webnovel

Kencan?

"Ah, rajungan!" Umpat tuan Bishop saat mereka akhirnya kehilangan sosok Aria. "Kau tidak melihatnya?" Tanyanya pada Feny, meski sayangnya dia juga menggeleng.

Karena Aria sendiri sudah terlanjur mengiyakan ajakan Loir, mereka tidak bisa banyak membantahnya saat Loir bilang mereka akan pergi tadi. Jadi sebagai solusi terakhir, dia dan Feny pun berencana untuk mengikuti mereka diam-diam dari belakang.

Tapi setelah beberapa belokan di pasar, akhirnya misi mereka pun langsung gagal! "Kalau si bocah bangsawan itu tahu, dia tidak akan mengambil uangnya dari kita lagi kan?" Tanyanya lagi pada Feny, meski anaknya cuma bisa melipat bibirnya.

"Ini gara-gara ayah terlalu fokus dengan uangnya tadi!"

"Apa boleh buat kan! Kita jalan-jalan sambil bawa satu kotak emas!" Katanya dengan teriakan pelan.

"Benar juga…" Sahut Feny yang memang tidak bisa menyangkal itu. "Yasudah, ayah pergi saja duluan ke kapal, siapa tahu kak Aria dan laki-laki itu pergi ke arah sana. Aku akan keliling di sini sebentar lagi."

"Oke." Sahut sang ayah, dan keduanya pun mulai berpencar. Sama sekali tidak sadar kalau Loir membawa Aria masuk ke toko binatang yang tadinya ada di belakang mereka.

Makanya setelah memastikan ayah dan anak itu menghilang, Loir pun menghela napas lega. "Fiuh, akhirnya mereka pergi." Gumamnya pelan.

Baru setelahnya dia mulai melebarkan senyumnya lagi sambil mendekati Aria. "Bagaimana, ada yang kau suka?"

"...Tidak juga." Balas Aria yang daritadi tidak mau bergerak dari tengah ruangan--karena dia agak takut mendekati binatang-binatang yang ada di seluruh toko. Mulai dari ular, tikus, bahkan sampai kalajengking!

'...Yah, karena kepepet, Aku memang hanya asal menariknya ke sini sih. Siapa sangka kalau ini adalah toko binatang liar.' Pikir Loir juga.

"Mm, kalau begitu ayo kita ke toko lain--"

"Kenapa buru-buru?" Sela kakek si pemilik toko. "Aku punya banyak binatang yang lucu juga di sini! Tikus ini misalnya. Atau burung hantu dan iguana itu." Bujuknya.

Dengan tawa getir, Aria tadinya sudah akan mengikuti Loir untuk keluar. Tapi sesuatu melintas di kepalanya dan dia kembali berbalik ke arah kakek itu. "Anu, itu, apa burung hantunya bisa untuk mengirim surat?"

"Tentu saja! Asal kau melepaskannya saat malam." Balas kakek itu bangga.

"Kau perlu burung pengirim surat?" Tanya Loir kemudian.

"Ya, Aku ingin memberitahu teman-temanku di rumah kalau Aku sudah sampai di ibukota." Jawab Aria. "Harga burungnya berapa?"

"Murah. Hanya 1 koin emas dan 20 koin perak."

"Satu…?" Ulang Aria agak kaget.

"Kenapa? Kau kan punya banyak uang sekarang." Kata Loir.

Sama sekali tidak! Soalnya Aria sudah langsung memberikan semua uangnya pada tuan Bishop dan Feny tadi. Kalaupun ada, Aria cuma punya beberapa koin perak sisa uangnya sendiri. "Apa tidak bisa lebih murah lagi?" Pinta Aria.

"Burung hantu yang ini beda tahu. Tidak seperti burung yang lain, dia bisa terbang ke ujung dunia dalam waktu cepat." Balas si pemilik toko. "Tapi hm, baiklah, karena kau mirip cucuku, bagaimana kalau kuberi 1 koin emas pas?"

"Mm, bagaimana kalau kuberi 30 koin perak dan obat untuk paman? Pinggang paman sakit kan?"

"Eyy, mana boleh!" Balas si pemilik toko langsung. Meski setelahnya dia juga memasang wajah penasaran. "Tapi dari mana kau tahu Aku sakit pinggang…?"

"Bukankah tangan paman habis keseleo juga? Akan kusembuhkan juga!"

Seakan mulai tergoda, pria tua itu terdiam sejenak. "Kalau obat kuat ada tidak?"

"...Aku bisa membuatnya kurasa."

Dan begitulah ceritanya Aria mendapatkan peliharaan burung hantu yang langsung dia namakan Pen--meski burungnya mungkin belum tahu kalau dia punya majikan dan nama baru karena dia masih tidur.

"Kau pandai juga menawar." Komentar Loir kemudian.

"Yaa, Aku hanya pandai merayu orang yang sakit." Balas Aria getir. Soalnya sejak dulu, setiap dia kekurangan uang untuk membeli sesuatu, satu-satunya yang bisa dia tawarkan adalah obat dan sihir penyembuhannya.

"Begitu ya. Bukan hanya cantik dan pandai membuat obat, kau bahkan pintar menawar juga." Kata Loir lagi. "Benar-benar tipe istri idaman semua orang!"

"..." Agak kikuk mendengar pujian itu, Aria pun buru-buru mengalihkan topiknya. "Tapi omong-omong, tuan Loir sendiri adalah seorang letnan ya? Anda pasti prajurit yang sangat hebat sampai bisa jadi letnan di umur yang masih muda."

"Yah, lebih tepatnya dulu ayahku yang menyogok kapten supaya menaikkan peringkatku. Tapi Aku memang tidak jelek-jelek banget." Balasnya ringan. Sepertinya malah Aria yang jadi tidak sengaja menyinggung masalah sensitif!

Meski sebenarnya Loir malah merasa lucu melihat Aria kembali diam dengan wajah kikuk. "Tapi omong-omong, setelah ini kau berencana tinggal di mana? Mengingat sifat Rei, dia pasti hanya mengijinkan kalian tinggal di rumahnya semalam saja."

Mendengar itu, Aria berpikir sejenak. Tapi daripada bingung, akhirnya dia memilih untuk jujur saja. "Sebenarnya tuan Rei bilang akan menyewakan rumahnya yang lain pada kami untuk sementara."

"Hoo. Itu agak mengejutkan. Sayang, padahal Aku berencana menawarkannya duluan." Balasnya sambil tertawa.

"Lalu apa yang ingin kau lakukan setelah mengurus tempat tinggalmu? Jangan bilang kau akan bekerja dengan pak tua dan bocah itu?" Tanyanya lagi. "Aku sarankan jangan. Dilihat dari kapal jelek mereka, bisnis mereka pasti sulit."

Aria memaksakan dirinya tertawa, tapi dalam hati dia bisa merasakan kalau Loir sedang menjuruskannya ke pertanyaan yang paling dilarang oleh Rei untuk dijawab. Yaitu alasannya datang ke ibukota.

"Oh! Atau kau mau membuka toko obat dan jasa penyembuhan?" Tebak Loir lagi. "Tentu saja pasti itu kan? Haha, kenapa Aku bertanya!" Ocehnya terus-menerus.

Tapi terlepas dari tawanya, Loir ternyata malah melongokkan kepalanya ke depan Aria untuk menuntut jawaban. "Kan?"

"...Mu-Mungkin. Aku belum begitu memikirkannya." Jawab Aria sebisanya sambil jantungan sendiri.

Tapi seakan tidak mempercayainya, kali ini Loir menggeser posisinya untuk berdiri di depan Aria dan mulai menatapnya lurus-lurus. Senyumnya bahkan sudah tidak terlihat ramah. "Hanya untuk memastikan, tapi kau tidak berencana untuk masuk ke akademi Luxen itu kan?"

"..." Spontan terdiam, jantung Aria benar-benar hampir copot saat itu.

"Tempat itu tidak seperti yang semua orang pikir, kau tahu." Kata Loir lagi. "Orang-orang di sana tidak ada yang pikirannya waras. Bahkan kalaupun kau pandai menggunakan sihir, mereka belum tentu akan menganggapmu serius dan justru hanya akan memanfaatkanmu."

"...Apa maksud--"

"Aria?" Panggil seseorang tiba-tiba, yang ternyata adalah Rei!

Dia kelihatan sibuk membawa beberapa tumpukan kotak, tapi dia tetap menyempatkan dirinya untuk berjalan mendekat supaya dia bisa melotot marah ke arah Aria. "Kau tidak bersama tuan Bishop dan bocah itu?" Tanyanya tajam.

"Eh, ah, iya, mm…" Dan tentu saja Aria tidak tahu bagaimana membalasnya.

"Aku yang mengajaknya keluar." Jawab Loir duluan.

"Begitu." Balas Rei singkat dan tidak lupa untuk membalas tatapan tajam Loir.

Tapi walaupun biasanya Loir akan meladeni Rei, kali ini dia malah mendesah dan menyerah duluan. "Yah, sudah waktunya Aku kembali ke pos. Jadi kurasa kita akhiri dulu kencan kita." Kata Loir sambil mengembalikan sangkar burung yang daritadi dia bawa.

Meski saat Aria mengulurkan tangannya, Loir malah menarik tangannya untuk dicium dulu. Baru setelah itu dia benar-benar mengembalikan sangkarnya. "Kuharap lain kali kita bisa jalan-jalan lagi."

Dan dia pun pergi, meninggalkan Aria di posisi yang sulit dengan Rei.

"Kalian kelihatan akrab sekali." Cibir Rei. "Dia bahkan membelikanmu, apa itu? Burung?"

"A-Aku beli sendiri."

Agak penasaran, Rei pun menyingkap sedikit kain penutup sangkarnya. "Burung hantu Barlan? Harganya lumayan mahal, memangnya kau punya uang?" Tanyanya kemudian. "Apa mereka tidak jadi mengambil seluruh imbalannya darimu?"

"Tadi Aku menawarnya, jadi uangku sendiri masih cukup."

Rei terdiam sesaat sambil memandanginya seakan sedang menyusun kalimat untuk mengomelnya lagi. Tapi sejujurnya dia sudah bisa menebak kalau Aria palingan hanya terpaksa menemani Loir, entah apa alasannya.

"Tolong katakan saja kau tidak berkata yang macam-macam padanya." Kata Rei akhirnya, meski orangnya malah terdiam lagi. "Kau! Demi rajungan!"

"Aku tidak mengatakan apa-apa!" Sela Aria buru-buru. "Hanya… Aku tidak tahu bagaimana, tapi tiba-tiba saja dia bertanya duluan apakah Aku berencana masuk ke akademi."

"...Lalu? Kau balas apa?"

"Aku tidak balas apa-apa. Tapi setelah itu dia juga mengatakan sesuatu kalau akademi itu bukan tempat yang bagus atau semacamnya."

"Ah…" Celetuk Rei ringan dengan ekspresi yang mulai memahami situasinya. "Yah, kurasa itu tidak mengejutkan."

"Apa maksudnya?"

"Bukan apa-apa. Hanya saja Loir memang punya sedikit masalah dengan Luxen." Jelas Rei singkat. "Tapi itu tidak terlalu penting, jadi jangan dipikirkan."