webnovel

Butik Freesia (2)

"Sampai kedatangan wanita cantik seperti anda, sepertinya butik saya sangat beruntung hari ini." Kata Heli dengan ramahnya.

'Ya Tuhan!'

Wajah Aria baru mulai memerah, tapi kemudian laki-laki itu melanjutkan dengan senyumnya, "Padahal pakaian seperti itu sudah cocok masuk tong sampah. Tapi karena anda yang memakainya, penampilannya ternyata masih layak dipandangi sedikit. Wah, pesona anda sungguh mengagumkan."

"..."

Melihat Aria mulai memasang wajah suram, nyonya Genia sudah akan menegur Heli. Tapi ya, dia tidak salah. "Karena sudah di sini, bagaimana kalau kau cari beberapa pakaian juga?" Katanya.

"Eh, saya? Saya tidak usah--"

"Ide bagus!" Tapi Heli yang seperti sudah menunggu usulan itu langsung menjentikkan jarinya dan memanggil para bawahannya. "Carikan baju yang cocok untuknya." Perintahnya.

"Mm, yang warnanya cerah mungkin akan lebih cocok, tapi motifnya kalau bisa yang sedikit anggun--Ah, tapi tentu saja anda boleh pilih yang manapun yang anda suka."

"T-T-Tapi…"

Aria belum selesai kebingungan dengan situasi itu, tapi sayangnya Heli sudah keburu mendorongnya pergi dan para pegawai lain juga langsung menyeretnya ke ruangan lain.

Tidak seperti ruang depan yang lebih banyak dihiasi interior untuk menyambut para tamu, ruangan yang Aria masuki benar-benar dipenuhi oleh ratusan gaun yang bersinar-sinar seperti minta dipakai!

Membiarkan Aria kagum sejenak dengan semua gaun itu, salah satu pegawai pun akhirnya mulai bicara. "Seperti yang tuan Heli katakan, sepertinya anda lebih cocok dengan gaun yang lebih cerah dan anggun. Mungkin gaun-gaun yang seperti ini." Katanya sambil mengantar Aria ke salah satu deretan baju.

"Iya, dan kelihatannya kebanyakan gaun yang ada di sini juga sudah cocok dengan ukuran tubuh anda, jadi anda tinggal pilih saja yang sesuai dengan selera anda." Tambah pegawai satunya.

"Itu... Aku sepertinya memang tidak usah." Kata Aria yang berusaha kembali ke luar.

"Ah, saya minta maaf." Potong si pegawai yang kembali menarik Aria. "Anda sepertinya lebih suka ukuran yang lebih tepat ya. Kalau begitu biar saya ukur dulu ukuran tubuh anda. Biar saya bantu robek--maksud saya bantu lepas baju anda--"

"Tung--Aku bisa sendiri!"

Mendengar suara Aria yang ribut sendiri begitu, bahkan si pemilik butik juga jadi agak kelucuan sendiri mendengarnya. "Di mana anda bertemu dengan penjual obat semanis itu? Tidak… Apa benar dia hanya penjual obat?" Tanya Heli.

Tapi karena nyonya Genia tidak langsung menjawabnya, dia pun mulai menebak sendiri. "Jangan bilang dia calon istri Oliver?!"

"Mana mungkin." Balas nyonya Genia langsung. "Menurutmu perempuan sebaik itu bakalan mau dengan Oliver?"

"Hm, lalu?"

Nyonya Genia kelihatan ragu, tapi akhirnya dia menjawab, "Kau tahu Rei kan? Dia datang berkunjung kemarin, dan dia bilang perempuan itu bekerja untuknya."

"Rei? Maksud anda Alrei Kransfein? Yang itu?" Seru Heli kaget. "Apa yang dia lakukan di sini?"

"Mana kutahu--"

"Wah, bukankah ini nyonya Genia?" Seru seseorang yang baru memasuki butik juga. Dengan gaun ungu menyala, wanita dengan rambut keriting dan bibir merah itu langsung berlari mendekati nyonya Genia. "Sudah lama sekali saya tidak melihat anda!" Katanya.

"Ah, nyonya Felina, selamat datang--" Heli berusaha berkata, tapi wanita itu sama sekali mengabaikannya.

"Padahal saya dengar kalau anda sakit, tapi anda kelihatannya sehat-sehat saja…" Lanjutnya, agak terdengar mengeluh. Bahkan mungkin curiga.

Merasa tidak begitu nyaman, nyonya Genia hanya bisa diam. Tapi kemudian perempuan yang tadi masuk bersamanya berhasil menyusul. "Bibi, kenapa bibi mengatakannya seperti itu?" Tegurnya ramah. "Kan bibi jadi terdengar seperti berharap nyonya Genia sakit betulan." 

"Memangnya Aku terdengar seperti itu?" Tanya wanita itu dengan naifnya. "Wah, saya sumpah saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu!"

"Haha, bibi Felina pasti sangat merindukan anda karena anda tidak datang ke pesta tehnya minggu lalu. Mohon jangan terlalu diambil hati." Timpal sang keponakan lagi dengan riang.

Nyonya Genia masih terdiam. Tapi kali ini bukan karena tidak nyaman, melainkan karena dia sudah berhasil mengingat siapa perempuan muda itu--karena dia tidak ingat, atau bahkan mungkin tidak tahu kalau nyonya Felina ternyata punya keponakan.

Tapi dia memang bukan keponakannya! Sudah bertahun-tahun nyonya Genia tidak melihatnya, tapi mereka memang pernah bertemu sekali di ibukota. Perempuan dengan rambut coklat dan mata cemerlang itu… Tidak salah lagi…

"Wah, nona Elena." Heli menyapanya duluan. "Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda di sini. Bisa kedatangan banyak wanita cantik hari ini, sepertinya saya sangat beruntung hari ini."

"Ahaha, Heli, kau masih saja suka bicara manis seperti itu." Balas perempuan itu. "Itu tidak selalu menyenangkan, jadi sebaiknya kau kurangi."

"Elena Celestia…" Kata nyonya Genia juga. "Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?"

"Ah, mm…" Masih memasang senyum manisnya, perempuan itu sempat terdiam saat dia menoleh. "Yaa, ini-itu? Hehe." Balasnya dengan kekehan kecil. "Saya punya urusan di sekitar sini, dan untungnya bibi Felina mengijinkan saya untuk tinggal sementara di rumahnya, jadi…"

"Habisnya, nyonya tahu anak laki-laki itu seperti apa kan? Mereka selalu saja bikin orang stres!" Balas nyonya Felina yang malah curhat. "Jadi daripada stres mengurus mereka, kupikir lebih menyenangkan kalau Aku menghabiskan waktu dengan Elena saja. Hh, andai saja Aku punya anak perempuan."

"Kalau begitu kenapa bibi tidak buat anak lagi saja? Bibi kelihatannya masih lumayan muda--"

"Ahaha! Apa yang kau katakan?! Aduh, kau membuatku malu saja!" Kata nyonya Felina yang malah teriak-teriak tidak jelas, entah malu atau justru senang. Bahkan Elena saja jadi sedikit menyesal karena nyonya Felina jadi memukul-mukul pundaknya dengan keras.

"Mm, kalau begitu Aku akan pergi sekarang ya. Kalau Aku terlalu lama, bibi kembali duluan saja." Kata Elena kemudian.

"Kau ada urusan?" Tanya nyonya Genia yang masih penasaran kenapa perempuan seterkenal dirinya ada di kota ini.

"Bukan apa-apa. Saya hanya perlu membeli sesuatu…"

Tapi kemudian matanya menangkap sosok para pegawai yang sedang berusaha menyeret keluar seorang perempuan dari ruang sebelah.

"Tunggu, nyonya Genia kelihatannya sedang sibuk mengobrol dengan orang lain. Aku ke sana nanti saja!" Teriak-teriak si perempuan dengan suara berbisik yang putus asa.

"Ah, nona Aria, apa anda sudah memilih gaun yang cocok?" Tanya Heli yang juga menyadarinya. "Tidak perlu malu begitu. Saya yakin anda pasti terlihat… Cantik."

"..."

Melihat Heli memandanginya dengan diam, Aria langsung memasang wajah muram lagi. "K-Kenapa? Apa kali ini bajunya terlalu bagus untuk orang sepertiku?"

"Eh? Sama sekali tidak!" Bantah Heli. "Bahkan bukan cuma cocok, bajunya terlihat sempurna! Saya hampir jatuh cinta betulan!"

"Iya, bajunya bagus. Heli, pilihkan lagi lima baju yang seperti itu untuknya." Sahut nyonya Genia juga.

"Ambilkan sepuluh." Koreksi Heli pada para pegawainya. Aria hampir ingin menghentikan mereka, tapi kedua pegawai itu perginya cepat sekali.

"Tapi itu siapa?" Tanya nyonya Felina duluan. "Kenalan nyonya Genia?"

"Ah, namanya Aria. Dia penjual obat yang sedang mampir di rumahku." Jawab nyonya Genia. Aria mendekat untuk protes masalah bajunya lagi. Tapi karena ada orang lain, Aria tahu diri untuk diam dulu.

"Kenalkan dirimu. Ini nyonya Felina dan Elena." Perintah nyonya Genia.

Menurut, Aria pun membungkuk sopan pada mereka. "Senang bertemu dengan anda. Saya Aria."

"Penjual obat? Jangan-jangan anda memang sakit?" Tanya nyonya Felina lagi, meski nyonya Genia cuma bisa mengangkat bahunya pelan.

Dia bisa saja cerita tentang Rei yang membawanya. Tapi karena ada orang seperti Elena, nyonya Genia jadi berpikir untuk tidak mengatakannya dulu--kecuali kalau Heli yang nanti duluan bercerita, maka dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tapi ternyata dia juga tidak langsung cerita macam-macam.

"Ah, Elena, kau tidak pergi sekarang? Bukankah katamu tokonya tutup saat malam?" Tanya nyonya Felina lagi pada orang yang bukan keponakannya itu.

"...Ah, mm, setelah kupikir lagi sepertinya Aku juga butuh beberapa pakaian baru. Jadi yang itu besok saja. Haha."

Lalu dia kembali memandang ke arah Aria. "Hai, Aku Elena." Katanya sambil mengulurkan tangan.

"Ah, iya, saya Aria…"

'Oh?'

Saat bersalaman, Aria langsung tahu kalau perempuan di depannya adalah seorang penyihir juga. Auranya tidak sekuat dan seberat Rei, tapi… Bagaimana menjelaskannya? Ada aroma yang spesial dari sihirnya.

Sebaliknya, Elena juga sudah bisa menebak kalau Aria adalah penyihir sejak pertama dia melihatnya tadi. Tapi setelah bersalaman dengannya, sejujurnya dia jadi agak kegirangan sampai-sampai dia harus menahan senyumnya untuk tidak terlalu melebar.

'Kya!'