webnovel

Bendera Putih

Karena matahari sudah hampir terbenam, tuan Loir yang bahunya sudah pegal akhirnya meregangkan tangannya dan bangun dari kursi. Lalu dengan senyumnya yang tipis dia pun berjalan ke arah cermin besar di pinggir ruangan dan mulai membanggakan wajahnya sendiri.

"Hm, rasanya sayang kalau Aku langsung pulang. Haruskah Aku pergi minum di bar dulu?" Gumamnya dengan tawa samar.

Kalau pulang kerja, kebanyakan prajurit dengan 5 bintang sepertinya mungkin akan langsung buru-buru pulang untuk menemui keluarga dan 3 anak mereka. Tapi karena laki-laki dengan postur tinggi dan janggut tipis itu memang masih bujang, dia jadi masih memiliki kebebasan untuk menggunakan waktu malamnya.

Hanya saja karena dia juga tidak mau menghabiskannya sendiri, dia pun menghampiri laki-laki yang berdiri tidak jauh dari pintu ruangannya. "Yo, Jury, bagaimana kalau kita minum bersama malam ini?" Ajaknya.

Tidak menunjukkan ketertarikan, laki-laki itu langsung mengalihkan wajahnya. "Lain kali. Setelah ini saya harus berjaga di pelabuhan."

"Eyy, di sana kan sudah ada banyak penjaga yang lain, jadi pasti tidak masalah kalau kau bolos sesekali. Percaya pada atasanmu!"

"...Anda mengatakan itu minggu lalu dan saya jadi dihukum oleh tuan Ramon."

"Tsk, kakek itu memang tidak menyenangkan." Decaknya. Tapi kemudian matanya menangkap ada prajurit lain yang berlari ke arahnya. "Oi, Wiz, kau mau minum denganku--"

"Tuan Loir, anda harus pergi ke pelabuhan sekarang! Ada bajak laut yang mendekat ke dermaga!" Lapor laki-laki itu. "Dan dari kapalnya… Itu kapal milik Irigen!" Tambahnya.

"..."

Dan tanpa basa-basi, Loir dan Jury pun langsung mulai berlari mengikuti bawahannya. Bagaimanapun, nama bajak laut yang paling dicari di kerajaan jelas bukan pertanda baik.

"Mau apa Irigen terang-terangan ke sini? Jangan bilang dia sudah menembakkan bola api ke dermaga?" Tanya Jury.

"Untungnya sih belum." Jawabnya.

Dan benar saja, saat mereka sampai di dermaga, ternyata di sana juga sudah ada puluhan prajurit lain yang bersiap-siap menerima serangan. Bahkan para pedagang yang biasanya masih sibuk berjualan di sana saja sudah pada kabur entah ke mana.

Lalu jauh di ufuk matahari terbenam, memang terlihat ada kapal dengan bendera hitam yang mendekat. Meski anehnya di samping kapal itu juga ada kapal kecil yang ikut.

Melihat ketuanya datang, salah satu prajurit lain kembali mendekatinya. Meski sebelum orangnya yang melapor, Loir malah duluan bertanya. "Apa kalian sudah beri tanda peringatan? Dan apa dia sudah membalas tanda akan menyerang atau semacamnya? Dia menuntut sesuatu?"

"Ah, itu, kami sudah memberi tanda peringatan, tapi…"

"Tapi mereka bilang akan tetap menyerang?"

"Tidak. Sebenarnya mereka malah kelihatan mengibarkan bendera putih."

"...Hah?"

Tidak yakin dengan yang didengarnya, Loir terdiam. Sampai akhirnya dia malah memutuskan untuk merebut teropong bawahannya dan pergi ke barisan paling depan. Dan seperti laporan bawahannya, memang ada kain putih yang kelihatan berkibar di depan kapal.

"Tunggu… Itu bukan Irigen??" Gumamnya sambil terus menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas ke teropong. "Kransfein…?"

=============================

"Geh, sudah kuduga ada banyak prajurit yang berjaga di dermaga." Ujar Feny sambil menggigiti jarinya yang gemetar. "Sudah kuduga benderanya kuturunkan saja!"

"Biarkan saja." Sela Rei menghentikannya. "Lagipula kita juga sudah pasang kain putihnya. Kalau dilepas nanti jadi tidak menarik perhatian." Tambahnya santai.

Apalagi saat dia kembali melihat lewat teropongnya, senyumnya seketika langsung melebar. "Hoo, akhirnya Loir datang. Aku sempat khawatir dia sudah pulang, tapi untungnya belum."

Rei menoleh ke kapal kecil di sebelah untuk memeriksa tawanannya yang berharga. Tapi saat melihat kalau Aria masih sibuk merawat luka si gimbal itu, dia jadi agak kesal. "Berhenti buang-buang sihirmu yang sedikit saat matahari sudah terbenam begini! Setelah kita menyerahkannya, nanti juga ada yang menyembuhkannya." Teriaknya.

Tapi entah dengar atau tidak, Aria sama sekali tidak menggubrisnya dan terus saja sibuk mengacak-acak isi salah satu kotak di kapal. Soalnya dengan luka tusukan yang dalam begitu, sihir Aria saja tidak cukup untuk menutup lukanya. Jadi meski tidak banyak, untungnya si pria tua punya beberapa tanaman obat yang biasa mereka jual.

Meski Irigen yang melihatnya juga jadi tambah bingung. Bukan karena kepintaran Aria dalam menyembuhkan lukanya, tapi justru karena sikap membangkangnya pada bangsawan di kapal sebelah.

"...Kau bukan pelayannya ya?" Tanyanya dengan suara yang lemah, meski Aria juga tetap tidak menjawabnya karena dia perlu menempelkan obatnya dulu. "Ack!" Rintihnya, meski sensasinya segera terasa membaik sampai akhirnya Aria selesai melilit perban di perutnya.

BUGH! Tapi saat Aria baru saja akan kembali menggunakan sihir penyembuhannya pada si bajak laut, Rei tiba-tiba saja kembali melompat ke kapal itu dan langsung mengacungkan pedangnya ke leher Irigen. "Jangan coba-coba." Katanya tiba-tiba mengancam.

"A-Apa yang kau lakukan?" Tanya Aria bingung. "Dia sedang tidak bisa--"

"Sihirnya sudah kembali." Potong Rei, yang tadi memang langsung lari ke situ setelah Feny menceletuk kalau dia sudah tidak bisa menggunakan sihirnya. Dan setelah dirasa-rasa, walaupun samar Aria juga mulai menyadari adanya energi sihir dari arah Irigen.

"Yah, belati itu memang benda sihir rendahan, jadi sebenarnya tidak mengejutkan kalau efeknya cuma bertahan sebentar." Tambah Rei.

Agak ragu, Aria menatap laki-laki yang lehernya terancam dipotong itu. Dan memang, orangnya kelihatan sedang melebarkan senyumnya seperti sedang menertawakan sesuatu. Tapi entah dari mana, Aria tidak merasa kalau tawa itu mengisyaratkan niatnya untuk melawan.

"...Setidaknya biarkan Aku menyembuhkannya sedikit lagi." Kata Aria kemudian.

"Kau tidak mendengarkanku? Ikat kembali dia ke tiang!"

"Ta-Tapi nanti luka di perutnya jadi tertekan lagi."

"..." Dari gertakan giginya, Rei kelihatan hampir ingin memindahkan acungan pedangnya ke arah Aria. Tapi entah bagaimana, dia bisa menahannya. "Kau, benar-benar… Pokoknya pergi! Biar Aku yang menjaganya!" Omelnya akhirnya.

Aria sempat agak ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk berjalan menjauh. Meski Irigen malah kembali tertawa melihatnya. "Haha. Pasti merepotkan punya pelayan yang suka membangkang begitu." Ejeknya. "Aku mengerti, kau tahu. Bawahanku juga banyak yang tidak becus, jadi kadang Aku--"

"Tutup mulutmu." Sela Rei sambil mendekatkan pedangnya.

Irigen awalnya menurut dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi kemudian dia terpikir sebuah pertanyaan yang sempat membuatnya bingung sejak awal. "Tapi sebenarnya kenapa kau ingin menyerahkanku ke kerajaan? Memang ada untungnya?" Tanyanya.

"Harga kepalaku memang agak mahal, tapi harusnya tidak seberapa juga. Jangan-jangan kau bangsawan miskin?"

"...Kau sendiri, kenapa tidak coba kabur daritadi?" Balas Rei. Soalnya meski dia sudah ke situ secepat yang dia bisa, harusnya dia tetap terlambat beberapa saat.

"Seorang wanita cantik sedang mengobatiku! Kenapa Aku harus kabur?" Balas Irigen seakan itu sudah jelas. "Walaupun kalau sekarang, entahlah… Kalau kau memanggilnya ke sini lagi sudah pasti Aku tidak akan memikirkan ide itu, iya."

Dengan kerutan waspada di alisnya, Rei kembali mendekatkan pedangnya ke leher Irigen. Tapi kemudian matanya menangkap sosok Aria di pinggir kapal yang kelihatannya mendengar itu dan mulai memasang wajah berharap.

Rei mendecak lidahnya kesal. Tapi akhirnya dia mendesah pelan. "...Apa boleh buat. Cepat ke sini." Katanya dan Aria pun langsung berlari mendekat.

"Tapi dengan satu syarat." Tambahnya tiba-tiba sambil menahan Aria, selagi dia juga kembali menajamkan matanya pada Irigen. "Jangan kabur dari penjara sebelum seminggu. Atau setidaknya 6 hari." Katanya.

Soalnya dengan kemampuan yang dimiliki Irigen, Rei tahu jelas kalau dia mampu melakukannya dengan mudah. Sudah berkali-kali begitu. Dan itu bisa mengganggu rencananya.

"Hah?" Irigen sempat menoleh pada Aria siapa tahu dia paham maksudnya. Tapi karena Aria juga memasang ekspresi bingung yang sama, Irigen pun membalas, "Kenapa Aku harus? Kau pikir Aku tidak tahu kalau mereka akan langsung memasungku di depan umum setelah seminggu?!"

"Justru lebih mudah kalau kau kabur saat acaranya dimulai kan? Karena kau akan dikeluarkan dari penjara saat itu."

"Ha! Sudah pernah coba! Tapi sialnya mereka malah meracuniku dengan obat pelemah tepat sebelum acaranya dimulai."

Rei memainkan bibirnya untuk mencari bujukan lain, dan hebatnya dia ketemu satu. "...Akan kubiarkan dia mengunjungimu di penjara--"

"Benarkah??" Balas Irigen yang langsung semangat saat melihat Rei menunjuk wajah Aria. "Setiap hari?"

"...Dua kali."

"Lima--"

Buk! Spontan, Rei langsung menapakkan kakinya ke wajah Irigen. "Du-a. Atau Aku akan minta mereka untuk langsung memotong lehermu bahkan sebelum kau bisa ke penjara."