webnovel

Chapter 34

Hingga Ima menemukan alasan yang tepat. "Ah, aku ingin ikut Naya... dia mengajakku jalan-jalan. Apakah boleh?" jawab Ima dengan suara tenang. Wajahnya tampak polos, sorot matanya jernih, tanpa menunjukkan tanda-tanda ia sedang menyembunyikan sesuatu. Rambut hitamnya yang tergerai rapi berkilau terkena cahaya pagi, memberikan kesan tenang dan anggun pada dirinya.

Ibunya mengangguk perlahan sambil tersenyum tipis. Wajahnya, yang mulai menua dengan beberapa garis halus di sekitar mata, memancarkan kehangatan seorang ibu yang penuh kasih. "Boleh saja. Naya yang itu kan? Aku tahu dia sangat baik padamu. Kapan kalian akan pulang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lembut namun sedikit cemas, memastikan anak perempuannya tidak akan terlambat pulang.

"Entahlah, Bu. Mungkin nanti aku akan mengabari Ibu. Jadi, sampai jumpa," balas Ima, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat sebelum melangkah keluar. Gerakannya ringan, nyaris seperti tarian, menunjukkan kepribadiannya yang lembut.

Ibunya hanya menghela napas panjang, memandangi punggung putrinya yang semakin menjauh. Ima, dengan tubuhnya yang kecil namun tegap, tampak seperti bayangan gadis kecilnya dulu yang perlahan menghilang dari pandangan. "Haaa... Ima sudah besar..." gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri sambil tersenyum kecil, meski di matanya tersirat kerinduan.

Namun, Ima tidak pergi bersama Naya seperti yang dikatakannya. Langkah kakinya membawa dia menuju tempat yang berbeda, tempat di mana Argani sudah menunggu. Jalan yang dilalui Ima lengang, dipenuhi dedaunan kering yang beterbangan ditiup angin. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya, membuat Ima tampak seperti sosok yang baru terbangun dari mimpi.

Di sudut jalan, sebuah mobil hitam terparkir rapi di bawah pohon rindang. Argani, seorang pria muda dengan tubuh tinggi tegap, berdiri bersandar pada mobil tersebut. Pakaiannya sederhana namun rapi, menunjukkan karakteristiknya yang tenang dan terorganisasi. Tangannya menggenggam ponsel, sesekali memeriksa layar dengan alis sedikit mengerut. Meski wajahnya terlihat santai, mata gelapnya yang tajam sedikit memancarkan rasa tidak sabar.

Ketika suara langkah cepat mendekat, ia menoleh. Matanya bertemu dengan Ima, dan seketika wajahnya berubah.

"Maafkan aku, terlambat..." suara Ima terdengar tergesa-gesa, napasnya sedikit terengah-engah. Pipi merahnya akibat udara pagi menambah kesan polos dan jujur.

Argani memandangnya dengan tatapan yang berubah perlahan. Awalnya hanya sekadar menatap, namun pandangannya mulai menyiratkan kekaguman. Ima, dengan senyum lembut dan langkahnya yang penuh percaya diri, tampak berbeda. Ia terlihat begitu cantik, anggun, dan dewasa, membuat Argani merasa sulit mengalihkan pandangannya. Namun, ia segera menguasai diri, berusaha menjaga jarak.

"Mas Argani? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Ima, memiringkan kepalanya sedikit dengan ekspresi bingung. "Apa aku membuatmu menunggu sangat lama? Maafkan aku, ya. Aku harus menunggu sarapan bersama Ibu," lanjutnya dengan nada tulus, senyum kecil di bibirnya mencairkan suasana.

"Tidak, ini baik-baik saja. Benar-benar baik-baik saja. Kalau begitu, masuklah ke mobil," jawab Argani, nada suaranya datar namun jelas berusaha menyembunyikan perasaan yang bergejolak. Ia membuka pintu mobil untuk Ima, menunjukkan sopan santun yang sudah mendarah daging dalam dirinya.

"Ah, terima kasih..." Ima tersenyum malu-malu. Ia melangkah masuk dengan gerakan hati-hati, duduk di kursi penumpang dengan anggun, seolah takut mengganggu kesempurnaan interior mobil yang bersih dan teratur.

Mobil mulai melaju perlahan, melewati jalanan sepi yang dihiasi bayangan pepohonan. Sepanjang perjalanan, suara mesin mobil yang halus menjadi latar belakang keheningan di antara mereka. Argani sesekali mencuri pandang ke arah Ima. Setiap kali ia melakukannya, hatinya dipenuhi rasa kagum yang bercampur dengan kebingungan. Ima, gadis yang biasanya ia kenal ceria, kini terlihat lebih matang dan menawan.

"(Kenapa dia terlihat sangat cantik, dewasa, dan begitu anggun ketika diajak keluar begini? Apa dia benar-benar memiliki niat untuk melakukan permintaan Ibu? Dia adalah gadis yang terlalu sempurna... pacarnya pasti beruntung,)" pikirnya, namun rasa kagum itu bercampur dengan rasa bersalah.

"Um, Mas Argani?" suara Ima yang lembut memecah lamunannya. Ia memanggilnya beberapa kali sebelum akhirnya mendapat respons.

"Maaf... ada apa?" jawab Argani dengan cepat, sedikit gugup karena ketahuan melamun.

"Kita akan ke mana?" tanya Ima, matanya yang besar menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Kita akan ke pantai..." jawab Argani singkat, namun tegas.

"Eh, ke pantai?!" Ima terkejut, nada suaranya meninggi. Ia menatap Argani dengan mata membelalak, seperti tidak percaya dengan jawaban itu.

"Pantainya tidak dekat, sangat jauh. Aku harap kau tidak akan dicari ibumu, karena aku sudah menyewa vila. Sebelum sampai di sana, kita harus melewati hutan gelap terlebih dahulu. Aku harap kau tidak takut akan hal itu. Aku juga sudah membeli ponsel model terbaru dengan fitur kamera jernih, tanpa ketahuan edit dan tanpa filter buruk. Dengan begitu, meskipun penglihatan ibuku semakin memburuk, foto yang dihasilkan ponsel ini akan terlihat seperti aslinya. Aku harap kau menyiapkan ekspresi terbaikmu," kata Argani dengan nada bicara cepat, seolah ingin menyampaikan semuanya sekaligus.

"Tunggu! Kenapa kita harus ke pantai? Bukankah jalan-jalan kaki itu sudah cukup? Atau ke taman bermain? Kafe? Restoran? Itu lebih aman dan dekat. Kenapa harus jauh-jauh? Bukankah yang penting kita memiliki foto kebersamaan agar ibumu berpikir kita bersama terus?" Ima menimpali dengan nada penuh protes, wajahnya memancarkan keraguan sekaligus keheranan.

"Untuk apa aku melakukan hal seadanya. Lebih baik aku melakukannya dengan sepenuh kelayakan," jawab Argani dengan nada yang lebih tegas, membuat Ima menghela napas panjang.

"(Haduh... aku akan menghubungi Ibu saja...)" Ima bergumam dalam hati, mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya dan mulai mengetik pesan. Jemarinya yang lentik bergerak cepat di atas layar.

Ibunya, yang saat itu kebetulan sedang duduk di ruang tamu sambil memegang ponselnya, langsung membaca pesan Ima. Alisnya berkerut, dan tangannya menggenggam ponsel sedikit lebih erat. Dalam hati, kekhawatiran mulai merayap. "Ima? Ke mana kamu pergi?" gumamnya dengan nada cemas. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat lebih serius, seperti sedang memikirkan sesuatu. Jarinya sempat bergerak untuk membalas pesan itu, tetapi ia urung mengetik. Kekhawatiran itu tetap menggelayut di benaknya.

Di tempat lain, beberapa jam telah berlalu. Mobil Argani masih terus melaju di jalanan luas yang sepi. Jalan itu tampak sunyi, hanya dihiasi deretan pohon tinggi di kanan-kirinya. Hutan lebat mengapit sisi jalan, bayangannya menciptakan nuansa misterius, terlebih karena tidak ada satu pun kendaraan lain yang lewat. Langit yang sebelumnya cerah perlahan berubah pucat, awan kelabu mulai menggantung di cakrawala, menambah kesan sunyi dan mencekam.

Di dalam mobil, Ima menatap jendela. Pandangannya menerawang, sesekali menatap jalan di depan yang seolah tak berujung. Tiba-tiba, dia berpaling ke arah Argani. "Oh iya, kita belum berfoto tadi. Biarkan aku memulai foto pertamanya," ucapnya sambil mengarahkan senyum manis ke Argani.

Argani menoleh singkat, matanya menatap Ima dengan tatapan netral. Ia mengangguk kecil dan segera mengeluarkan ponselnya dari kantong jaketnya. "Kau bisa melakukannya," katanya sambil menyerahkan ponsel itu kepada Ima.

Ima mengambil ponsel tersebut dengan hati-hati. Wajahnya yang semula serius berubah riang. "Baiklah, cheese..." katanya, mengangkat ponsel untuk memotret. Ia menatap layar kamera, tersenyum manis, sementara Argani menatap kamera dengan senyum tipis yang tampak formal, namun cukup menunjukkan bahwa mereka sedang bersama.

Klik! Satu foto terambil, dan Ima menatap hasilnya sambil tersenyum puas. Namun, momen itu hanya berlangsung sebentar. Mendadak mobil yang mereka tumpangi melambat. Suara mesin yang tadinya halus mulai terdengar kasar, diiringi getaran kecil yang membuat Ima langsung menatap Argani dengan heran.

"Kenapa mobilnya?" tanya Ima, nada suaranya mulai berubah menjadi khawatir.

Argani hanya mengerutkan dahi. Sebelum sempat menjawab, mobil itu berhenti total, mengeluarkan asap dari kap mesinnya. Bau logam panas tercium kuat, membuat Ima spontan menutup hidungnya dengan tangan. Mereka berdua terdiam, saling memandang dengan ekspresi bingung, seolah tidak percaya apa yang baru saja terjadi.

"Apa yang baru saja terjadi?" Ima akhirnya bertanya, suaranya terdengar panik.

Argani menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meskipun jelas ada rasa kesal yang tersirat di wajahnya. "Sepertinya mogok... kehabisan air... kekeringan, dan aku lupa memastikan mobilnya kuat atau tidak berjalan jauh," jawabnya sambil memijat pelipisnya.

"Apa?! Lalu bagaimana?!" Ima menatapnya dengan mata membesar. Nada suaranya naik, menunjukkan rasa panik yang kini mulai menguasai dirinya.

Tanpa menjawab, Argani keluar dari mobil dengan gerakan cepat. Ia melangkah ke depan mobil sambil bergumam kesal. "Sial, kenapa harus terjadi..." Ia membuka kap mesin dan langsung disambut oleh uap panas yang mengepul dari dalam. Dengan hati-hati, ia memeriksa kondisi mesin yang jelas bermasalah. Ima, yang penasaran, akhirnya ikut keluar dari mobil. Angin dari hutan yang lembap langsung menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah yang khas.

"Apa yang terjadi?" tanya Ima, suaranya lebih pelan kali ini, tapi ekspresi khawatirnya belum hilang.

Argani menatapnya sekilas sebelum kembali memeriksa mesin. "Aku akan menghubungi seseorang untuk memperbaiki ini," ujarnya sambil merogoh ponselnya. Ia membuka layar ponsel dan memeriksa sinyal. Namun, raut wajahnya berubah masam ketika melihat layarnya kosong. "Sial, tidak ada sinyal... aku akan mencari sinyal," katanya dengan nada frustasi.

"Ah, tunggu! Aku juga ikut... aku takut," Ima cepat-cepat menyusul. Matanya menatap ke sekitar, melihat hutan lebat yang menjulang tinggi di sekitarnya. Suasana sunyi, hanya diiringi suara burung liar dan desau angin yang menyentuh dedaunan. Ima merapatkan jaketnya, merasa udara di sana sedikit lebih dingin daripada di kota.

Argani mengangguk singkat tanpa banyak bicara. "Baiklah, ayo," katanya, melangkah lebih dulu dengan langkah mantap. Ima berjalan di belakangnya, sesekali melirik ke sekitar. Pepohonan yang menjulang tinggi menutupi sebagian besar cahaya matahari, menciptakan bayangan gelap yang membuat Ima merasa tidak nyaman.

Hutan itu tidak sepenuhnya sunyi. Ima mendengar suara ranting patah di kejauhan, suara gemerisik dedaunan, dan desiran angin yang seperti bisikan. Ia terus mempercepat langkahnya agar tetap dekat dengan Argani, tidak ingin tertinggal di belakang. Argani sendiri tampak lebih fokus pada ponselnya, berjalan dengan harapan menemukan titik sinyal yang lebih baik di tengah medan hutan yang naik-turun.