webnovel

Kantong Gila Dan Wabah Hantu

"Ujian masuk akademinya akan diadakan minggu depan. Dan kau cuma perlu melewati dua tes untuk bisa masuk ke sana." Jelas Rei memulai. "Tapi tes pertamanya mudah, jadi kau hanya perlu pikirkan tes keduanya saja." Tambahnya.

Entah apa yang dia cari, Rei terus saja membuka-buka tumpukan kotak belanjaannya tadi. "Ah, ada."

"..." Aria sebenarnya sudah penasaran dengan barang-barang yang Rei keluarkan dari kotak belanjaannya. Mulai dari karung pasir yang warna-warni tadi, botol-botol tidak jelas, bahkan sampai beberapa serangga aneh yang kering.

Tapi sebelum menanyakan itu, Aria masih gelisah dengan perkataan Rei barusan. "Itu, apa tes pertamanya betulan mudah? Memang tesnya apa?"

Tapi seakan kecewa dengan pertanyaan itu, Rei sedikit mengerutkan alisnya. "Nanti juga tahu. Pokoknya mudah." Katanya kecut.

Mengerti maksudnya, Aria pun melipat bibirnya dengan pahit. Dari kerutan alisnya, Aria seperti bisa mendengar Rei melanjutkan dalam hatinya, 'kalau kau tidak bisa melewati tes semudah itu, Aku benar-benar harus memecatmu sekalian'.

"Tes bagian keduanya juga simpel, tapi menanganinya termasuk lumayan sulit. Terutama untuk penyihir lelet sepertimu." Kata Rei kemudian.

"Apa tesnya menguji fisik?" Tanya Aria lagi, tapi sayangnya Rei sudah tidak menjawabnya karena dia mulai sibuk dengan pasir-pasirnya.

Pertama-tama dia memindahkan pasir-pasir itu ke kantung yang lebih kecil. Lalu setelah semuanya rapi, dia pun mulai menuang cairan dari botol-botol tadi tergantung warnanya. Jumlahnya juga beda-beda. Lalu serangga keringnya juga.

Mulai sadar apa yang Rei lakukan, Aria mulai melebarkan matanya dengan kagum. "Kau pandai menggunakan bahan kimia?"

"Tentu saja. Ini kan bukan sihir." Sahut Rei ringan. "Asal dipelajari, semuanya mudah."

"Tapi kupikir kau tidak menyukainya."

"Memang tidak!" Balas Rei yang seperti tersinggung, sehingga lagi-lagi Aria cuma bisa kebingungan dengan sikapnya yang tidak jelas.

Setelah itu Rei kembali menggiring Aria ke halaman. Tapi wajahnya masih memasang ekspresi tidak senang saat dia memberikan tiga kantong pasir kecilnya pada Aria. "Nih. Kau hanya perlu menangkap mereka."

"...Menangkap bagaimana?" Tanyanya bingung sambil memandangi kantong-kantong di pelukannya. Meski sebelum Rei menjawabnya, Aria malah sudah bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam kantong itu.

"Apa yang…!" Panik, Aria pun spontan menjatuhkan semua kantong itu ke tanah. Aria hampir berpikir apa jangan-jangan serangganya jadi hidup lagi atau semacamnya.

Tapi daripada serangga, gerakan memberontaknya jauh lebih besar seakan ada makhluk seukuran tikus atau bahkan mungkin kucing yang berusaha keluar dari sana!

BUK! Dan tanpa peringatan apapun, salah satu kantong itu langsung melesat dan menubruk wajah Aria sampai dia terjatuh ke belakang. Bahkan sebelum dia sempat meratapi rasa sakit di pipinya, sekarang giliran kantong kedua yang menyerangnya. Lalu kantong ketiga juga.

"Hm." Sedikit menikmati pemandangan itu, Rei tadinya hanya membiarkan Aria lari-lari panik sendirian. Tapi setelah beberapa saat, dia pun mulai memberi arahan. "Kau harus menangkapnya!" Katanya mengingatkan.

Tidak bisa berpikir jernih, Aria tadinya cuma bisa melebarkan tangannya asal dengan mata tertutup. Tapi tentu saja tidak ada yang tertangkap. Alih-alih, wajahnya malah kembali tidak terlindungi dan kembali kena pukulan telak.

Sehingga satu-satunya hal yang bisa dia lakukan cuma tinggal meringkuk di tanah…

Berkali-kali, dan berjam-jam seperti itu.

Jadi tentu saja Feny jadi sangat kaget begitu dia kembali dan melihat wajah Aria yang memerah di mana-mana. Padahal dia dan ayahnya sudah mencari Aria di seluruh kota, tapi mereka sama sekali tidak terpikir kalau Aria malah bertemu dengan Rei dan dibawa pulang duluan untuk disiksa!

"A-Aku tidak apa kok." Kata Aria untuk kesekian kalinya. Daritadi dia sudah sibuk menggunakan sihirnya sendiri untuk mengobati luka-lukanya. Tapi karena matahari sudah terbenam, dia tidak bisa melakukannya dengan cepat.

"Grr… Sudah kuduga Aku harus meracuninya saja waktu itu." Gerutu Feny. Makanya saat Rei terlihat berjalan mendekati mereka, Feny juga langsung menggeram padanya seperti kucing liar. "Kau mau apakan lagi kak Aria?!"

Tapi dengan bibir yang tertekuk juga, Rei ternyata hanya mengulurkan sebuah botol kecil. "Ini obat." Katanya singkat.

Aria sempat bingung lagi untuk beberapa detik, tapi akhirnya dia pun mengambil botol itu. "Ah, terima kasih."

"Kenapa kakak terima kasih padanya? Dia yang sudah buat kakak terluka tahu!"

"Ya makanya sudah kubilang, kami cuma latihan tadi." Balas Aria.

"Latihan apa memangnya?"

Tidak yakin boleh menjawabnya atau tidak, Aria sempat melirik Rei. Dan dari pandangannya, kelihatannya Aria tetap tidak boleh menceritakannya terlalu rinci. "Ya pokoknya latihan sihir biasa."

"Tapi omong-omong ayahmu mana?" Tanya Rei lagi. "Dia tidak ke sini?"

Masih agak kesal, Feny sebenarnya tidak begitu ingin menjawabnya. Tapi akhirnya dia pun menjawab dengan nada kecut. "Tidak tahu juga. Tapi tadi ayah ketemu dengan kenalan lamanya. Jadi mungkin mereka pergi minum atau semacamnya." Ceritanya.

Dan seketika, Rei langsung terkekeh dengan sarkastik. "Haha, berani-beraninya pria tua itu pergi minum setelah mengabaikan tugas dariku…"

"Jangan menyalahkan mereka." Keluh Aria. "Sudah kubilang kalau Aku yang mengiyakan ajakan tuan Loir."

"...Aku memang tidak 'hanya' menyalahkan mereka." Balas Rei dingin yang seketika membuat Aria jadi merasa bersalah lagi.

Tapi saat Aria masih menekuk bibirnya dengan sedih, dia kemudian juga menyadari kalau Rei mulai memandangnya dengan aneh seakan dia masih ingin mengatakan sesuatu.

"Hm, apa ada hal yang lain?" Tanya Aria lagi.

"...Ada banyak." Desahnya. Rei kelihatan gelisah lagi untuk beberapa saat. Tapi setelah mendecak pelan, dia pun kembali mengalihkan pandangannya pada Feny. "Hei, kau tahu kota Lukan tidak?" Tanyanya tiba-tiba.

Feny kelihatan bingung sebentar, tapi kemudian dia pun menjawab, "Yah, Aku pernah ke sana. Memangnya kenapa?"

"Dia perlu ke sana besok."

Merasa kalau Rei melirik ke arahnya, Aria pun menunjuk hidungnya sendiri. "Eh, Aku?"

"Ya, kau perlu…"

"..."

"Oke, ke sini sebentar." Kata Rei akhirnya sambil berjalan agak jauh dari Feny. Baru setelah memastikan Aria mengikutinya, dia pun kembali berkata, "Kota itu tidak jauh dari sini dan katanya sedang ada serangan wabah di sana. Semacam demam yang menyerang orang dewasa atau semacamnya." Jelasnya.

Dan karena Arina cuma diam, dia pun melanjutkan. "Kerajaan khawatir penyakit itu akan sampai ke ibukota, jadi status waspadanya sudah dinaikkan jadi tingkat 3. Yang artinya mereka akan memberikan emblem emas untuk orang yang bisa mengatasinya. Jadi ini kesempatan emas untukmu."

Tapi Aria masih saja diam. "...Kenapa? Sihir penyembuhan adalah keahlianmu kan? Jangan bilang kalau akan membantah dan bilang tidak mau ke sana."

"I-Itu, ta-ta-tapi…" Sahut Aria akhirnya, jelas dengan suara yang agak gemetar. "Wabah itu… Jangan bilang itu wabah hantu…?!"

"Oh? Kau juga berpikir begitu?" Balas Rei kagum. "Aku tidak begitu memikirkannya saat mendengarnya beberapa minggu lalu. Tapi karena katanya belum sembuh juga, Aku mulai curiga kalau itu adalah wabah hantu. Kau pernah membacanya di buku juga?"

"...Dulu sewaktu kecil, di kotaku juga ada…"

"Kalau begitu bagus!"

"Sama sekali tidak!" Bantah Aria. "Wabah itu… Sama sekali bukan wabah, melainkan kutukan iblis." Katanya, kembali teringat dengan kenangan terpahit yang dia miliki.

Padahal saat itu semua orang selalu berpikir kalau masalahnya berasal entah dari binatang yang sakit atau sumber air mereka yang tercemar. Tapi setelah berminggu-minggu tidak ada perkembangan dan terus makan korban, sekelompok petualang yang kebetulan lewat kota tiba-tiba saja berkata kalau mereka merasakan ada aura iblis di kota mereka.

Dan benar saja, ternyata memang ada monster iblis jamur yang selama ini sembunyi di bawah tanah kota dan menyebarkan penyakit ke seluruh kota.

"Dan bahkan setelah menyadari itu, hampir setengah penduduk kotaku harus kalah saat melawannya." Kata Aria lagi. "Pada akhirnya iblis itu baru bisa mati saat seorang penyihir dari Luxen datang menolong kami."

"...Yah, secara teknis kau calon penyihir Luxen, jadi…"

"Rei, Aku serius!"

"..."

"Ma-Maksudku tuan Rei…"

Rei hampir ingin mengomentari itu. Tapi karena dia sendiri juga canggung, dia pun memilih untuk mengabaikannya saja. "Memangnya kau umur berapa saat itu?"

"Lima tahun, kurasa…"

"Dan kau masih ingat bagaimana penyihir dari luxen itu mengalahkannya?" Tanya Rei dan Aria hanya bisa diam.

Jangankan tahu, dia cuma punya bayangan samar kalau semua orang hanya berkata penyihir itu menggunakan sihir hebat atau semacamnya. Ditambah, saat itu Aria masih sedih kehilangan ibunya, jadi dia tidak begitu sempat peduli pada hal lain.

"Aku berani taruhan dia pasti pakai senjata khusus saja." Kata Rei lagi. "Iblis yang menyebarkan penyakit begitu biasanya termasuk monster tingkat 2 atau 3 saja."

"Monster seperti itu biasanya tidak begitu pandai menyerang dan hanya tahu cara bertahan saja. Jadi asal pakai senjata yang bagus, Aku yakin penyihir merah yang cuma bisa menggunakan sihir kecil juga pasti bisa mengurusnya."

Mulai terpengaruh, Aria pun kembali terdiam dengan gelisah. Tapi begitu sadar kalau ada yang janggal di perkataan Rei, dia pun kembali protes, "Tunggu, itu maksudnya Aku sendiri yang harus mengurusnya? Kau tidak ikut?"

"Tidak, Aku ada urusan lain. Makanya kalau bisa Aku ingin tuan Bishop menemanimu." Balas Rei. "Tapi kalau dia tidak kembali juga, ya kurasa kau bisa bawa bocah itu saja."

Tapi tentu saja Aria langsung menggeleng-geleng.

'Jangan protes!' Rei ingin saja teriak begitu. Tapi karena dia sudah tahu kalau Aria adalah tipe yang tidak cocok diomeli, Rei pun mencari susunan kalimat lain.

"Tapi wabah itu sudah berlangsung hampir sebulan, kau tahu. Kalau menunggu orang lain, entah berapa banyak orang lagi yang harus mati karena iblis itu."

"..."

"Tenang saja, kalau cuma senjata bagus, Aku punya banyak." Kata Rei lagi yang langsung tahu kalau Aria jelas tidak bisa menyanggah itu. "Jadi yang perlu kau lakukan hanya datang ke sana dan membereskannya. Kota itu kecil, jadi dalam waktu 2-3 hari setelah kau mengurusnya, hasilnya pasti sudah kelihatan."

"Meski begitu… Aku tidak pandai menggunakan senjata. Bahkan Aku hampir tidak pernah--"

"Dan Aku sudah menghitungnya, tapi kita hanya butuh 1 hari saja untuk mendapatkan emblem yang terakhir." Lanjut Rei yang sudah sama sekali mengabaikan kegelisahan Aria. "Jadi asal kau kembali dengan cepat, kita bisa mendapatkan semuanya sebelum ujiannya dimulai minggu depan."

"...Rei, kau benar-benar jahat sekali."