Ekspedisi hutan Lavit, seperti namanya, merupakan proyek khusus untuk menjelajahi sebuah hutan misterius yang dipenuhi dengan monster dan sihir-sihir aneh. Walaupun secara teknis daerahnya masih termasuk teritori kerajaan, hutan itu sebenarnya tidak pernah bisa dibudidayakan. Karena berapa kalipun kerajaan berusaha menaklukkannya, hutan itu selalu saja punya cara untuk menolak peradaban manusia yang mengganggu kehidupan mereka.
Ekspedisi terakhir dilaksanakan saat Arina masih berumur 5 tahun, jadi sekitar 13 tahun yang lalu. Dan kabarnya saat itu ada banyak prajurit yang gugur karena diserang monster dan sihir ini-itu. Bahkan tidak sampai di situ, kakek pangeran, raja sebelumnya juga sampai harus mengorbankan nyawanya di hutan itu. Dan pesan terakhirnya adalah sebuah peringatan kalau hutan itu memang tidak seharusnya diganggu lagi.
Tapi yang namanya manusia, sudah kodratnya pelupa.
Entah siapa yang mengompori raja, 3 bulan lalu tiba-tiba saja dia memerintahkan pasukannya untuk ekspedisi lagi ke hutan itu. Bahkan tidak tanggung-tanggung, beliau juga memerintahkan untuk menyusun perencanaannya dengan serius sampai mengaturnya jadi ekspedisi jangka panjang—2 bulan penuh. Hanya saja bukannya pergi sendiri, sang raja malah mengutus dua pangerannya untuk memimpin ekspedisi itu.
Ayah yang baik hati sekali. Entah apa alasannya, dia seharusnya bersyukur kedua anaknya kembali dengan selamat. Dan kalau mengenai hasil ekspedisinya sendiri, selain membawa beberapa tanaman obat yang bisa memperpanjang umur raja dan ratu, kelihatannya hutan itu masih belum bisa diambil alih sepenuhnya.
"Pangeran sudah datang ya." Sambut Helen begitu pangeran turun dari keretanya. "Nona Arina sudah menunggu anda di taman."
Tapi seakan belum ingin masuk, laki-laki dengan rambut sempurna itu malah mengulum senyumnya dengan aneh. Dan bukannya ke arah Helen, dia malah mengalihkan pandangannya ke arah Sei yang ada di sampingnya.
"Kabar Arina hari ini bagaimana? Dari 1-10, suasana hatinya kira-kira berapa?" Tanyanya kemudian. "Apa dia kelihatan akan melemparku dengan gelas kalau Aku tidak sengaja menyinggungnya?"
Sei langsung terdiam kikuk, tapi kemudian Helen membalas duluan, "Kalau dari senyumnya saja, suasana hatinya mungkin ada di angka 10 hari ini."
"Benarkah?" Tanyanya curiga. 'Yang seperti itu justru pantas dicurigai…' Lanjutnya dalam hati.
"Hei, Luis, sini berikan kotaknya." Pintanya kemudian pada asisten yang ada di sampingnya daritadi.
Meski ternyata pria berkacamata itu malah menunjukkan wajah bingung. "Kotak apa?"
"Kotak perhiasan! Yang isinya kalung? Kan tadi kusuruh bawa!" Pintanya lagi, tapi asistennya masih saja melipat bibirnya kaku. "Ugh, Luis kau sialan. Kalau Arina membunuhku, pokoknya itu salahmu." Geramnya.
Tapi karena sudah terlanjur, dia pun segera menyiapkan hati dan akhirnya berjalan memasuki kediaman Almira.
Dan di sanalah tunangannya berada, sedang minum teh dengan damai di kebun bunga yang masih kalah cantik darinya. Dia kelihatan tersenyum begitu melihat pangeran sudah datang, tapi di kepalanya Alex sudah bisa membayangkan kalau Arina sedang mengutuk dirinya dalam hati. 'Datang juga kau sialan', atau semacamnya.
Tapi Alex mengabaikan itu dan mulai ikut melebarkan senyumnya. "Wah, seperti biasa kau terlihat cantik sekali. Warna oranye kelihatan sangat cocok padamu." Pujinya langsung.
"Aku tahu. Ini gaun yang paling kubenci. Sengaja kupakai karena pangeran datang hari ini." Balasnya, dan pangeran pun duduk.
Keduanya mau saja langsung menghentikan akting 'sepasang tunangan' mereka. Tapi karena beberapa pelayan masih memperhatikan dari jauh, mereka masih sama-sama menaikkan pipi mereka ke atas.
"Tapi sampai menyempatkan waktu ke sini, memangnya pangeran tidak sibuk?" Kata Arina lagi.
"Untuk tunanganku tercinta, tentu saja Aku bisa meluangkan waktu sebanyak apapun." Balas Alex, yang bisa melihat kalau Arina hampir muntah mendengarnya. "Atau yah, karena kau sudah lama tidak ke istana, kupikir mungkin Aku yang harus ke sini sesekali."
"Itu karena belakangan ini ada banyak orang di istana. Aku jadi tidak bisa tenang karena semua orang terus memperhatikanku."
Pangeran menyeruput tehnya sedikit. "Iya, itu. Karena acara pelantikan para pendeta sudah dekat, semua orang jadi sibuk." Katanya, yang anehnya malah memasang senyum seperti terlihat lega akan sesuatu.
"Fiuh, rupanya kau sudah tahu ya. Sebenarnya Aku memang mau membicarakan itu, tapi baguslah kalau kau sudah mendengarnya." Lanjutnya kemudian.
Tidak jadi menyuap manisannya, Arina menaikkan sebelah alisnya saat dia membalas pandangan Alex. "...Dengar apa?"
"Tentang perempuan yang katanya merupakan titisan pendeta agung." Jawabnya langsung. Tapi karena tunangannya malah diam, Alex pun kembali melipat bibirnya datar, "Ah, belum dengar rupanya…"
"..." Arina langsung terdiam sangat lama karena sibuk mengobrol dengan suara hatinya sendiri. Tapi kata 'titisan pendeta agung' sepertinya memang bukan kabar baik baginya yang merupakan seorang penyihir hitam.
'Padahal titisan agung hanya muncul setiap beberapa ratus tahun sekali, tapi sekarang?!'
Meski sulit, entah bagaimana Arina berhasil menenangkan dirinya, jadi dia pun kembali mengalihkan pandangannya pada Alex. "...Tapi pangeran datang untuk membicarakan itu? Kenapa?" Tanyanya curiga. "Mau menyuruhku untuk berhati-hati atau semacamnya?"
Soalnya meski alasan itu masuk akal, rasanya agak terlalu merepotkan kalau dia sampai perlu datang langsung ke rumahnya.
Dan seperti dugaannya, Alex tidak langsung menjawab dan malah memilih untuk menyeruput tehnya kembali. Baru setelah memainkan bibirnya sesaat, Alex terlihat sedikit mencondongkan tubuhnya ke meja dan mulai berkata dengan pelan.
"Yaa, sebenarnya Aku sedikit berharap kalau kau mungkin mau membunuhnya duluan. Dia akan tiba di kota beberapa hari lagi."
Tidak peduli lagi dengan sekitarnya, Arina langsung terang-terangan mengerutkan wajahnya dengan jijik. Walaupun tahu kalau dirinya bukan sosok manusia suci, laki-laki ini jelas bukan sesuatu yang lebih baik darinya.
"Tidak perlu khawatir begitu." Kata Alex lagi. "Kudengar dia hanya memiliki tandanya, tapi kemampuan sihirnya yang sekarang belum seberapa. Jadi kalau kau mengurusnya sebelum dia menginjakkan kakinya di istana, Aku bisa membereskan sisanya dengan mudah."
"Dan kenapa pangeran sepertimu merasa terancam oleh pendeta yang payah begitu?"
"Alasan pertama, tentu saja karena dia mengancam keberadaanmu. Kalau ada apa-apa denganmu, Aku bisa sedih, kau tahu." Jawabnya ringan. "Tapi alasan kedua… Itu karena kelihatannya kak Felix berencana menjadikan wanita itu sebagai pasangannya."
Langsung paham semuanya, Arina pun mendesah pelan. Tentu saja masalah tahta! Soalnya kalau sampai memiliki pasangan seorang pendeta agung, tentunya posisi pangeran Felix akan semakin kuat dan semakin mengancam posisi Alex.
"Pangeran pikir perempuan itu akan menerimanya? Semua orang tahu pangeran Felix mengerikan, makanya selama ini tidak ada yang mau jadi pasangannya."
"Yaa, tapi bahkan Aku bisa membujukmu jadi tunanganku." Balas Alex yang seketika langsung membuat Arina menajamkan pandangannya.
Makanya sebelum Arina mulai mengeluarkan api dari matanya, Alex pun melanjutkan. "Tapi tidak apa kalau kau tidak mau, Aku bisa menyiapkan orang-orangku sendiri." Katanya.
"Hanya… Kalau kau berubah pikiran, kau bisa beritahu Aku."