webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Acción
Sin suficientes valoraciones
112 Chs

Aku Masih Hidup?

"Adik," satu suara terdengar berasal dari belakang Suro, membuat pemuda itu memutar tubuhnya.

Ia melihat Tan Bu tiba-tiba sudah berdiri sambil memasang seulas senyuman.

"Kakak Tan Bu!" Ia berseru, anehnya ketika ia hendak mendatangi lelaki itu, kakinya dengan sangat mudah terangkat dan digerakkan. Tetapi mengapa ketika ia hendak mengejar Li Yun dan Rou Yi, ia tak mampu sama sekali untuk melangkah walaupun sejengkal.

Begitu tubuhnya sudah berjarak sangat dekat, Tan Bu malah memberi isyarat untuk berhenti dengan mengangkat tangannya, lalu memberi isyarat agar Suro berbalik kembali dengan tangannya menunjuk ke arah gerbang yang terbuka dimana Li Yun dan Rou Yi tadi keluar.

Dengan tanda tanya besar atas isyarat Tan Bu, Suro pun langsung berbalik kembali menghadap ke arah gerbang. Tak ada sesuatu pun yang dilihatnya aneh.

Tapi tiba-tiba, ia merasakan tubuhnya didorong dari belakang dengan dorongan yang sangat kuat hingga tubuhnya terlempar melayang seperti daun yang tertiup angin.

"Kakaaaak!" Suro berteriak atas perbuatan Tan Bu padanya.

Begitu tubuhnya melayang keluar dari gerbang itu, ia sempat memalingkan wajahnya ke arah Tan Bu yang melambaikan tangan padanya sambil tersenyum lalu berteriak dengan wajah yang gembira.

"Kembalilah dan selesaikan urusanmu!"

Suro merasakan tubuhnya terjatuh dari ketinggian begitu keluar dari gerbang itu, terus meluncur dengan derasnya. Ia tak bisa melihat dasar tempat tubuhnya akan jatuh.

Yang bisa ia lakukan adalah berteriak dengan sekuat tenaga.

Hingga beberapa saat tubuhnya meluncur dan belum juga sampai didasarnya membuat ia hanya bisa pasrah. Tak perduli lagi apa yang akan terjadi pada dirinya.

Tiba-tiba ia teringat akan Li Yun dan Rou Yi lalu terfikir apakah mereka juga jatuh seperti dirinya saat ini sewaktu keluar dari gerbang itu?

Kemudian, kalimat Li Yun yang terakhir diucapkannya, sebagai isyarat kalau ia akan mengajak Rou Yi untuk bunuh diri agar mereka bisa bersamanya kembali membuatnya putus asa. Tapi saat ini ia tak bisa apa-apa untuk mencegahnya. Menimbulkan perasaan gagal dan berdosa pada dua orang gadis itu.

Amarahnya langsung meluap tiba-tiba, membuatnya lupa kalau tubuhnya sedang meluncur jatuh.

"Li Yun! Rou Yi! Kalian tidak boleh mati!" ia berteriak sekencang-kencangnya.

"Kakak! ..... Kakak!...."

Suro tiba-tiba merasakan kalau ia dihempas ke dalam tubuhnya sendiri. Ia membuka mata ketika tubuhnya terasa ada yang mengguncang. Telinganya yang menangkap suara Li Yun dan Rou Yi memanggil namanya.

"Oh, aku masih hidup?" ia membatin.

Rasa sakit yang amat sangat ia rasakan disekujur tubuhnya.

"Kakak, kau sudah sadar!" Li Yun berteriak histeris di sebelahnya, sementara disisi yang lain, Rou Yi cuma bisa mendekap mulutnya rapat-rapat. Mereka tak menyangka Suro sudah sadar. Kali ini kejadian itu membuat mereka seperti bermimpi.

Suro bisa melihat kondisi wajah mereka yang nampak sembab dan masih berlinangan air mata. Merasakan dirinya berada ditempat yang berbeda dari terakhir yang ia ingat membuatnya berkesimpulan, kalau ia tidak sadarkan diri, atau bisa dibilang koma dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat kedua gadis itu bersedih.

Ingatannya pada kejadian dialam yang ia tidak ketahui sewaktu dalam keadaan koma seperti baru saja terjadi. Lalu ia ingat terakhir kali Li Yun dan Rou Yi ingin bersamanya dialam itu, dan itu membuatnya ingin mengatakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh Li Yun dan Rou Yi.

"Kalian jangan mati, ya...." Suro berkata dengan suara pelan dan parau. Air matanya pun mengalir tanpa ia sadari.

Li Yun dan Rou Yi saling pandang, mereka merasa heran kenapa Suro mengatakan itu pada mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya mengatakan hal demikian pada Suro.

"Kakak," Li Yun berkata sambil memegang telapak tangan Suro, "Kami tidak berniat untuk mati, sebab kami masih ingin bersama kakak."

Suro tersenyum sambil menahan sakit. Ia baru sadar kalau kalimat itu dikatakan pada alam lain yang terbawa pada saat ia masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, yang ia sendiri tidak tahu berada di alam mana. Maka wajarlah jika Li Yun mau pun Rou Yi menampakkan wajah yang keheranan.

Rou Yi bergegas mengambil cawan berisi obat yang biasa ia berikan pada Suro, ramuan tonik dan nutrisi.

Sewaktu dalam keadaan tidak sadar, mereka berdua bergantian meneteskan ramuan obat itu setetes demi setetes agar Suro tidak tersedak. Sekarang, dibantu Li Yun dengan menegakkan sedikit punggung dan kepala Suro dalam posisi setengah duduk, menyuapinya sedikit demi sedikit.

Hilang sudah rasa lelah yang mereka alami bagai asap lahir dan batin mereka selama merawat Suro. Yang muncul adalah semangat untuk membantu kesembuhan pemuda itu. Wajah mereka nampak berseri-seri kembali.

"Sebentar aku akan memasak bubur buat kakak, kau berjagalah di sini," Rou Yi berkata pada Li Yun, ia nampak semangat sekali mengatakannya.

Li Yun tahu, kalau Rou Yi sebenarnya sangat lelah, karena ia pun juga merasakannya. Tetapi, melihat Suro sudah sadar gadis itu seolah-olah baru bangun dari tidurnya yang nyenyak.

Li Yun mengangguk dengan semangat, "Umm!"

Setelah membaringkan tubuh Suro kembali sangat hati-hati, ia pun meminta izin pada Suro untuk membersihkan diri. Pagi menjelang siang ini, ia belum sempat untuk mandi membersihkan diri.

Tak lama, ia pun kembali dengan tubuh yang sudah lebih segar dan pakaian yang baru dan wangi. Dilihatnya Rou Yi sudah selesai memasak dan berada di kamar itu menunggunya.

Bersama dengan Rou Yi, ia memberi ganjalan di kepala Suro agar ia bisa makan makanan yang diberikan oleh Rou Yi, lalu bergantian dengan Li Yun yang menyuapi Suro.

"Apakah kita berada di Kuil Shaolin?" Suro bertanya, karena ia merasa ruangan tempat ia berbaring saat ini sudah sangat ia kenali.

Li Yun mengangguk sambil memasukkan sesuap bubur ke mulut Suro.

"Waktu itu, tuan Yutaka Shisido yang membawa kakak kemari, karena lebih dekat ketimbang membawa kakak ke kapal," terangnya.

Barulah Suro sadar, rupanya sebelum detik-detik Perwira Chou mati dan ia sendiri hilang kesadaran, suara dari Yutaka Shisido lah yang ia dengar berulang-ulang sambil menangis.

Dalam hati ia merasa berhutang nyawa pada lelaki itu.

"Lalu, dimana dia sekarang?" Suro bertanya kembali.

"Dia bersama keluarganya masih berada di sini. Mungkin sedang memperhatikan murid-murid Shaolin berlatih."

"Oh...." ia manggut-manggut beberapa kali, mulutnya nampak sibuk mengunyah bubur, "Lalu,.... Mengapa sepi sekali? Biasanya guru So Lai selalu ada di sini."

Li Yun tersenyum, dengan sabar ia menjawab pertanyaan Suro. Ia tidak merasa bosan, malah ia merasa sangat senang bisa berbincang-bincang dengan pemuda itu, "Rou Yi bilang, biksu So Lai sedang di bukit mencari tanaman obat untukmu, karena bekal obat yang kami bawa sudah habis. Makanya, beliau pergi keluar. Jika tidak halangan, sore nanti ia akan datang sebab Biksu So Lai bersama teman-temanmu yang lain setiap hari menjengukmu dan menyalurkan tenaga dalam mereka demi kesembuhanmu."

Kali ini Suro tersenyum dan kembali membatin. Banyak orang-orang yang membantu kesembuhannya sehingga ia merasa banyak berhutang budi pada mereka.

Tak lama kemudian, Rou Yi datang dengan kondisi yang sama dengan Li Yun. Kedua gadis itu sekarang sudah mengenakan pakaian terbaik mereka untuk menyenangkan dan memberi semangat pada Suro.

Baru saja Rou Yi masuk ke dalam ruang pengobatan itu, Yutaka Shisido pun masuk, tetapi ia tidak sendiri. Anak dan isterinya berjalan dibelakangnya. Kemudian, Biksu Kei An dan Cheng Yu pun menyusul bersamaan.

Tampak kebahagian terpancar di wajah mereka, terutama Yutaka Shisido dan Cheng Yu tak dapat menahan air mata mereka mellihat Suro sudah dalam keadaan sadar dan tersenyum pada Suro.

"Akhirnya, pendekar Luo sudah sadar. Kami semua sangat mengkhawatirkanmu," Yutaka Shisido berkata dengan tersenyum lebar sembari menyeka air matanya.

"Terima kasih anda telah menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa pada anda," jawab Suro tersenyum, ada sedikit kernyitan ia rasakan ketika pemuda itu mengatakannya.

Lelaki itu mengibaskan tangannya, isyarat bahwa Suro tak seharusnya berkata demikian, "Itu sudah kewajibanku menolong sesama, anda tak berhutang apapun padaku."

Kemudian ia menarik tangan Yan, puteri kecilnya. Dengan sedikit menunduk, ia berkata, "Yan, beri salam sama paman Luo."

Yan mengangguk memandang ayahnya, kemudian ia melangkah mendekati pembaringan Suro dan mengusap punggung tangan Suro.

"Paman Luo, semoga paman cepat kembali sehat, ya. Biar bisa segera pulang ke negeri paman," katanya dengan gaya yang masih polos.

Yutaka Shisido sebelumnya sudah banyak bercerita mengenai hubungannya dengan Suro, sampai dengan dari mana Suro berasal dan keinginannya untuk kembali ke negerinya. Oleh karena itulah Yan bisa mengatakannya sebagai bentuk do'a buat Suro.

Tentu saja, melihat Yan dan apa yang disampaikannya membuatnya begitu terharu sampai-sampai matanya terlihat berkaca-kaca.

"Terima kasih Yan. Yan anak yang pintar. Paman tidak akan melupakanmu," jawabnya sambil menyungging senyum.

Suro berusaha mengangkat tangannya ingin mengelus rambut Yan yang panjang terurai. Tetapi, ia hanya mampu menggerakkannya kurang lebih sejengkal. Oleh karena itu ia cuma bisa mengusap jari-jemari tangan Yan.

"Oh, maafkan paman. Paman Luo ingin sekali mengusap rambutmu dan memelukmu. Tapi paman Luo belum bisa menggerakkan tangan paman," Suro mengatakannya lagi, wajahnya terlihat memelas dihadapan Yan dan tampak merasa menyesal.

"Kalau begitu, biar Yan yang mengusap kepala paman Luo, ya," katanya lugu dengan wajah kasihan.

"Yan, bersikaplah sopan!" Yutaka Shisido langsung menegur Yan ketika tangan puteri kecilnya itu bergerak hendak mengelus kepala Suro.

Yan langsung menghentikan gerakannya sambil memandang ke arah ayahnya. Ia seperti merasa bersalah, tetapi ia juga tak tahu mengapa tindakannya itu bisa dikatakan tak sopan.

Melihat wajah Yan yang seperti disalahkan, Suro buru-buru menyela, "Tidak tuan Yutaka. Anak anda tidak bermaksud tidak sopan. Biarlah ia melakukannya."

Yutaka Shisido langsung terdiam, kemudian tersenyum begitu Yan melihat ke arahnya lagi lalu ia pun menganggukkan kepala sebagai isyarat buat gadis kecil itu.

Gadis kecil itu memandang Suro lagi, dan setelah mendapat isyarat dari Suro, Yan kemudian mengelus kepala Suro dengan tangan mungilnya.

"Oh, Yan. Tanganmu sungguh ajaib. Kepala paman yang pusing tadi sudah mulai berkurang," Suro berkata untuk menyenangkan Yan dengan gaya akrabnya.

Semua yang melihat kelakuan Suro menghibur gadis itu sama tersenyum.

"Benarkah paman?" tanyanya sambil tersenyum lebar, matanya berbinar-binar dan wajahnya langsung terlihat senang bukan main. Dirinya merasa berguna buat Suro.

Suro mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Kalau begitu, jika aku sudah dewasa nanti, aku ingin seperti paman dan bibi Rou Yi, menjadi tabib dan membantu orang yang sakit seperti paman!" serunya gembira.

Rou Yi langsung membungkuk dan memegang kedua bahu Yan, kemudian berkata padanya, "Kalau begitu, mulai sekarang Yan harus rajin belajar dan berbakti pada ayah dan ibu. Nanti ayah dan ibu akan mencarikan guru buat Yan supaya bisa menjadi tabib."

Senyuman Rou Yi yang cantik dan suaranya yang lembut membuat Yan bertambah mengidolakan gadis itu. Ia langsung mengangguk dengan semangat.

"Hei, Yan," Li Yun menyela setelahnya, "Apa Yan tidak ingin juga seperti bibi Li Yun?"

Yan langsung menoleh pada Li Yun, ia sepertinya tahu untuk menyenangkan orang lain. Maka ia pun berkata.

"Tentu saja ingin, seorang tabib harus bisa juga beladiri, apalagi Yan anak perempuan. Jika sudah dewasa nanti wajah Yan cantik seperti bibi Li Yun dan bibi Rou Yi, pasti banyak anak laki-laki yang akan menjahili Yan," jawaban Yan yang lugu langsung membuat seisi ruangan tertawa, mereka merasa terhibur dengan kelakuan Yan.

"Ya ampun, Yan... Masih kecil sudah memikirkan itu," Mei Li menjadi tersipu malu mendengar jawaban Yan yang seperti tanpa beban.

"Ah, tuan dan nyonya Yutaka, puteri anda memang pandai memuji orang," Li Yun berkata pada Yutaka Shisido dan isterinya, membuat seisi ruangan kembali tertawa.

"Aku rasa sekarang tidak ada lagi yang akan menghalangi perjalananmu pulang. Terus terang kami di sini sangat senang sekali. Tentunya, kami akan selalu merindukanmu," biksu Kei An mengatakannya sambil tersenyum.

Ada ketulusan bicara tergambar dari wajah Biksu kepala itu, membuat Suro terharu. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa hormatnya pada Biksu Kei An. Jasanya pada biksu kepala utama itu tak akan mungkin ia balas.

"Saya sangat-sangat berterima kasih atas bantuan biksu kepala dan juga saudara-saudara di kuil Shoulin ini. Saya tidak akan bisa membalas kebaikan anda semua. Semoga Allah SWT melindungi saudara semua," Suro mengatakannya sambil posisi berbaring, tampak ia mencoba memiringkan kepalanya ke arah orang-orang yang datang menjenguknya.

Biksu Kei An menunduk dengan dua telapak tangannya menyatu di depan dadanya.

"Bertemu dengan anda dan keluarga Yang, sungguh bagi kami sudah merupakan anugerah buat kami. Itu sudah cukup," jawabnya.

Suro mengangguk pelan.

"Pendekar Luo, tak perlu buru-buru. Istirahatlah sampai kesehatanmu betul-betul pulih. Mengenai keberangkatan masih ada waktu. Jika tidak sempat dalam bulan ini, masih ada beberapa bulan kedepan," Cheng Yu menyampaikan kepada Suro agar ia tidak merasa dikejar-kejar waktu untuk kembali ke tanah airnya.

Suro kembali mengangguk.