Penyambutan yang sangat baik pun diberikan oleh kedua keluarga, keluarganya La Kalimone dan keluarga La Mbinta Salaka, terhadap La Mudu. Selama beberapa hari La Mudu dijamin segala keperluannya. Perlakuan segenap warga desa kepada La Mudu pun sama, mereka sangat baik dan ramah kepada sang jawara.
Sementara bagi La Mudu, di perkampungan itulah ia untuk pertama kalinya merasakan hidup di tengah-tengah manusia lain. Seumur-umurnya, manusia lain selain dirinya yang ia lihat dan kenal hanyalah gurunya, Dato Hongli. Jadi, ada begitu banyak hal yang seumur-umurnya tak pernah ia lihat dan dengar, kini ia lihat, dengar, dan rasakan sebagai manusia seutuhnya yang memang harus hidup bersosialisasi dengan manusia lain dan menjadi bagian dari sebuah masyarakat.
La Mudu benar-benar merasakan denyut kehidupan masyarakat di desa ini. Tegur sapa, gelak tawa dan lain-lain, ada di sana sini. Antara warganya terlihat demikian rukun selayaknya sebuah keluarga besar. Dari sumber mata pencaharian terutama sebagai petani, desa ini harusnya makmur. Mereka memiliki kawasan persawahan yang demikian luas dan berair, menjadikan mereka bisa menanam dan memanen padi dan palawija sepanjang tahun. Maka tidaklah mengherankan jika lumbung padi yang berdiri di hampir setiap halaman rumah penduduk semua terlihat tidak tegak lagi akibat senantiasa tak pernah kosong oleh hasil pertanian, terutama padi.
"Andaikata kami tidak dibebani oleh pajak dari dua arah, mungkin kehidupan kami memang sangatlah makmur, Jawara," cerita La Kalimone suatu sore kepada La Mudu, ketika keduanya sedang menikmati pemandangan di tepian hamparan persawahan yang luas menghijau oleh tanaman padi.
"Pajak dua arah bagaimana maksudmu, Kalimone?" bertanya La Mudu dengan raut wajah keheranan.
"Iya, Jawara. Di samping pajak kepada kerajaan, kami juga terbebani lagi oleh pajak yang jauh lebih berat lagi kepala Penguasa Sangia. Sebenarnya pajak kepada penguasa Sangia itu pajak liar, karena mereka adalah kaum penyamun dan perampok. Tapi ya mau apa lagi. Kami hanyalah rakyat yang lemah yang tak memiliki daya untuk menentang. Menentang mereka berarti nyawa akan hilang."
Wajah La Mudu sontak terangkat ketika mendengar nama La Afi Sangia disebutkan oleh La Kalimone. Maka ia bertanya, "Apa penguasa Sangia yang kaumaksud adalah yang bernama Afi Sangia adalah manusia penguasa dunia hitam yang tinggal di pulau yang bernama Sangiang ?"
La Kalimone menengok ke daerah sekeliling terlebih dahulu sebelum menjawab dengan suara dipelankan. "Benar, Jawara. Saat ini ia telah menggelari dirinya dengan Paduka Sandaka Dana. Tapi kami tak berani menyebut namanya keras-keras, karena di mana-mana ia mempunyai orang kepercayaan sebagai mata-matanya. Pihak kerajaan pun tak berdaya untuk memusnahkan mereka. Makanya kami menurut saja berapa pun besarnya pajak yang harus kami serahkan kepada mereka."
Mendengar nama itu darah La Mudu langsung mendidih. Amarah di hatinya menggelegak. Tulang rahangnya menonjol bersamaan dengan suara giginya yang menggeretak. Ingat cerita gurunya, Dato Hongli, tentang kebiadaban tokoh hitam terhadap keluarganya, detik itu pun ia ingin segera membinasakannya. Namun ia harus pula memegang nasihat gurunya, bahwa ia harus menggunakan perhitungan dalam setiap tindakan, dan tidak boleh bertindak gegabah, walau dalam urusan yang nampak sepele sekalipun. Sebab binasanya seseorang hanya karena suka bertindak gegabah, dan terkadang justeru hanya disebabkan oleh hal yang nampak sepele.
Sebagai bagian dari korban kebiadaban La Afi Sangia, La Mudu tetap jua manusia yang lemah untuk menahan diri dari dendam yang membara di hatinya. Sebuah dendam yang kelak harus ia tuntaskan!
"Afi Sangia...!" tercetus ucapan di bibirnya. "Rupanya kau kian merajalela!"
Ranting kayu yang dipegangnya tanpa sadar dipatahkan dan diremas-remasnya sampai hancur.
Perilaku La Mudu itu pelan-pelan diperhatikan oleh La Kalimone. Saat itu pikiran pemuda kampung ini langsung bekerja, dan memperkirakan kalau pemuda sakti di sampingnya ini memiliki urusan dengan penguasa Pulau Sangiang itu.
"Emm, maaf, Jawara..," berucap La Kalimone dengan suara ragu-ragu.
"Eh, iya. Ada apa, Kalimone?"
"Apakah...Jawara kenal dengan La Afi Sangia, atau…punya urusan silang-sengketa mungkin?" La Kalimone mencoba memberanikan diri.
La Mudu tidak langsung menjawab, melainkan menatap mata pemuda di sampingnya tanpa berkedip. Kemudian menghela nafas panjang sembari mengalihkan pandangannya ke depan, lantas balik bertanya, "Kau bisa memegang rahasia, Kalimone?"
"Saya, Jawara? Tentu. Jawara bertanya kepada orang yang tepat!"
"Saya tahu. Saya hanya ingin lebih memastikan saja," ucap La Mudu. "Kau juga punya bakat menjadi pemimpin yang hebat, Kalimone."
"Jadi pemimpin, Jawara?"
La Kalimone malah mesam-mesem sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut panjang meriap.
“Iya, pemimpin...!”
"Kalau soal itu saya sendiri sangat ragu, Jawara. Bahkan untuk menghayalkannya pun saya sudah takut duluan."
"Kadang untuk melihat dan menilai diri kita, kita butuh mata orang lain untuk melihatnya, Kalimone. Kau memiliki watak dan perawakan seorang pemimpin. Karena hanya pemimpin sejatilah yang mampu memegang rahasia!"
Sekali lagi La Kalimone menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, seolah-olah ia terjebak oleh sisi pengakuannya sendiri.
"Tapi, Jawara, mungkin… tidak cukup sifat itu saja untuk menjadi pemimpin atau calon pemimpin, masih ada satu hal yang harus dimiliki. Bahkan satu hal itu menjadi modal utama, apalagi dalam suasana negeri yang seperti saat ini."
"Apa itu?"
"Kekuatan diri. Eng, maksud saya, harus seorang yang memiliki kesaktian seperti Jawara ini."
La Mudu menoleh dan tersenyum.
"Benar katamu, Kalimone, walaupun sesungguhnya keliru," ucap La Mudu. "Watak adalah bawaan khusus pada setiap manusia, dan tidak mudah untuk diubah. Watak itu seperti halnya paria dengan rasa pahitnya, atau cabai dengan pedasnya, dan tebu dengan rasa manisnya. Sementara kemampuan diri, ilmu, dan lain-lain bisa diubah dan dipelajari. Artinya kemampuan dan kekuatan diri yang kaumaksudkan itu bisa kau pelajari, Kalimone."
La Kalimone mengangguk-angguk pelan, meresapi apa yang diucapkan oleh pemuda sakti di sampingnya.
"Karena kelemahan, kami tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kedzoliman yang terhadap kami, seperti yang dilakukan oleh orang-orangnya La Afi Sangia itu. Kami diperlakukan tak ubahnya terhadap binatang. Ya mau apa lagi, Jawara Mudu."
La Mudu tersenyum dan manggut-manggut. Pikirannya bermain. Ia berpikir harus mulai mengayuh sampan dari sini. Warga desa ini adalah bagian dari negeri yang tengah menanti kehadiran dirinya. Kehadiran sang pembebas. Ia harus memulai tindakannya di sini. Karena itu ia pun berniat untuk memberikan sedikit bekal ilmu kesaktian kepada La Kalimone. Mungkin juga beberapa pemuda lagi agar lebih kuat.
"Biasanya berapa orang anak buahnya La Afi Sangia yang mengambil jatah mereka di desa ini, Sahe?"
"Ya rata-rata sekitar dua puluhan orang, Jawara Mudu. Tapi untuk menghadapi seorang anak buah La Afi Sangia pun kami tidak mungkin berani dan mampu. Mereka rata-rata memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.”
"Hm, begitu. Lantas mereka lewat mana? Sebab sepengatahuan saya, Pulau Sangiang itu berada di sebelah timur pulau ini. Jadi kalau melewati pulau ini jelas akan berhadapan dengan pasukan kerajaan dulu."
"Mereka lewat laut, Jawara Mudu. Kapal mereka sandarkan di sekitar pantai Wane atau Kalepe. Mereka membawa hasil pungutan ke sana dengan menggunakan kuda, yang juga diambil begitu saja di desa ini atau di desa Salondo dan lain-lain."
La Mudu kembali manggut-manggut. "Jika memang kalian membebaskan diri dari kedzoliman manusia iblis itu, aku siap untuk membantu," La Mudu berkata sungguh-sungguh.
"Benar, Jawara Mudu?" bertanya La Kalimone dengan wajah tak mampu menyembunyikan kegembiraannya.
"Tentu!" tegas La Mudu. "Seorang pendekar sejati pantang untuk mengucapkan kata-kata yang berisi harapan kosong, Kalimone. Oleh karena itu aku berniat untuk membekalimu dengan kekuatan sakti yang cukup kepadamu."