webnovel

Tujuh puluh empat

Hari sudah siang ketika Aaron dan Digta bangun. Keduanya tergeletak di sofa ruang tengah, tidur berdampingan dan bahkan berpelukan. Sungguh pemandangan yang menggelikan.

"Alea, where are you honey?" teriakan Aaron yang pertama kali terdengar. Dia tidak mendapati istrinya dimanapun, ataupun anaknya. "Timothy."

Dengan langkah yang sedikit goyah, Aaron berjalan menuju dapur. Tenggorokannya terasa sangat kering, bahkan sakit. Ah, efek mabuk memang menyebalkan. Tubuhnya terasa sangat dehidrasi. Tapi dia tetap tidak akan menolak bila ditawari minuman beralkohol. Sangat membuatnya kecanduan.

"Kemana yang lainnya?" Digta yang juga sudah terbangun segera menghampiri Aaron, merebut gelas minumnya dan menghabiskan isi gelas itu.

Keduanya merasa heran. Kemana anggota keluarganya? Bahkan Troy yang katanya sudah mengambil libur juga tidak tampak. Karena Troy selalu bangun pagi dan menikmati matahari kalau sedang libur. Yeah, sampai keduanya tersadar bahwa sekarang lebih dari pagi. Ini sudah siang. Cukup siang karena jam makan siang pun sudah terlewat. Pukul dua.

Setelah penglihatan Digta mulai jelas, dia meraih ponselnya, memeriksa pesan ataupun panggilan yang terlewatkan. Beberapa kali panggilan tak terjawab dari Troy, dan juga Mr. Khan. Ketika membuka pesan, dia menemukan pesan dari Khan.

'Kalau sudah sadar tolong segera hubungi saya. Ini penting.'

Baru dering kedua ketika Khan mengangkat telepon Digta.

"Ada apa?"

"Anda dimana?"

"Khan, jangan penjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

"Mr. Darren kecelakaan. Beliau ada di PA Hospital sekarang."

"WHAT? Khan ini nggak lucu."

"Saya tidak melucu."

"Gimana keadaan dia?"

"Lebih buruk dari dugaan."

Tut tut tut tut.

Seketika Digta melemparkan ponselnya dan langsung berganti baju. Dia bahkan tidak mempedulikan Aaron yang kebingungan melihat tingkah Digta. Tanpa banyak kata, Digta langsung menarik tangan Aaron, menumpahkan gelas yang sedang diminumnya.

"Kita mau kemana?" tanya Aaron yang penasaran.

"Kamu yang nyetir. Kita ke PA Hospital." dengan sigapnya Aaron menerima kunci mobil yang dilemparkan Digta.

Tanpa banyak tanya, Aaron melajukan mobil menuju tempat yang disebutkan oleh Digta. Rumah sakit? Siapa yang sakit?

Banyak pemikiran yang berputar di kepala Aaron. Beberapa malah hal-hal yang mengerikan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan menghilangnya anak dan istrinya? Nggak mungkin, dia yakin 100% kalau keluarga kecilnya baik-baik saja.

"Digta, answer me. Whats going on?" Aaron tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya, hingga tanpa sadar dia menggunakan nada tinggi itu,

Namun Digta masih bertahan dalam diamnya. Bahkan setelah sampai di rumah sakit, dia langsung berlari menuju IGD. Mencari sosok yang dikenalnya untuk minta penjelasan yang lebih jelas.

"Apa maksud kamu?" Digta langsung menyambar tangat Khan, menariknya menjauhi kerumunan.

Akhirnya Khan sekarang memiliki teman. Jujur saja, menunggu lebih dari 8 jam tanpa ada yang menemani itu sangat tidak nyaman. Bukan menunggunya, tapi situasinya. Dia memang sangat terbiasa menunggu lama selama bekerja, tapi kali ini dia menunggu dalam keadaan yang berbeda. Menunggui kapan bosnya akan membuka mata.

Perlahan Khan mengajak Aaron dan Digta ke dinding kaca. Dimana mereka bisa melihat tubuh yang berbaring didalam sana. Suara mesin masih berbunyi.

Reaksi keduanya adalah terkejut. Itu pasti.

Aaron yang tidak percaya langsung menjatuhkan dirinya di kursi tunggu yang ada di sana. Dan Digta hanya bisa mengacak-acak rambutnya dan mondar-mandir di depan kaca.

"Kenapa bisa? Semalam dia baik-baik aja."

Tak ada yang berkata. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Dokter Thompson yang menangani Troy keluar dari ruangan. Beliau bersama dengan perawat baru saja memantau keadaan Troy. Langsung diserbu oleh tiga orang laki-laki yang menunggui Troy.

"Kita hanya bisa menunggu sampai dia sadar. Untuk sementara ini pasien masih dalam pengaruh obat bius." jelas sang dokter.

"Gimana dengan cederanya?"

"Kaki dan beberapa tulang rusuknya patah, tapi itu akan segera pulih. Yang sedikit parah adalah kepalanya. Cedera kepala selalu mendapat perhatian lebih. Kita berdoa saja agar pasien segera sadar."

Lalu Dr. Thompson meninggalkan mereka.

Penjelasan macam apa itu? Kenapa bisa terjadi seperti ini?

Ketiganya hanya bisa terduduk lemas di kursi pengungjung. Menanti dan berdoa agar Troy segera lekas sadar.

"Apa kamu udah ngasih tahu Mama?" Mama yang dimaksud oleh Aaron adalah Mrs. Darren.

Khan menggelengkan kepalanya tanpa berkata. Meski begitu, baik Aaron maupun Digta memahami kenapa Khan belum memberitahu beliau. Iya, Mrs. Darren memang tipikal orang yang heboh. Tentu saja berita perihal Troy kecelakaan akan membuat gempar seluruh Nusantara. Mengacaukan keseimbangan Yin dan Yang.

Diantara mereka bertiga, Aaron yang terlebih dahulu menyadarkan diri dan melakukan apa yang harus dia lakukan. Oke, pertama dia harus melepon sang istri. Tidak menjelaskan secara rinci, tapi dia tetap mengatakan yang sebenarnya. Selain itu, dia juga menyuruh Alea untuk kembali sesuai jadwal ke Indonesia. Agar Aaron tidak perlu memikirkan krluarganya disini dan bisa fokus mengurus Troy.

"Nanti malam aku antar kalian ke bandara. Jangan khawatir, oke." ucap Aaron sebelum menutup panggilannya.

Apa langkah selanjutnya? Entah lah, Aaron belum bisa memikirkannya. Otaknya masih belum bisa diajak kompromi. Bertia ini butuh usaha ekstran untuk bisa dicerna otaknya yang rapuh.

...

Jadwal periksa Freya hari ini sedikit ramai. Jovita ngotot bahwa dia ingin melihat calon ponakannya yang tampan, meskipun belum ada yang tahu jenis kelamin sang bayi. Ditambah Fritz yang selalu gembira bila mengetahui jadwal periksa Freya. Dan disinilah mereka sekarang. Tiga orang memasuki ruang periksa dokter dan dua orang pengawal yang menjaga di depan pintu. Terlalu berlebihan untuk ukuran pemeriksaan kehamilan ke dokter.

"Bayi sudah berusia 18 minggu. Tangan dan kakinya sudah terbentuk dengan sempurna. Detak jantungnya juga bagus. Tapi berat badan bayi masih kurang." penjelasan dokter membuat ketiganya memperhatikan dengan seksama.

"Apa itu berbahaya?" tanya Fritz antusias.

"Tidak berbahaya, tapi diusahakan agar beratnya normal." senyum cerah sang dokter terkembang.

"Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" kali ini Jovita yang tidak kalah antusias.

"Sayangnya sang bayi masih merahasiakan. Jadi belum tampak."

Ketiganya tampak puas dengan penjelasan sang dokter. Setelah menerima penjelasan tentang resep yang kali ini akan didapat Freya, mereka pulang dengan hati gembira. Lebih gembira dari sebelumnya.

Semua baik-baik saja, batin Freya. Dan ini adalah buah perjuangan dirinya yang terus berusaha sebaik mungkin untuk mengatasi keluhan yang biasa dialami oleh ibu hamil di semester awal.

Meski Freya bahagia dengan hidupnya sekarang, tak dapat dipungkiri tetap ada kekosongan di dalam hatinya. Dia tetap mendamba sosok laki-laki yang menjadi ayah dari anaknya. Freya menyadari, bahwa hidup tanpa orang tua itu tidak enak. Dan dia juga tidak mau anaknya mendapatkan pengalaman yang serupa.

Penyesalan ini terus menghantui Freya belakangan ini. Iya, dia menyesal telah meninggalkan Troy hari itu. Karena dia sekarang sangat membutuhkan kehadiran suaminya itu. Hal yang tidak akan pernah dia ungkapkan kepada siapapun, karena semua yang telah dia lakukan atas pilihannya sendiri. Entah itu meninggalkan Troy ataupun mempertahankan anak Troy.

Tak ada yang menyadari perubahan suasana hati Freya, karena dia menutupinya dengan sangat baik. Pura-pura tertidur untuk menyembunyikan semuanya.

Andai saja dia adalah seorang aktris, tentu bakat aktingnya akan sangat dipuji oleh orang-orang. Sayangnya, dia hanyalah orang biasa yang penuh dengan masalah dan lika-liku hidup yang rumit.