webnovel

Kabar Duka

"Paman Kalingga," seru Raden Mardian. Ia kemudian memeluk pamannya itu. Kalingga pun memeluk keponakannya dan mereka saling menangisi kepergian Marwati.

"Aku sangat sedih dengan kepergian Ibunda, Paman. Aku tidak menyangka jika Ibunda mengorbankan nyawanya demi Ayahanda," tangis Raden Mardian.

"Aku tahu, Raden. Tetapi kita tidak bisa berbuat apapun. Sebab semua terjadi begitu cepat. Ibumu melakukan bela pati demi ayahmu, dan aku sangat menyesalinya. Aku juga sangat terpukul dengan kepergian adikku itu," papar Kalingga sambil menahan isaknya.

Raja Sutawijaya sebenarnya merasa sangat bersalah, karena ia tidak mampu melindungi Marwati. Tetapi jika Marwati tidak berkorban nyawa, tentu Raja Sutawijaya yang akan tewas saat itu juga.

Raden Mardian dan Kalingga masih saling berpelukan untuk melepas tangis, tetapi Kalingga sepertinya ingin ada yang dibicarakan kepada Raden Mardian, empat mata saja.

"Raden, Paman perlu bicara kepada dirimu hanya empat mata saja. Bisakah kamu meluangkan waktu?" pinta Kalingga. Raden Mardian menghapus air matanya lalu menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja, Paman. Aku selalu siap," jawab Raden Mardian. Ia lalu menoleh pada Brama dan raja Sutawijaya.

"Ayahanda, Brama. Aku tinggal sebentar untuk bicara dengan Paman Kalingga," pinta Raden Mardian. Raja Sutawijaya dan Brama pun menganggukkan kepalanya.

"Silakan saja, Mardian. Tetapi sungguh maafkan Ayahanda, karena Ayahanda tidak bisa menolong ibumu," ucap Raja Sutawijaya. Raden Mardian hanya terdiam, sebab ia juga masih merasa terpukul dengan kepergian ibunya itu.

Raden Mardian lalu pamit Brama Kalingga, dan kini hanya ada Raja Sutawijaya dan juga Brama. Brama sebelumnya masih tidak enak hati berhadapan dengan sosok agung seperti Raja Sutawijaya.

"Maaf, Gusti. Hamba sebaiknya menunggu di luar, karena hamba tidak ingin mengganggu istirahat Gusti Raja," Brama mohon pamit kepada Raja Sutawijaya.

"Sebentar, Brama. Aku ingin bicara sebentar denganmu," perintah Raja Sutawijaya mencegah Brama pergi. Brama pun menganggukkan kepalanya.

"Ada apa, Gusti?" tanya Brama sambil menundukkan kepalanya.

"Aku turut berduka cita atas kematian kedua orang tuamu. Aku juga tidak tahu kalau kamu selamat dari pembantaian itu," ucap Raja Sutawijaya.

"Aku juga bersyukur jika nyawaku masih bisa tertolong, Gusti. Tetapi lihatlah, mereka sudah memotong tangan kiriku saat aku masih kecil. Bahkan mereka membuangku ke dalam jurang," tutur Brama.

"Beruntung aku masih bisa selamat walau tanganku buntung satu," imbuh Brama.

"Memang sangat keterlaluan sekali orang yang menyuruh para pendekar itu untuk menghabisi kedua orang tuamu. Aku pernah menyelidikinya, tetapi selalu gagal," ungkap Raja Sutawijaya.

"Entah ada mata-mata atau musuh dalam selimut, sebab rencana rahasia yang aku rancang selalu saja bocor dan tidak pernah ada yang berhasil," imbuh Raja Sutawijaya. Brama pun terkejut mendengarnya.

"Jadi selama ini Gusti Raja juga menyelidikinya?" tanya Brama. Raja Sutawijaya menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja, Brama. Sebab aku sangat peduli kepada ayahmu itu. Bahkan dia adalah pengikut setiaku yang yang baik. Sehingga aku ingin bisa menenangkan jiwanya di alam sana. Tetapi sayangnya sampai saat ini aku belum bisa menemukan pelaku pembunuhan kedua orang tua itu," papar Raja Sutawijaya. Brama hanya terdiam.

"Kini aku sudah dewasa, Gusti. Aku akan turun tangan untuk bisa mengetahui siapa yang sudah tega melakukan semua ini kepada orang tuaku," ujar Brama. Raja Sutawijaya menyunggingkan senyumnya.

"Tetapi sebagai bakti dan balas budi kepada Gusti Raja. Bolehkah aku bergabung bersama pasukan untuk bisa melawan kerajaan Singaparna? Karena aku ingin Raja Sutawijaya bisa memperoleh lagi tahta kerajaan Gilang Gilang," cinta Brama. Raja Sutawijaya pun tersenyum lagi mendengarnya.

"Kamu sangat persis dengan ayahmu. Aku harap kamu sangat setia di pihakku. Tentu saja aku akan mengizinkan kamu untuk membela tanah air ini," jawab Raja Sutawijaya. Brama pun tersenyum lebar mendengarnya.

"Terima kasih, Gusti. Hamba sangat senang sekali mendengarnya," balas Brama. Namun Brama penasaran apa yang dibicarakan Raden Mardian dan juga pamannya itu.

"Baiklah, Brama. Jika tak ada lagi yang ingin disampaikan, sekarang kamu istirahatlah. Nanti akan ada waktunya kamu ikut berunding menyusun strategi, agar kita bisa menyerang balik kerajaan Singaparna. Kini aku mau istirahat dulu," tandas Raja Sutawijaya.

"Silakan, Gusti. Hamba pamit dulu," pungkas Brama mohon undur diri dari hadapan Raja Sutawijaya.

Ia kemudian mencari Raden Mardian yang tampaknya masih Brama Kalingga. Brama ingin mengatakan jika dirinya akan ikut bergabung Brama pihak Raja Sutawijaya untuk merebut kembali kerajaan Gilang Gilang.

Brama mencari Raden Mardian ke sana ke mari tetapi ia tidak menemukannya. Namun Brama melihat Raden Mardian tepat di belakang gua itu seorang diri.

'Sepertinya Raden Mardian sedang melamun. Aku harus menyusulnya, siapa tahu dia kini sedang bersedih,' pikir Brama lalu ia menghampiri Raden Mardian dan menepuk bahu pria itu dengan lembut.

"Ada apa, Raden? Sepertinya ada yang membebani pikiran Raden?" tanya Brama. Raden Mardian pun terdiam sejenak.

"Aku merasa bingung, Brama. Sebab pamanku memintaku untuk menjadi raja di Kerajaan Gilang Gilang menggantikan Ayahanda," jawab Raden Mardian. Brama pun kaget mendengarnya.

"Mengapa begitu, Raden? Bukankah Raden sudah memiliki daerah kekuasaan di kabupaten Tanjung Mas? Bahkan ada putra mahkota yang siap menggantikan Raja Sutawijaya?" tanya Brama dengan perasaan heran.

"Aku juga tidak mengerti jalan pikiran Paman Karinda, sebab ibuku sudah bela pati terhadap Ayahanda. Kata Paman Kalingga, Aku seharusnya diberi kedudukan untuk bisa menggantikan Ayahanda sebagai Raja.Tetapi tidak mungkin bagiku karena aku ini hanya anak selir," jawab Raden Mardian.

"Namun Paman Kalingga menegaskan, aku berhak mendapatkannya sebagai balas budi Ayahanda kepada ibuku," jelas Raden Mardian. Brama kembali kaget mendengarnya.

'Mengapa Gusti Kalingga sampai berpikiran seperti itu? Aku merasa ada yang tidak beres dengan dirinya,' gumam Brama. Namun ia berusaha untuk menghibur Raden Mardian yang merasa gelisah dan sedih.

"Sudahlah, Raden Mardian. Jangan terlalu dipikirkan, kita bisa pikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya merebut kerajaan Gilang Gilang lagi dari kerajaan Singaparna," hibur Brama.

"Bahkan sekarang aku diterima bergabung di pihak Gusti Raja Sutawijaya untuk ikut menyerang kerajaan Singaparna," ungkap Brama. Raden Mardian pun terkejut mendengarnya.

"Benarkah itu? Ayahanda sudah mengizinkanmu?" tanya Raden Mardian memastikan. Brama menganggukkan kepalanya.

"Lalu bagaimana dengan tujuanmu sejak awal, Brama? Kamu harus mencari pelaku pembunuhan kedua orang tuamu, tetapi rencana itu tertunda karena kini kamu akan terlibat dalam pertempuran melawan kerajaan Singaparna?" tanya Raden Mardian. Tetapi Brama hanya tersenyum.

"Semoga saja dengan baktiku kepada kerajaan Gilang Gilang akan mendapatkan titik terang siapa pelaku pembunuhan Ayahku itu. Aku yakin, kalau aku bisa menemukan semua pelakunya dan dalang dibalik kejadian pembantaian itu," harap Rangga. Raden Mardian pun menganggukkan kepalanya.

"Aku harap juga begitu, Brama. Demi ketenangan jiwa Ayah dan Ibumu di alam sana," timpal Raden Mardian.

"Namun apa yang harus aku katakan kepada Paman Kalingga jika aku menolak sebagai raja pengganti Ayahanda? Sebab aku tidak ingin merebut hak Raden Wilutama sebagai putra mahkota di kerajaan Gilang Gilang," pikir Raden Mardian.