rei yang sudah tahu itu. Soalnya Aria yang cuma pernah bantu-bantu di toko sana-sini dan mengadakan pertunjukan jalanan sudah jelas berada di tingkat masyarakat yang paling bawah, yaitu tingkat pertama.

Padahal kalau cuma naik jadi tingkat kedua, Rei hanya perlu membuatnya menyumbangkan sejumlah besar uang ke kerajaan. Tapi tingkat 3 ke atas agak sulit dicapai dengan instan…

"Cara paling mudah biasanya adalah lulus dari sekolah biasa atau bahkan sekolah sihir. Tapi itu makan waktu bertahun-tahun…" Kata Rei kemudian.

Rei agak ragu untuk mengatakan yang ini, tapi akhirnya dia tetap mengatakannya juga. "Yaa, kalau kau tidak keberatan, Aku kenal beberapa bangsawan yang tidak gila banget. Jadi siapa tahu kau mau menikah dengan salah satu yang…"

Tapi karena wajah Aria langsung memucat saat mendengarnya, Rei pun berhenti dulu meski dia juga kelihatan mendesah berat. "...Baiklah, kita pikirkan itu nanti lagi." Kata Rei akhirnya.

Meski saat terdiam begitu, Rei malah kembali memandangi Aria dengan tatapan aneh dari atas kepala sampai sepatu jeleknya.

"A-Apa lagi?"

"Masalah sihir merah-mu." Jawab Rei. Tapi karena Aria malah kelihatan bingung, Rei pun melipat tangannya kesal. "Sumber sihirmu! Jangan bilang kau juga tidak tahu sumber sihirmu sendiri." Tukasnya.

"Ah, itu maksudnya…" Balas Aria yang kelihatannya memang tahu. Bagaimanapun dia sudah memainkan sihirnya sejak kecil, jadi tentu saja dia tahu kalau sihirnya terasa lebih banyak saat dia mendapatkan cukup sinar matahari.

Rei juga sudah mencurigainya dari semalam, tapi sepertinya memang aneh kalau Aria pingsan hanya setelah menggunakan beberapa sihir--meski dia kelihatan baik-baik saja saat mereka pertama bertemu.

Ditambah, meski pingsan semalaman, Aria juga malah langsung baik-baik saja setelah dijemur di dek kapal bersama burung gagak.

Makanya Rei jadi menyadari kalau Aria mungkin tipe penyihir yang lemah kalau sedang tidak ada matahari.

Orang seperti Aria sebenarnya tidak termasuk langka, tapi kebanyakan penyihir memang biasanya tidak punya syarat tertentu untuk menggunakan sihir. Jadi asalkan punya tenaga yang cukup, mereka harusnya bisa memproduksi energi sihir dan menggunakannya kapan saja.

Tapi beberapa penyihir lainnya kadang tidak begitu.

Misalnya seperti Aria, penyihir yang perlu sinar matahari untuk memproduksi energi sihirnya. Lalu ada juga yang memerlukan cahaya bulan, udara dingin, bahkan kabarnya ada juga yang membutuhkan darah manusia.

"A-Aku hanya tidak tahu itu namanya sihir merah." Tambah Aria lagi karena Rei masih kelihatan merendahkannya. "Dulu ibuku bilang penyihir sepertiku disebut Ersia."

Agak tidak menyangka dengan jawabannya, Rei terdiam sejenak. "...Ibumu orang mana?" Tanyanya, tapi Aria hanya menggeleng kecil kelihatan tidak yakin juga.

'Apa hanya perasaanku? Tapi itu kedengaran seperti bahasa Merlam…'

"Ya pokoknya akan merepotkan kalau kau membiarkannya. Karena idealnya kau harus bisa menggunakan sihir sepanjang waktu." Lanjut Rei lagi. Meski bukan masalah besar, sesuatu yang di luar rencana selalu saja membuatnya sakit kepala.

"Makanya penyihir sepertimu biasanya butuh sesuatu yang bisa menyimpan energi sihir juga…" Katanya dengan lipatan bibir yang sudah getir. "Tapi kau sama sekali tidak punya artefak sihir kan?"

"Artefak sihir?!" Ulang Aria agak kaget. "Tentu saja tidak." Jawabnya. Kalau dia punya benda semahal itu, tentu saja dia tidak akan membiarkan adik-adiknya makan ubi setiap hari.

Dan Rei pun kembali menggidik bahunya pasrah sambil melihat sekitar. "Yah, Aku ragu mereka punya barang-barang bagus di sini, tapi akan coba kutanya dulu." Katanya.

Meski saat sudah akan pergi, dia malah kembali menoleh lagi. "Sementara itu kau tanya saja sama bocah tadi apa dia punya pakaian untukmu. Terutama sepatu."