webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
89 Chs

Bab 11. Jenderal Hongli Bergelar Dato

Akan tetapi, baru saja keheningan berakhir, mendadak alun-alun digetarkan lagi dengan pekikan seratus pendekar uji berpedang yang datang menyerang dari delapan penjuru angin. Keseratus pendekar uji bergerak melesat laksana seratus kawanan tawon api raksasa. Naga-naganya mereka ingin langsung memusnahkan pendekar asing itu dengan satu serangan gabungan yang amat mematikan.

Jenderal Hongli yang sudah mengantisipasi akan datangnya gelombang serbuan itu, segera menyiapkan satu jurus andalannya, yaitu Jurus Tapak Dewa. Jurus ini hanya ia keluarkan ketika menghadapi suatu peperangan besar saja.

Namun karena tak ingin membuang-buang waktu yang lebih lama, maka terpaksa Jenderal Hongli harus mengeluarkannya. Ketika serbuan dahsyat dari seratus pendekar uji itu, dengan mengiblatkan ujung pedang mereka, nyaris menjadikan tubuhnya sebagai sasaran empuk, tiba-tiba Jenderal Hongli segera mengeluarkan pekikan melengking dahsyat yang efeknya amat menyakitkan gendang telinga dan urat saraf bagi yang mendengarnya. Pekikan yang laksana suara ribuan elang itu bersamaan dengan melentingnya tubuh pendekar asing itu ke angkasa. Pekikan itu tidak berhenti saat tubuh Jenderal Hongli kembali menukik tajam ke bawah sembari memperlihatkan kedahsyatan Jurus Tapak Dewa. Kedua tapak tangan sang pendekar agung itu terlihat terbagi-bagi menjadi ribuan tapak tangan raksasa yang masing-masing mengandung hawa yang teramat panas. Keseratus pendekar uji yang menyaksikan jurus yang teramat dahsyat itu, hanya melongo sesaat, kemudian kocar-kacir untuk menyelamatkan diri.

Tetapi fatal. Sebelum mereka sempat menyelamatkan diri, ribuan tapak raksasa itu telah lebih dahulu menghantam tubuh mereka. Bahkan hanya sekejap mereka mengeluarkan pekikan, sebelum ajal menjemput. Tubuh mereka rata-rata setengah terpendam ke bumi dengan warna tubuh yang menghitam. Semua yang menyaksikan peristiwa yang amat tragis itu menjerit tertahan sembari membuang pandangan mereka masing-masing.

Sebagai seorang pendekar besar, Jenderal Hongli tak lupa menjura takzim kepada keseratus lawannya yang telah tak bernyawa itu sebelum ia melangkah meninggalkannya. Kesenyapan pun tiba-tiba meledak dengan teriakan-teriakan sanjungan yang ditujukan kepadanya. La Gunta Marunta dan ayahnya, La Mbila, segera menyerbu dan langsung memeluk tubuh Jenderal Hongli. La Mbila tak mampu menahan bening haru di matanya. La Gunta Marunta memanggul tubuh Hongli dan membawanya ke hadapan Paduka Sangaji dan Sang Jenateke di serambi istana.

Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Jenderal Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan.

"Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah.

"Tidak apa-apa...."

"Hongli. Nama hamba Hongli…”

"Iya, Hongli. Terima kasih,” sahut Jenateke, sembari meletakkan telapak tangannya pada dada kirinya yang terbebat dengan sejenis perban putih yang sudah tampak berubah merah karena rembesan darah segar.

Jenderal Hongli melihat itu nampak sedikit tercekat kaget. "Maaf, Yang Mulia Raja Muda, apakah hamba boleh melihat lukanya?"

"Oh, iya. Silakan, Hongli."

Jenderal Hongli dengan hati-hati menyingkirkan bagian baju kebesaran Jenateke ke samping, untuk kemudian membuka kain perban. Tampak luka bekas anak panah menganga dengan warna menghitam. Dan warna hitam tersebut telah merambat ke hampir seluruh tubuh Jenateke. Wajah Jenderal Hongli menyiratkan keprihatinannya.

"Ini bekas panah beracun yang sangat kuat, Yang Mulia Raja Muda. Dan tampaknya racunnya sudah mulai menyerang ke bagian tubuh lain dan urat saraf. Maaf, Yang Mulia Raja Muda, sudah berapa tabib yang mengobatinya?"

"Sudah puluhan tabib," Yang menyahutkan Paduka Sangaji. "Tapi belum ada perubahan. Malah tambah parah."

"Iya, Paduka Yang Mulia. Karena pengobatannya hanya di luarannya saja sementara racunnya belum tersedot. Ampun, Paduka, apakah boleh hamba untuk memberikan pengobatan awal?"

"Oh, iya, silakan, Hongli. Saya sangat berterima kasih sekali," jawab Jenateke.

Jenderal Hongli segera menegakkan jari manis dan telunjuknya di bawah dagu sembari memejamkan mata dan mengumpulkan tenaga murninya. Secara kasat mata, tenaga murni yang berwana putih kemilau itu mengalir dan terkumpul pada kedua jari tangannya itu. Lalu dengan satu gerakan refleks, ia menyentuhkan kedua jarinya itu ke permukaan luka Jenateke. Tubuh pendekar agung dari negeri Tiongkok itu pun bergetar akibat kekuatan pengerahan tenaga dalamnya.

Dan secara kasat mata pula, wana kehitam-hitaman yang ada pada suluruh tubuh Jenateke mengalir ke inti luka, tersedot oleh kedua jari mantan jenderal perang Kekaisaran Dinasti Ming itu.

Setelah semua semua racun tersedot habis, tubuh Jenateke pun menampakkan warna alami aslinya, kuning langsat. Jenderal Hongli menarik kembali kedua jari tangannya yang telah berubah menghitam itu secara refleks pula. Warna hitam yang terkumpul di kedua jari tangannya itu lenyap setelah ia usah-usah dengan jari-jari tangan kirinya.

"Bagaimana rasanya sekarang, Yang Mulia Raja Muda?"

Jenateke mencoba menggerak-gerakkan tubuhnya secara bebas. Pelan-pelan wajahnya memancarkan sinar kegembiraan. Rasa sakit yang selama ini ia rasakan dan sangat menyiksanya, kini lenyap tiada tersisa.

"Oh, demi Dewata Agung, sakit yang selama ini menyerang seluruh urat sarafku kini benar-benar telah lenyap, Ayahanda Sangaji. Ananda benar-benar merasa sehat sekarang. Hanya sakit pada lukanya ini saja yang tersisa. Terima kasih Hongli. Kausungguh seorang pendekar sekaligus tabib yang luar biasa hebat! Terima kasih, terima kasih..!"

Paduka Sangaji (Baginda Raja) ikut gembira dan bersyukur demi menyaksikan sebuah keajaiban yang tersaji di depan matanya. Beliau beranjak dari kursi kebesarannya lalu memeluk sang Putra Mahkotanya. "Selamat, Anandaku. Ayahanda pun sangat berbahagia dan bersyukur atas kesembuhanmu." Lalu memalingkan wajahnya kepada Jenderal Hongli dan berucap, "Atas nama diriku sebagai seorang Sangaji dan atas nama rakyat Tambora aku menyampaikan ucapan terima kasih yang amat besar kepadamu, Tuan Hongli!"

Jenderal Hongli bertabik hormat. "Lebih-lebih hamba, Paduka Yang Mulia. Besar ucapan terima kasih hamba atas penerimaan Paduka Yang Mulia terhadap hamba untuk mengabdikan diri di kerajaan Paduka Yang Mulia ini. Kebahagiaan tersendiri bagi hamba karena Yang Mulia Raja Muda bisa tersenyum kembali. Pintu luka Yang Mulia Raja Muda akan pulih dalam waktu yang tak lama lagi, hamba rasa."

Jenateke beranjak dari kursi pembaringannya lalu berdiri mengapit Jenderal Hongli. Dan kepada seluruh rakyat Tambora yang menyaksikan peristiwa itu, beliau bersabda dengan suaranya yang lantang berwibawa, "Wahai seluruh rakyatku yang kucintai. Dengarkan sabdaku. Mulai saat ini, Tuan Hongli aku angkat sebagai pendampingku. Panglima pendamping. Artinya, perintahnya adalah sama sahnya dengan perintahku! Menentang perintahnya sama halnya dengan menentang perintahku!"

Baginda Sangaji berdiri dan melanjutkan ucapan sang putra mahkotanya, dengan sabdanya: Mulai hari ini, kepada Tuan Hongli, atas namaku selaku Sangaji dan atas nama Kerajaan Tambora yang kupimpin, aku memberi gelas atas Hongli dengan gelar Dato, seorang yang besar pembawa kebaikan demi kejayaan kerajaan yang kita cintai ini!"

Sabda kedua manusia agung itu disambut gegap-gembita oleh seluruh rakyat Kerajaan Tambora yang hadir di tempat itu. Mereka mengelu-elukan nama Dato Hongli berkali-kali.

Dan sambutan gegap-gempita itu kembali berlangsung ketika Jenderal Hongli atau yang kini telah bergelar Dato Hongli, diberi kesempatan oleh Banginda Sangaji untuk berbicara.

Dengan sikap dan wibawa kenegarawan yang dimilikinnya, Dato Hongli pun berkata dengan suaranta yang jernih dan menggelegar:

"Kepada sulurh rakyat Tambora yang saya hormati. Perkenalkan nama saya Honglli, dan sekarang dianugeri gelar Dato Hongli. Saya adalah pendatang dari sebuah negeri yang amat jauh yang benama Dataran Sinae. Sejak hari ini telah dipercayakan oleh Paduka Jenateka sebagai pendamping beliau dalam tugas kepanglimaan, dan demi Dewata Agung saya mengucapkan sumpah untuk memberikan kesetiaan sejati dan pengabdian terbaik saya demi kejayaan Kerajaan Tambora yang tercinta ini. Saya adalah orang yang sangat memegang teguh kalimat bijak: Di mana bumi dipijak, maka di situ langit dijunjung!"

Maka sejak itu Dato Hongli benar-benar memenuhi janjinya untuk memberikan pengabdian terbaiknya kepada kepada kerajaan sanggar. Setelah Jenateke pulih sepenuhnya, Dato Hongli dengan setia mendampingi dalam setiap tugas kepanglimaan. Musuh-musuh Kerajaan Tambora ditaklukkan. Ada yang ditaklukkan lewat penyerangan balik, ada juga yang dilakukan dengan misi damai. Namun ada pula kerajaan-kerajaan kecil yang secara suka rela menyatakan diri tunduk dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tambora sebagai kerajaan pelindung. Berkat bekal ilmunya sebagai mantan seorang jenderal penakluk di sebuah kemaharajaan, Dato Hongli dengan mudah membantu untuk membangun sebuah angkatan perang yang sangat tangguh dan menggetarkan nyali angkatan perang di kerajaan-kerajaan lain. Puncaknya, Kerajaan Tambora pun berubah sebagai sebuah kerajaan yang disegani dan mampu menciptakan kedamaian dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.

Ada pun keluarga barunya, La Mbila dan La Hiri, diangkat derajat kehidupannya. Oleh Dato Hongli mereka ditarik ke dalam lingkungan kerajaan dan tetap hidup bersamaannya sebagai keluarganya sendiri, dan La Gunta Marunta yang sudah dianggapnya sebagai akemenakannya ia angkat sebagai orang kepercayaannya setelah ia gembleng dengan ilmu kedigdayaan yang sangat mumpuni.