webnovel

Harga Kepala Bajak Laut Itu Berapa?

Di ruang makan, Rei dan pria tua sudah sampai duluan. Tapi tidak seperti Rei yang baru menelan beberapa kunyahan, sang kapten malah sudah mulai meraup daging panggang ketiganya dari meja. Rei hampir mengatainya norak, tapi sepertinya dia tidak berada dalam posisi yang bisa mengatakan itu mengingat dulunya dia juga begitu.

Dan daripada itu, pikirannya sudah lebih sibuk memikirkan hal lain. "Tuan Bishop…?" Gumam Rei untuk kesekian kalinya, masih merasa janggal saat dia akhirnya mendengar nama sang kapten.

"Di mana Aku pernah mendengar--" Meski sebelum bisa mengutarakan kecurigaannya, suara langkah kaki dari arah koridor lebih dulu mengalihkan perhatiannya. Itu dua tamunya yang lain.

"Wah!" Feny langsung lari begitu dia melihat ada banyak makanan di meja--beda dengan Aria yang kelihatan berjalan dengan sangat pelan karena Julia berhasil membujuknya untuk memakai sepatu hak tinggi tadi. Salah-salah, dia bahkan hampir mati karena jatuh dari tangga barusan!

Walaupun sikap kampungan itu sama sekali tidak diperhatikan Rei maupun sang kapten karena sosoknya yang sekarang lebih menarik perhatian. Dia kelihatan sama sekali berbeda dengan perempuan yang mereka lihat seharian tadi!

Gaun oranye dengan beberapa aksen tali itu tentu saja terlihat cocok padanya. Tapi seakan ada cahaya khusus, wajahnya juga terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Apalagi rambut hitamnya yang tergerai halus dan dihias dengan jepitan baru berbentuk kupu-kupu oranye.

"Wah, nona Aria! Kau kelihatan sangat cantik! Sudah seperti bangsawan!" Puji tuan Bishop langsung.

"Iya kan? Bahkan tadi para pelayan juga langsung semangat mendandaninya." Timpal Feny juga.

Masih berhati-hati dengan sepatunya, Aria hanya tertawa pelan. "Kalian berlebihan. Aku pasti hanya terlihat sangat kotor tadi siang." Balasnya getir sebelum akhirnya duduk di meja makan.

Rei tadinya sudah akan menyuap lagi makanannya. Tapi entah kenapa dia malah menangkap kalau baik tuan Bishop dan Feny sedang memandanginya dengan tatapan protes dan menggerak-gerakkan tangan mereka dengan diam-diam sambil menunjuk-nunjuk Aria.

"..." Rei sempat terdiam melihatnya, tapi akhirnya dia hanya berkata singkat, "Makan yang banyak. Ada banyak yang perlu kita bicarakan nanti."

Meski tanpa menunggu balasan apapun, pandangannya sudah langsung beralih ke arah tuan Bishop lagi. "Omong-omong, biasanya kalian tinggal berapa lama di kota?" Tanyanya tiba-tiba.

"Biasanya sih hanya satu-dua hari. Tapi karena ini di ibukota, biasanya Aku dan Feny tinggal beberapa hari lebih lama untuk cari barang-barang bagus." Jawab tuan Bishop. "Kenapa? Jangan-jangan Aku dan Feny boleh tinggal di sini lebih lama?" Tanyanya kemudian yang lebih seperti bujukan.

Rei merengut tidak senang karena itu bukan alasan dia menanyakan itu, tapi kemudian dia menjawab, "Yah, Aku memang punya rumah kosong di dekat bukit kalau kalian mau--"

"Benarkah?! Kau dengar itu Feny?! Dia mau memberikan rumah pada kita!"

"Ehem! Sewa!" Koreksi Rei cepat-cepat. "Kalian bisa tinggal di sana sementara. Tapi sebagai gantinya, Aku perlu minta tolong untuk beberapa hal lain."

"Hei, ayah sudah tidak bunuh orang lagi." Protes Feny duluan.

"..." Merasakan dejavu, Rei pun menghela napas pelan. "Ya, ya. Memang bukan itu." Katanya. "Untuk permulaan, Aku cuma perlu kalian menemaninya saat dia menemui Loir besok, pria tinggi yang tadi. Soalnya Aku ada keperluan lain besok." Lanjutnya sambil menunjuk Aria.

"Aku? Kenapa? Karena Aku perlu mengunjungi bajak laut tadi?"

"Itu juga. Tapi yang penting adalah kau perlu meminta imbalan atas kepala Irigen." Jawab Rei. "Mereka kadang suka pelit, dan sayangnya Aku tidak yakin kau bisa protes kalau itu terjadi…" Lanjutnya dengan ekspresi menghakimi. "Jadi siapa tahu mulut pedagang yang berpengalaman mungkin akan membantu di situasi seperti itu."

"Imbalan…" Gumam Aria pelan yang baru sadar kalau bajak laut seperti Irigen memang biasanya punya label harga di leher mereka.

Meski di sisi lain, baik Feny dan tuan Bishop malah terdiam sejenak sambil saling melirik dengan tatapan penuh arti dan bibir yang memaksa untuk tidak tersenyum. "Kakak yang tidak tampan, kau tidak bisa menipuku dan ayahku. Kami tahu imbalan si gimbal itu sangat tinggi." Katanya dengan nada suara yang dibuat-buat.

"Kecuali kau mau memberikan setengahnya, Aku dan ayahku tidak mau menolong." Lanjutnya.

Tapi Aria yang sama sekali tidak tahu jumlah tepatnya masih sink memasang wajah bingung. "Memang berapa imbalannya?" Tanyanya.

"Kalau ingatanku tidak salah, sekitar 100 koin emas."

"Sera--?!" Kaget, senyum Aria pun menghilang digantikan dengan mulut lebar yang menganga. "Sebanyak itu??" Tanyanya tidak percaya. Dia pernah dengar kalau harga kepala bajak laut memang tinggi, tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau kepala Irigen akan bernilai setinggi itu.

Meski di sisi lain, Rei ternyata sama sekali tidak memasang wajah keberatan dengan perkembangan yang terjadi di meja makannya. "Tentu. Kalian bahkan boleh ambil semuanya." Katanya santai. "Asal kalian juga pastikan si Loir itu tidak mengganggunya dan menghujaninya dengan segunung pertanyaan apalagi mengajaknya pergi."

"Setuju!" Sahut si kapten langsung. "Kami akan jadi penjaga pribadinya besok!"

"Tu-Tunggu, Aku perlu penjelasan lebih banyak." Sela Aria yang tidak puas.

Meski orang yang diprotes malah menyuap suapan terakhirnya dan mengelap mulutnya lalu berdiri. "Temui Aku di perpustakaan kalau kau sudah selesai." Katanya. "Antar dia ke sana nanti." Tambahnya lagi pada Julia yang juga ada di situ.

"Ta-Tapi…" Aria ingin menghentikannya, tapi karena sepertinya tidak bisa, dia pun memutuskan untuk menyuap suapan terakhirnya juga. Meski sebelum bisa mengejarnya, Aria malah langsung terjatuh ke lantai karena dia lupa sepatu mengerikan apa yang dia pakai. "Aw!"

"Nona Aria! Nona tidak apa-apa?" Tanya Julia yang langsung menghampirinya. "Maafkan saya. Ini karena saya memaksa anda memakai sepatu ini…"

"Ah, tidak apa. Aku saja yang--"

"Tsk, kau benar-benar tidak bisa diharapkan." Kata Rei yang ternyata kembali. Dan tanpa bilang-bilang dulu, dia langsung saja berjongkok dan melepas sepatu tajam itu dari kaki Alisa.

Dan sembari menariknya bangun, dia pun melirik tajam ke arah pelayan yang ada di sebelah Aria. "Kau dipecat." Katanya langsung, meski yang panik justru malah Aria lagi.