Hingga Sabtu berikutnya, Argani benar-benar datang lagi. Satu minggu setelah pertemuan mereka sebelumnya, Ima tidak menyangka bahwa Argani akan memenuhi janjinya. Di sudut kafe yang sama, mereka kembali berdiri berhadapan, tapi suasana kali ini terasa berat. Hanya keheningan yang mengisi ruang di antara mereka, hingga akhirnya Argani memecah kesunyian dengan suara rendah namun penuh tekanan.
"Ibuku sakit..." ucapnya, nyaris seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat Ima terkejut.
Sekejap, Ima menghentikan aktivitasnya. Kopi yang sedang diraciknya ditinggalkan begitu saja. Matanya membelalak, menatap Argani dengan campuran bingung dan cemas.
"Eh?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Suaranya kecil, terdengar seperti tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
Argani menghela napas, lalu mengulang kata-katanya dengan lebih jelas, meski suaranya terdengar bergetar.
"Dia sakit, sakit sangat parah. Bahkan sekarang, dia ada di rumah sakit... Aku hanya ingin memberitahumu saja. Dokter bilang dia menderita kanker stadium hampir akhir." Tatapannya merendah, seolah menahan perasaan yang tak sanggup ia ungkapkan sepenuhnya. "Aku tahu ibuku memang tidak sehat, karena itulah dia memintaku cepat mencari wanita..." katanya dengan suara berat, nyaris pecah di akhir kalimat.
Ima hanya bisa menatap Argani dalam diam. Pikirannya berputar, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba terasa begitu serius. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia menarik napas panjang untuk menguasai dirinya.
"Aku turut berduka..." ucap Ima akhirnya, suaranya lembut namun terdengar ragu. Ia mencoba bersikap tenang meski dalam hatinya ia merasa bingung harus berkata apa.
Namun, respons itu tampaknya tidak cukup bagi Argani. Ia menatap Ima dengan tatapan tajam yang penuh rasa kesal dan kecewa.
"Ima! Jika aku memintamu menjadi pasanganku di depan ibuku, apakah itu susah?!" Nada suaranya meninggi, menandakan emosinya yang meledak-ledak. "Aku mencoba membuat ibuku senang. Apa kau tidak punya ibu sehingga kau tak tahu perasaanku?!" Ia menggertakkan giginya, tangannya mengepal di atas meja. "Ibuku sebentar lagi tiada, dan kau bersikap seolah-olah itu hanya kabar angin?"
Kata-katanya menusuk seperti belati di hati Ima. Ia merasa bersalah, tapi ia juga memiliki alasan yang tak kalah kuat untuk tidak langsung menerima permintaan itu. Dengan suara pelan, ia mencoba menjelaskan.
"Maafkan aku, tapi... aku sudah bilang tak mau menerimanya. Aku tak mau membuat ibuku kecewa juga. Jika dia tahu aku memiliki pria lain, dia akan sakit juga..." Suaranya terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah emosi Argani yang menggelegak.
Argani mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan dirinya meski gagal sepenuhnya. Setelah menarik napas dalam, ia kembali berbicara, kali ini lebih memohon.
"Kalau begitu, sembunyikan hal ini dari ibumu atau pacarmu. Sekarang, berpura-puralah jadi pasanganku di depan ibuku sebelum dia tiada... Aku mohon padamu, Ima..." Nadanya penuh desperasi, menunjukkan betapa pentingnya hal ini baginya.
Ima terdiam lagi, mencoba menimbang situasinya. Ia menatap Argani, mencoba mencari kejujuran di matanya.
"Kau tidak berbohong soal ibumu yang sakit?" tanyanya dengan hati-hati, ingin memastikan bahwa permintaan ini bukanlah tipuan atau sekadar alasan.
Argani menatap balik, wajahnya dipenuhi ekspresi cemas dan putus asa. Ia mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Ima.
Dalam hati Ima bergulat dengan berbagai pikiran.
"(Apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin mengabaikan permintaan ini. Tapi jika hanya berpura-pura, kupikir itu tidak apa-apa.)" Akhirnya, ia mengangguk kecil dan berkata, "Baiklah, aku akan melakukannya."
Argani tersenyum tipis, kelegaannya tampak jelas di wajahnya.
"Aku akan menjemputmu," ucapnya singkat, sebelum ia bangkit dari kursinya. Setelah membayar pesanan nya, ia pergi tanpa banyak kata lagi.
Di saat itu juga, Ima hanya bisa menghela napas panjang. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan kebingungan.
"Mas Regis... Ibu... maafkan aku..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Ketika sore harinya tiba, Ima bersiap untuk pulang. Ia masih belum sepenuhnya tenang dengan keputusan yang ia buat. Saat ia melangkah keluar dari kafe, suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di hadapannya, membuat Ima menoleh dengan bingung.
Kaca bagian pengemudi turun perlahan, memperlihatkan wajah Argani di baliknya.
"Mas Argani? Kenapa benar-benar datang?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya.
"Cepat naiklah. Aku akan mengantarmu ke ibuku. Sampai sana, kau harus bilang bahwa kau benar-benar menerima hubunganku." Kata-kata Argani tegas, hampir seperti perintah, tanpa memberinya ruang untuk menolak.
Ima ragu, tangannya menggenggam tas selempangnya dengan erat.
"Tapi aku harus pulang dulu, mandi, dan... mengurus kucingku..." ucapnya pelan, matanya memancarkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Argani mendengus kesal.
"Hei, tidak perlu melakukan itu. Tak perlu mandi jika tubuhmu masih wangi. Tak perlu merawat kucing jika kucingmu sudah terbiasa hidup di rumahmu. Cepat..." Tatapan Argani tajam, penuh desakan.
Ima menghela napas panjang. Dengan berat hati, ia masuk ke dalam mobil, merasa tidak punya pilihan lain. Perjalanan menuju rumah sakit terasa sunyi, hanya suara mesin mobil yang mengisi kekosongan. Ima memandang keluar jendela, pikirannya penuh dengan kecemasan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesampainya di rumah sakit besar, Argani langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju gedung utama. Ima, yang masih mencoba menyesuaikan diri dengan situasi ini, berusaha mengejarnya. Namun, langkah Argani yang tergesa-gesa membuatnya kewalahan.
"Hah... Hah... Sebentar..." Ima akhirnya berhenti untuk mengatur napas, tangannya bertumpu pada lututnya. Ia mengangkat wajahnya hanya untuk melihat Argani menatapnya dengan tatapan tajam.
"Apa yang kau tunggu? Cepatlah," desak Argani.
Ima mengerutkan alisnya, merasa kesal namun menahan diri untuk tidak membalas.
"Haiz... Bisakah kau sabar? Aku baru saja selesai bekerja, bahkan belum sempat istirahat dari tadi."
"Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu." Tanpa menunggu, Argani kembali berjalan cepat menuju lift.
Dengan napas panjang, Ima akhirnya menyerah dan berjalan mengikutinya, meski kakinya terasa berat. Mereka akhirnya tiba di depan salah satu ruangan VVIP yang terlihat sangat eksklusif.
"Ibu?" Suara Argani terdengar pelan, penuh kehati-hatian, seolah takut membangunkan seseorang yang tengah berada di ambang batas kesadarannya. Ia berdiri di tepi ranjang rumah sakit dengan tatapan penuh harap, memanggil ibunya yang terbaring tertidur lemah.
Ima menyusul dari belakang. Napasnya masih tersengal akibat langkah cepatnya yang berusaha mengejar Argani sejak dari lobi.
"Hah... Hah... Hah..." Ia memegangi dadanya, mencoba mengatur napas yang tidak beraturan. Wajahnya sedikit memerah akibat kelelahan, namun matanya segera tertuju pada sosok di atas ranjang. Ia melihat seorang wanita paruh baya dengan tubuh kurus terbungkus selimut tebal. Wajahnya tampak pucat, namun tetap memancarkan kelembutan seorang ibu. Ima merasa ada beban yang berat di udara, seakan ruangan ini menyimpan kesedihan yang tidak terucapkan.
Sementara itu, Argani perlahan berlutut di sisi tempat tidur, tangannya dengan lembut menyentuh tangan ibunya yang terasa dingin.
"Ibu, ibu... Aku sudah membawanya," ucapnya dengan suara serak. Ada nada penuh harap di sana, seperti ia ingin mengatakan lebih banyak, namun suaranya tercekat oleh emosi yang sulit ia sembunyikan.
Mata ibu Argani perlahan terbuka, kelopak matanya bergerak dengan lemah. Butuh beberapa saat sebelum tatapannya tertuju pada Argani. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan yang terasa sedikit terang baginya.
"Argani, kenapa kemari?" tanyanya dengan suara lemah, di sela-sela batuk yang terdengar berat. Batuknya seperti menandakan penderitaan yang sudah lama ia tahan. Ia berusaha bangun, namun tubuhnya terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri.
Argani dengan sigap menopang bahunya, membantu ibunya duduk lebih nyaman. Tatapannya penuh rasa bersalah dan kekhawatiran.
"Ibu, istirahat saja. Jangan memaksakan diri..." bisiknya.
Ketika ibu Argani akhirnya menemukan posisi yang lebih nyaman, tatapannya beralih pada Ima yang berdiri ragu-ragu di dekat pintu.
"Kamu?" ucapnya dengan nada terkejut, matanya memperhatikan Ima dengan penuh perhatian.
Ima merasa canggung di bawah tatapan itu. Ia ragu harus berkata apa, terlebih lagi situasi ini membuatnya merasa kecil dan tidak tahu harus berbuat apa. Matanya melirik ke arah Argani, berharap mendapatkan petunjuk. Argani hanya mengangguk kecil, memberi isyarat agar Ima berbicara.
Dengan napas yang berat, Ima akhirnya memberanikan diri. Suaranya terdengar lembut, namun penuh keraguan.
"Bibi, lama tidak bertemu... Aku... aku sekarang kekasih Mas Argani..." ucapnya dengan gugup, hampir tidak yakin pada kata-katanya sendiri.
Ibu Argani mendengar itu dengan wajah yang berubah pelan-pelan. Dari ekspresi terkejut, perlahan muncul senyuman tipis di wajahnya. Ada sinar kebahagiaan di matanya, meskipun tubuhnya terlihat sangat lemah. Ia mengulurkan tangan, mengambil sesuatu dari meja kecil di samping tempat tidurnya.
"Mendekatlah..." panggilnya lembut, suaranya nyaris tak terdengar.
Ima terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. Akhirnya, ia melangkah maju, mendekati ranjang dengan hati-hati. Tatapan Argani mengawasinya dari samping, seolah memastikan bahwa Ima akan melaksanakan permintaan ibunya.
Dengan tangan yang gemetar, ibu Argani menggenggam tangan Ima. Kemudian, ia melingkarkan sebuah gelang tipis di pergelangan tangan Ima. Gelang itu terlihat sangat mewah, dengan detail halus yang memancarkan kilauan cahaya di bawah lampu ruangan. Ima menatap gelang itu dengan mata membelalak, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Bibi, ini apa?" tanyanya, suaranya penuh kebingungan.
Ibu Argani hanya tersenyum kecil, seolah menyembunyikan kepedihan di balik wajah tenangnya.
"Dokter bilang, hidupku tak lama lagi. Aku tak tahu sampai kapan aku akan bernapas. Karena kau sudah mau menerima tawaran dari putraku, aku ingin memberikanmu warisan ini. Sebagai simbol bahwa aku percaya padamu untuk menjaga hatinya," jelasnya perlahan.
"Ibu?" Argani tampak tersentak oleh kata-kata ibunya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Ibu, aku memberikan semua uang dan usahaku hanya untuk ibu. Kenapa ibu menyerahkannya pada orang lain?"
Tatapan ibu Argani berpaling ke putranya. Ada kelembutan sekaligus ketegasan dalam suaranya saat ia menjawab.
"Argani... Ibu tak mengharapkan apapun dari usahamu. Yang ibu harapkan hanyalah kau bisa memilih kehidupan yang lebih baik dan lebih tenang. Usahamu sangat besar, tapi ibu hanya ingin ada orang yang cocok untukmu," ujarnya pelan, namun penuh arti.
Argani terdiam. Ia hanya bisa menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. Ada perasaan terpukul yang terlihat jelas di wajahnya, namun ia mencoba menenangkan dirinya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam hati.