webnovel

Butik Freesia (1)

Aria tadinya sudah merasa canggung duluan kalau dia harus bertemu lagi dengan Oliver atau bahkan mungkin Rei saat dia harus turun untuk sarapan. Tapi bukan cuma mereka, ternyata tuan Fendi juga sudah tidak ada. Cuma ada satu wanita yang ada di meja panjang itu.

"Selamat pagi, nyonya Genia. Apa tidur anda nyenyak semalam?" Sapa Aria sopan.

"…"

Merasa agak canggung dengan sikap dinginnya, Aria pun menoleh pada Helen dan Feny. "Ayo, kalian juga sapa nyonya Genia." Pintanya.

Seperti memang ingin melakukannya, Helen langsung membungkuk sambil mengangkat gaunnya sedikit. "Selamat pagi, nyonya Genia. Semoga tidur anda nyenyak semalam." Katanya seelegan mungkin.

Feny yang kesal hampir ingin menirunya, tapi ujung-ujungnya dia cuma membungkuk kecil dan langsung kabur untuk duduk di kursi.

Aria mulai ikutan duduk juga, tapi dia masih merasa harus bicara. "Mm, tuan Rei memang sudah bilang pada saya kalau hari ini dia ada urusan. Tapi sepertinya tuan Fendi juga sibuk ya." Katanya.

Aria sudah agak takut kalau perkataannya tidak disahut lagi, tapi ternyata kali ini nyonya Genia membuka suaranya. "Yah, mereka memang pergi keluar bersama." Balasnya.

"Begitu ya!" Sahut Aria yang langsung agak terlalu senang sudah dibalas. Meski setelahnya dia langsung sadar kalau informasi itu sebenarnya agak bikin gelisah.

Rei memang sudah bilang kalau alasan mereka ke sini adalah untuk bertemu pamannya. Tapi saat ingat kalau tuan Fendi adalah orang yang pernah mengirim monster kucing untuk membunuh Rei… Rasanya jadi agak mengkhawatirkan.

Tapi dilihat dari tingkahnya, Rei pasti tidak berencana untuk mati dibunuh saat memutuskan pergi ke mansion ini, kan?

"Tapi kak Aria, hari ini kita akan melakukan apa?" Tanya Feny kemudian. "Kita tidak akan melawan monster jamur lagi kan?"

"Eh? Ah, mm, ti-tidak kok." Jawab Aria panik karena khawatir nyonya Genia akan berpikir macam-macam saat mendengarnya.

Dan benar saja, wanita itu terlihat sedikit memiringkan kepalanya. "Monster jamur? Apa yang kalian bicarakan?"

"Ah, itu, mm…" Aria sedikit tidak yakin bagaimana harus menjelaskannya. Tapi kemudian dia mencoba menyusun kalimat yang senormal mungkin. "Kami sebenarnya habis pergi dari kota yang diserang oleh wabah. Dan ternyata wabah itu disebabkan oleh iblis yang berbentuk jamur."

"Dan kalian yang mengurusnya?"

"Tentu saja!" Jawab Feny duluan dengan bangga. "Aku bahkan ikutan melempar anak panah dan--"

Tapi Aria buru-buru menyumpal mulutnya dengan roti lagi. "Haha, yah, kami hanya bantu-bantu sedikit. Tapi sebenarnya tuan Rei yang hampir mengurus semuanya." Katanya.

Aria berusaha mengirimkan sinyal sebanyak mungkin pada Feny untuk tidak bicara lebih banyak, dan untungnya anaknya segera paham dan mulai kembali mengunyah sarapannya.

"Hm, pasti sulit ya." Balas nyonya Genia kemudian. Tapi setelah terdiam beberapa saat lagi, matanya kemudian menangkap sosok Helen yang entah kenapa jadi agak murung.

Lalu Aria yang juga menyadari itu langsung mengelus kepalanya pelan sebelum kembali bercerita. "Dan sebenarnya setelah ini kami berencana mengantarkan Helen ke tempat paman dan bibinya di ibukota. Apa anda mengenal mereka? Namanya tuan dan nyonya Havan."

"...Yah, Aku pernah bertemu dengan mereka satu atau dua kali." Balas nyonya Genia sebisanya. Dia ingin saja cerita kalau keluarga itu tidak terlihat seperti keluar yang baik, tapi mungkin akan berlebihan kalau dia harus menakuti anak kecil yang sudah kehilangan keluarganya begitu.

Walaupun sebaliknya, Aria yang melihat reaksi itu untuk kedua kalinya mulai merasa gelisah. Pertama Rei, lalu sekarang nyonya Genia juga bereaksi aneh saat mendengar nama keluarga Havan.

'Ya Tuhan, semoga itu bukan keluarga yang akan membuat Helen kesulitan!'

"Terus jadinya kita mau apa hari ini?" Tanya Feny lagi. "Aku ingin main ke kota boleh ya? Kau juga mau kan?" Lanjutnya pada Helen.

"Ah, mm, daripada itu, apa nyonya Genia punya kegiatan juga hari ini?" Tanya Aria yang malah beralih lagi pada nyonya Genia. "Kalau anda memerlukan sesuatu di sini, kami mungkin bisa bantu--"

"Tapi Aku maunya keluar." Potong Feny lagi.

"..." Feny sebenarnya sudah mengatakan itu sejak bangun tidur tadi pagi. Tapi selain karena tidak yakin apakah Rei akan memperbolehkannya pergi keluar, yah… Kalau bisa Aria sebenarnya ingin istirahat hari ini. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa lebih mengantuk dari biasanya pagi ini.

"Mm, kalau begitu sebentar saja ya." Kata Aria akhirnya.

Aria sudah akan menyuap rotinya lagi, tapi kemudian dia menyadari ekspresi nyonya Genia yang kembali memasang wajah datar. Dan entah kenapa, Aria jadi merasa tidak enak tidak melibatkannya.

"Mm, kalau nyonya Genia sendiri apa sudah punya rencana hari ini? Kalau tidak ada bagaimana kalau anda ikut dengan kami ke kota?" Tanya Aria akhirnya.

"..."

"A-Ah, atau kalau anda memang sibuk… Saya minta maaf kalau saya terdengar lancang. Saya cuma--"

"Baiklah, kalau kau memaksa."

"..." Dan kali ini Aria yang gantian terdiam.

==============================

Begitu sampai di pusat kota, tentu saja Feny dan Helen langsung pergi entah ke mana. Aria sudah bilang kalau mereka harus kembali sebelum tengah hari, tapi sekarang dia cuma bisa berdoa kalau dua anak itu tidak akan lupa waktu apalagi tersesat.

"Yah, walaupun sepertinya Aku tidak perlu khawatir pada Feny." Gumam Aria sambil melihat ke arah jalan tempat kedua anak itu pergi.

Menyisakan satu masalah lagi. "Kalau begitu nyonya Genia, apa ada tempat yang ingin anda kunjungi?" Tanya Aria kemudian.

Wanita itu terlihat berpikir sejenak sambil melihat sekitar. Tapi saat kembali memandang Aria, dia tiba-tiba saja bertanya. "Tapi kalau dilihat, anak itu tidak kelihatan mirip denganmu. Dia bukan adikmu juga ya?"

"Eh? Maksud anda Feny? Yaa, dia memang anak dari pemilik kapal yang saya tumpangi sewaktu pergi ke ibukota. Jadi saya baru bertemu dengannya beberapa hari lalu." Jawab Aria kemudian. "Tapi karena ayahnya sedang mengurus hal lain, untuk sementara Feny jadi membantu saya dulu."

"Omong-omong umurmu berapa?"

"...Dua puluh. Memangnya kenapa anda menanyakan itu?"

"Hmm…" Celetuk nyonya Genia dengan pandangan aneh. Dia seperti sedang menganalisa apakah ada yang aneh dari semua jawaban Aria, tapi akhirnya dia hanya mengangkat bahunya pelan. "Yah, bukan apa-apa. Kalau begitu kita pergi ke butik saja."

Aria sejujurnya mulai merasa tidak enak apakah pergi keluar bersama dengan nyonya Genia adalah keputusan yang benar atau tidak. Tapi dia sudah tidak bisa mundur lagi, jadi dia hanya bisa mengikuti nyonya Genia.

Dan akhirnya mereka sampai di sebuah butik.

Tidak sama seperti toko yang ada di sekitarnya, butik ini lebih mirip dengan sebuah mansion. Dengan ukuran bangunannya yang besar dan patung-patung aneh di bagian terasnya, Aria bahkan sudah merasa kalau dia bisa mencium aroma emas di mana-mana.

Dan dalam seketika, Aria langsung jadi merasa kecil. Dia sama sekali tidak berpikir pakaiannya jelek. Tapi masalahnya, begitu mereka masuk, semua baju yang dipajang dan dipakai oleh para boneka model itu terlihat jauh lebih bagus! Daripada untuk beli baju, rasanya para bangsawan lebih suka pamer baju di sini!

"Wah, nyonya Genia! Kejutan apa ini?" Sapa seseorang begitu saja.

Laki-laki itu kelihatan masih muda. Dengan rambut pirang panjang yang terurai sempurna, laki-laki dengan jas kuning itu juga terlihat lebih cantik dari Aria. "Tidak biasanya anda ke sini langsung, bahkan tanpa memberitahu saya lebih dulu."

"Yah, soalnya hari ini Aku diajak keluar tiba-tiba, jadi…"

Tiba-tiba ditunjuk, Aria pun langsung kikuk sendiri. "Ah, itu, s-senang bertemu dengan anda." Katanya sebisa mungkin. "Saya--"

Aria sudah akan menyebutkan namanya juga, tapi ternyata nyonya Genia sudah duluan bicara lagi. "Ini Aria. Dia penjual obat yang sedang tinggal di rumahku." Katanya memperkenalkan.

"Oh! Betapa tidak sopannya saya." Kata laki-laki itu sambil membungkukkan punggungnya pada Aria. "Perkenalkan, saya Heli, pemilik butik Freesia ini."

"Ah, iya--" Aria sudah akan membalas, tapi laki-laki itu ternyata malah meraih tangan Aria duluan dan menciumnya.

"Sampai kedatangan wanita cantik seperti anda, sepertinya butik saya sangat beruntung hari ini."

'Ya Tuhan...'