webnovel

Chapter 36

Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ima perlahan melangkah mendekati elang itu, matanya tetap terfokus pada ukiran tersebut. Angin bertiup lebih kencang, menerbangkan rambutnya yang mulai menutupi wajah. Tapi Ima tidak peduli. Ia ingin tahu lebih banyak tentang elang ini.

Di jarak Ima yang agak jauh, sinar matahari yang menerobos di antara dedaunan menciptakan bayangan yang berkilauan di bulu elang itu. Ia mencoba memperhatikan dengan seksama, tetapi ukiran di bulu elang terlihat terlalu kecil dan samar untuk dibaca dari kejauhan. Ima merasa penasaran, ada sesuatu yang aneh pada elang itu. Tidak seperti burung biasa yang kerap terbang menjauh saat didekati, elang itu hanya diam tak bergerak, seperti patung yang penuh wibawa. Dengan hati-hati, Ima melangkah mendekat, langkahnya pelan agar tidak mengganggu elang yang terlihat begitu tenang.

Ketika Ima berhasil mendekat, jantungnya berdebar lebih cepat. Ukiran di bulu elang itu akhirnya terbaca jelas: "military". Sebuah kata yang jarang sekali ia temui dalam kehidupannya sehari-hari, apalagi pada seekor elang. Ima terpaku sejenak, otaknya berusaha memahami apa arti tulisan itu dan mengapa bisa ada pada seekor elang.

Seketika, rasa terkejut meliputinya. "Militer?! Jangan bilang kamu adalah elang terlatih dari militer? Kau punya militer?!" tanyanya dengan nada tak percaya. Wajah Ima memancarkan kebingungan dan sedikit ketakutan, tetapi ia tetap berdiri di tempatnya, tidak mundur.

Namun, sebelum Ima sempat memikirkan lebih lanjut, elang itu mengepakkan sayapnya dengan kekuatan yang luar biasa. Angin dari kepakan itu membuat dedaunan di sekitar Ima bergoyang hebat, bahkan beberapa helai rambutnya berantakan. Dalam sekejap, elang itu melesat ke udara, seperti kilat yang menyelinap di antara pepohonan. Ima hanya bisa berdiri terpaku, matanya mengikuti arah terbang burung besar itu, terkejut dan kehabisan kata-kata.

Namun, apa yang tak pernah ia duga adalah elang itu kembali. Kali ini, ada sesuatu yang tergantung di kakinya. Ima memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Saat elang itu terbang rendah, ia menyadari bahwa yang dibawa adalah seekor kelinci mati. Ima terpaku, hatinya campur aduk antara rasa penasaran dan jijik. Saat elang itu menjatuhkan kelinci di hadapannya, Ima mundur spontan, menabrak tanah hingga jatuh terduduk.

"Akh..." Keluhan kecil keluar dari bibirnya. Pandangannya tertuju pada kelinci yang tergeletak diam, tubuhnya yang kaku dan bulunya yang masih bersih, kecuali bagian kecil yang terlihat berdarah. Ima menatapnya dengan wajah penuh ketakutan. "(Ugh... rasanya aku mau muntah...)" pikirnya, wajahnya sedikit pucat.

Elang itu hanya menatap Ima dengan kepala yang terus bergerak ke kanan dan ke kiri, seperti mencoba memahami mengapa manusia di hadapannya tampak begitu takut. Ima, di sisi lain, merasa semakin bingung dengan situasi ini. Namun, tanpa banyak basa-basi, elang itu turun, mendekati kelinci, dan mulai memakannya. Ima hanya bisa menatap dengan ekspresi campur aduk, antara jijik dan takjub.

"(Kenapa dia bisa ada di sini? Elang terlatih militer? Bagaimana ini, apa di sekitar sini ada kamp militer? Atau elang ini melarikan diri? Lepas dari militer?)" Ima memutar otaknya, mencoba mengurai misteri yang tiba-tiba hadir di hadapannya.

Setelah selesai makan, elang itu hanya menyisakan bekas darah kelinci di rerumputan. Tidak ada tulang, tidak ada daging, semuanya bersih. Ima yang masih duduk di tanah, menatap elang itu dengan penuh rasa heran. Burung besar itu kini berbalik menatap Ima, kali ini dengan tatapan yang tampak lebih lembut, hampir seperti memahami apa yang dipikirkan manusia di hadapannya.

"Kamu... dari militer, kan? Kebetulan aku punya seseorang yang tahu akan hal itu. Mas Regis pasti tahu siapa kamu, tapi sayangnya dia tidak ada di sini..." Ima berbicara pelan, suaranya sedikit bergetar, ada rasa kecewa yang tersirat. "Tapi terima kasih sudah menemaniku, aku merasa sangat aman ada elang yang baik di sini..."

Ima tersenyum kecil, senyum manis yang tampak tulus. Entah mengapa, senyum itu membuat elang itu terdiam, tidak bergerak, seolah ikut merasakan ketulusan dari kata-kata Ima. Ima melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih lembut, "Ketika aku bertemu Mas Regis, aku akan mengatakan bahwa kamu ada di sini. Aku tahu kamu mungkin lepas dari militer kemudian hidup di sini, tapi setahuku, elang hitam tidak diperbolehkan berburu di sembarang hutan. Kekuatanmu harus dimanfaatkan di pertarungan. Aku harap, ketika aku kemari lagi, kamu bisa kembali ke rumahmu..."

Ima memandang elang itu sekali lagi, penuh rasa campur aduk. Burung besar itu, meski diam, memberikan kesan wibawa yang luar biasa. Perlahan, elang itu menutup matanya, seperti memberikan tanda bahwa ia mendengar dan memahami setiap kata Ima.

Tapi kemudian terdengar sebuah suara memanggil dari kejauhan, membelah keheningan di padang rumput itu. "Ima!!" Suara itu terdengar lantang namun akrab, seperti suara Argani. Ima, yang tadinya termenung, segera menoleh dengan penuh harap, matanya berkilat mencari sumber suara itu. Namun, pandangannya justru tertuju pada elang yang berdiri gagah di hadapannya.

Angin lembut meniup rambut Ima yang sedikit berantakan, dan matanya menyiratkan perasaan yang sulit diartikan. "Sepertinya sampai sini saja," ucapnya, suara pelan namun penuh ketulusan. Ia menatap elang itu dengan lembut. "Ketika aku sudah bersama Mas Regis, aku akan kemari dan mencarimu. Terima kasih telah menemaniku meski sebentar. Kamu elang yang baik..." Nada suaranya dipenuhi rasa syukur, seolah berbicara dengan teman lama.

Elang itu mengembangkan sayapnya perlahan, menunjukkan kekuatan dan keanggunannya. Ia melesat terbang ke langit, menciptakan angin kencang yang menerpa Ima. Gadis itu hanya bisa berdiri terpaku, rambutnya berkibar, sementara matanya mengikuti elang yang menjauh, menjadi titik kecil di cakrawala.

Dari kejauhan, Argani melihat Ima berdiri sendirian di tengah padang rumput yang luas. Rumput hijau bergoyang lembut ditiup angin, seolah berbisik satu sama lain. "Ima!!! (Oh, syukurlah...)" teriak Argani dengan napas lega. Ia segera mempercepat langkahnya, melewati rerumputan tinggi yang mengusap lututnya.

"Mas Argani..." Ima menatap pria itu dengan lega, senyum kecil menghiasi wajahnya yang sebelumnya tegang.

"Kemana saja kau?" tanya Argani dengan nada keras, namun suaranya mengandung nada khawatir yang sulit disembunyikan. "Aku sudah bilang tetap di belakangku, kan? Kenapa kau pergi begitu saja?!" Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan cemas, matanya tajam menatap Ima.

"Maafkan aku..." ucap Ima, suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, menatap kakinya yang masih tertutup sedikit debu. "Aku terlilit akar pohon, dan ketika aku berhasil melepaskannya, kau sudah pergi jauh..." Nada suaranya penuh penyesalan, membuat Argani terdiam sejenak.

Tanpa diduga, Argani menggeleng pelan. Matanya melembut, dan tiba-tiba ia mendekat, melingkarkan tangannya ke tubuh Ima. Pelukan itu erat, penuh kehangatan, membuat Ima membelalak, terkejut dengan gestur tersebut. "Maafkan aku, tidak menjagamu dengan baik..." bisik Argani pelan di telinga Ima. Suaranya rendah, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat Ima terdiam dalam keheningan yang aneh.

Setelah melepaskan pelukan itu, Argani mengalihkan perhatiannya pada padang rumput yang terbentang luas di sekitar mereka. Matahari mulai condong ke barat, cahayanya hangat, menciptakan bayangan panjang di atas rerumputan. "Tempat apa ini? Kenapa ada tempat seperti ini?" tanyanya dengan nada penasaran, matanya menjelajah setiap sudut keindahan tempat itu.

Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, dan alangkah terkejutnya ketika melihat sinyal di layar. "Ternyata di sini ada sinyal bagus..." gumamnya, separuh tidak percaya. Ia mengangkat ponselnya, memastikan bahwa bar sinyal benar-benar penuh.

Di sisi lain, Ima yang tadinya terdiam akhirnya berbicara. "Aku lari ke sini," katanya dengan suara yang lebih tenang. "Bukankah tempat ini bagus? Bagaimana jika kita akhiri perjalanan hari ini saja? Tidak perlu sampai ke vila. Kita di sini saja, berfoto bersama, kemudian kirimkan foto kita ke ibumu. Kamu setuju?" Ima menatap Argani dengan penuh harap, matanya memancarkan rasa tenang yang aneh.

Argani tampak ragu sejenak. Keraguan itu terlihat jelas dari wajahnya yang sedikit tegang. "(Memang benar, jika masih ingin ke vila, mungkin akan membutuhkan waktu... Baiklah, sebaiknya di sini saja...)" pikirnya, akhirnya memutuskan. Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Dengan tangannya, ia mengangkat ponsel itu ke atas, mengatur posisi kamera. Ima mendekat, senyum kecil muncul di wajah mereka berdua, memantulkan kehangatan sederhana.

Sesaat setelah foto diambil, Argani segera mengirimkannya ke ibunya. "Ibu, lihat kami..." tulisnya singkat di pesan itu.

Sementara itu, jauh di tempat lain, di sebuah kamar rumah sakit yang hening, ibu Argani terbaring lemah di atas ranjang. Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur. Ketika notifikasi berbunyi, ia dengan susah payah mengambil ponsel itu. Matanya perlahan terbuka, membaca pesan dan melihat foto yang dikirimkan Argani. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang pucat. Ia meletakkan ponselnya kembali, matanya menutup dengan damai. Di ruangan itu, seorang dokter berdiri di sudut, menunggu dengan tenang. Sepertinya waktunya terlalu cepat untuk tiba.

Setelah beberapa hari berlalu, kenyataan itu akhirnya datang. Ibu Argai telah benar-benar pergi meninggalkan dunia ini. Di pemakamannya, hanya sedikit keluarga terdekat yang hadir. Suasana sunyi menyelimuti tempat itu, dengan udara dingin dan angin yang berhembus pelan, seolah ikut berduka.

Argani berdiri tegak di dekat makam ibunya, meski tubuhnya terlihat lemah dan matanya kosong menatap gundukan tanah yang masih baru. Langit mendung menggantung di atas, menambah kesan suram di hari itu. Tak ada suara, hanya hening yang menguasai.

Dengan tatapan lurus ke bawah, Argani tampak bergumam dalam hati. *(Aku sudah berusaha membuatmu bangga padaku. Bukankah aku adalah seorang putra yang membanggakan? Tapi sekarang, kenapa kau harus pergi...)* pikirnya. Raut wajahnya tak mampu menyembunyikan luka di hatinya. Perlahan, ia menutup matanya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.

Hujan mulai turun, rinai kecil membasahi tanah di sekitar pemakaman. Argani tetap diam, tidak bergerak, seolah ingin membiarkan hujan menyelimuti kesedihannya. Namun, tiba-tiba sebuah payung hitam terbuka di atas kepalanya, melindunginya dari hujan.

Tindakan itu membuat Argani tersentak. Ia mengangkat wajah, menatap ke atas untuk melihat payung yang kini melindunginya. Dengan ragu, ia perlahan menoleh ke belakang. Sosok yang memegang payung itu adalah Ima.

Ima berdiri tenang, mengenakan pakaian serba hitam yang rapi dan sederhana, menandakan bahwa ia datang dengan penuh penghormatan untuk ibu Argani. Wajahnya tampak serius namun lembut, memancarkan empati yang tulus. Ia memandang Argani dengan mata yang sedikit basah, mencoba mencari keberanian untuk berbicara.