webnovel

Tigapuluh enam

Enam bulan troy bertahan dengan semua usahanya memenuhi permintaan Fenita. Makan teratur. Berbahagia. Menikmati hidup. Seolah kehudupannya tidak pernah terkena badai.

Semua usaha dia lakukan. Tapi kembali lagi kepada perkataan Digta bahwa Troy sehat secara fisik namun sakit secara mental. Iya, dia juga menyadari itu. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa agar semuanya kembali seperti sedia kala. Penyesalannya yang datang terlambat membuat dirinya tidak tahu harus bagaimana bertindak.

Oh, bagaimana cara dia tetap waras saat ditinggal Belle dulu?

"Bagaimana Troy?" pertanyaan itu selalu terdengar di telinga Mr. Khan belakangan ini. Pertanyaan sederhana namun sangat sulit untuk menjawabnya.

"Masih sama seperti biasanya, Ma'am." jawab Mr. Khan kepada Vanesa Darren.

Vanesa menyadari anaknya terlalu banyak berpikir, sehingga dia bahkan lupa bagaimana harus bertindak. Menyelamatkan hubungannya dengan perempuan yang kini mungkin sudah meninggalkan masa lalunya yang suram bersama Troy.

Terkadang Vanesa ingin meneriaki putranya untuk mencari Fenita. Melakukan sesuatu yang lebih berguna ketimbang hanya duduk di kantornya yang bahkan tidak melakukan apapun. Tapi terkadang dia juga merasa kasihan dengan putranya. Bagaimana dia terus berusaha agar tampak baik-baik saja diluar, tidak menampakkan sisi rapuhnya kepada semua orang. Seolah dirinya adalah batu karang yang tak terpengaruh oleh hempasan ombak.

"Awasi terus, jangan sampai dia berbuat sesuatu yang bodoh."

Mr. Khan hanya menganggukkan kepalanya dan segera undur diri. Kembali ke tempatnya berada sebelum bosnya menyadari bahwa dia tidak ada ditempat yang seharusnya.

Siang ini, agenda Troy hanya bertemu rekan bisnis dan meluangkan waktu untuk makan siang bersama. Dalam hati, Troy lebih memilih untuk melewatkan makan siang di kantor, menikmati makan siang sendirian dan segera kembali bekerja. Namun keinginan itu ditahannya, mengingat ini bagian dari ramah tamah bisnis yang bisa saja mempengaruhi keputusan besar yang menyangkut masa depan perusahaan.

Disinilah dia, di restoran dimana Fenita pernah bekerja. Ah, sesuatu hal kecil selalu terselip dipikirannya kalau menyangkut gadis itu. Restoran yang masih berada di bawah korporasinya. Menunggu tamu yang dijanjikan untuk melewatkan makan siang bersama.

Dari pintu utama, terlihat dua orang lelaki memasuki restoran. Keduanya mengenakan setelah jas yang berwarna sama, abu-abu. Dan keduanya sudah sangat dikenal oleh Troy rupanya. Fritz Mayer dan sahabatnya, Aaron.

Apa-apaan ini? Kenapa mereka bisa datang bersamaan? Pertanyaan bergulir di kepalanya.

"Maaf kami terlambat." sapaan Aaron terdengar renyah ditelinga Troy.

"Lama tak berjumpa, Mr. Darren." bahkan Tuan Mayer pun ikut menyapa Troy dengan senyuman penuh.

Troy menyalami kedua tamunya dan lalu duduk. Acara makan siang pun berjalan lancar, tak ada hambatan ataupun interupsi dari siapapun.

"Aku permisi sebentar." Aaron lalu meninggalkan keduanya.

Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya Troy membuka suara. "Dimana Fenita?"

"Maksud anda?" Tuan Mayer menjawab pertanyaan Troy dengan pertanyaan.

"Aku tidak dalam situasi bercanda, Tuan Mayer." Troy berusaha menahan amarahnya dengan menggenggam tangannya kuat-kuat.

"Aku juga serius. Siapa yang anda maksud denga Fenita? Karena aku tidak merasa mengenal seseorang bernama Fenita."

Mendengar jawaban Tuan Mayer membuat Troy ingin melayangkan tinju ke wajah mulus itu. Tapi dengan penuh kesabaran dia menahan semua itu.

"Dimana istriku?" dengan suara rendahnya, Troy seolah ingin memohon kepada orang yang ada dihadapannya.

"Istri? Bukannya kontrak kalian sudah habis. Kenapa anda masih memanggil Freya dengan sebutan istri? Rasa-rasanya itu tidak sopan." mendengar perkataan Tuan Mayer, Troy seperti terkena sengatan listrik.

Bagaimana dia tahu tentang kontrak pernikahan itu? Seberapa jauh hubungan Fenita dan Tuan Mayer berjalan? Dan kenapa dia memanggil Fenita dengan nama Freya?

"Kontrak kami memang sudah berakhir, tapi kami belum berpisah." dengan mantapnya Troy menjawab.

"Apapun itu, akan lebih baik kalau kalian berpisah. Biarkan Freya melanjutkan hidupnya."

Tuan Mayer bangkin untuk meninggalkan Troy. Sebelum pergi, Tuan Mayer menambahkan, "Freya tetap akan bisa hidup berkecukupan tanpa sokongan finansial dari keluarga Darren. Jadi jangan khawatir."

Lalu Tuan Mayer meninggalkan Troy yang masih kebingungan mencerna perkataan Tuan Mayer. Ditambah lagi, pemuda itu belum menemukan jawaban tentang keberadaan istrinya. Tak mau menyerah begitu saja, Troy bangkit dan mengejar orang tersebut.

"Aku mohon, beritahu aku dimana istriku. Ada hal penting yang harus aku katakan." ini usaha terakhirnya. Troy sadar bahwa Tuan Mayer adalah satu-satunya kunci agar dia bisa menemukan istrinya.

"Katakan padaku, aku akan menyampaikannya tanpa penambahan ataupun pengurangan." dengan wajah tenangnya Tuan Mayer berkata. Menatap mobil yang sedang menunggunya.

"Ini hal yang pribadi. Aku ingin mengatakannya secara langsung." Troy masih berkeras.

"Kalau begitu saya undur diri." seorang petugas membukakan pintu belakang mobil Tuan Mayer.

Pada saat itulah Troy menangkap sosok familiar yang duduk di kursi belakang selain Tuan mayer.

"Fenita." Troy terpaku ditempatnya. Begitu mobil itu melaju, dia baru mendapatkan kesadarannya.

"Fenita tunggu." sekuat tenaga Troy berusaha mengejar mobil Tuan Mayer namun tak terkejar. Mobil melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan kecepatan lari seorang Troy Mikhaila.

Terengah-engah, Troy menghentikan larinya. Dia berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan diri bahwa apa yang dia lihat tadi adalah benar-benar Fenita.

"Troy, kenapa kamu disini?" suara Aaron terdenga ditelinganya, sedikit khawatir. Dia yang tidak mendapati kedua rekannya makan siang segera keluar mencari keberadaan keduanya. Terkejut melihat Troy berusaha mengrjar sebuah monil yang dikrnalinya sebagai mobil Tuan Mayer.

"Fenita." dengan sisa napasnya, Troy menyebut nama itu.

"Fenita?" Aaron tidak memahami maksud perkataan sahabatnya.

Troy mnganggukkan kepalanya, berusaha mengumpulkan udara agar memenuhi paru-parunya. "Iya, Fenita. Aaron, dimana Tuan Mayer tinggal? Aku harus menemuinya."

"Wo wo wo, sabar boy. Cerita perlahan." Aaron mencoba menarik benang merah untuk kejadian yang baru saja terjadi.

"Fenita ada di mobil Tuan Mayer." hanya itu yang diucapkan Troy.

Aaron sedikit memikirkan perkataan Troy. Bagaimana mungkin Fenita bisa bersama dengan Tuan Mayer? Apa benar Fenita telah memutuskan untuk menyerahkan sisa hidupnya bersama Tuan Mayer? Itu terdengar tidak masuk akal.

"Kamu yakin?" Aaron mengajukan pertanyaan itu untuk memperjelas keadaan. Karena bisa saja Troy hanya melihat orang yang mirip dengan perempuan yang dirindukan temannya itu.

Troy dengan mantapnya menganggukkan kepala. "Yakin. Kasih tahu aku dimana Tuan Mayer tinggal."

"Well, itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab." Aaron berpikir bagaimana dia harus menjawab pertanyaan sahabatnya. "Aku bisa memberitahu, tapi itu bukan hal yang tepat. Sangat tidak sopan memberi alamat orang lain tanpa meminta ijin."

Troy dengan penuh emosi mengacak-acak rambutnya, tidak percaya sahabatnya masih memikirkan tata krama disaat seperti ini.

"Aku nggak peduli semua itu. Fenita ada bersama dia dan aku harus menemuinya!" teriakan Troy menarik perhatian para pengguna jalan lainnya.

...

"Kamu baik-baik saja?" tanya Fritz, mengamati ekspresi adiknya.

Keduanya berjalan masuk ke rumah.

Freya menganggukkan kepala dan tersenyum. "Better than before."

Iya, hatinya kini sedikit lega. Ternyata lelaki yang ditinggalkannya beberapa bulan yang lalu tampak sehat. Itu sudah lebih dari cukup baginya untuk melanjutkan hidupnya dengan tenang.

"Kamu mau bertemu seseorang? Atau mau langsung balik ke Canberra?"

"Ini udah lebih dari cukup. Terima kasih Kakak." dengan penuh kebahagiaan, Fenita mencium pipi pemuda itu.

Fritz Mayer tersenyum mendapat perhatian dan kasih sayang dari satu-satunya keluar yang tersisa. Tak ada hal lain yang diinginkannya kecuali melihat adik tersayangnya bahagia.

"Oke, penerbangat terpagi." kata Fritz setelah memeriksa ponselnya. "Istirahatlah, karena besok perjalanan kita panjang."

Fenita menganggukkan kepala dan segera menuju kamarnya.

Meski sudah terbiasa menggunakan identitas barunya, Fenita tetap lebih senang dipanggil dengan namanya yang dulu. Fenita. Karena nama itulah yang mengantarkannya untuk bisa bertemu Troy, suaminya, dan Fritz, kakaknya. Tapi Fenita menghargai kakaknya dan orangtuanya yang telah memilihkan nama cantik untuk dirinya. Freya.

Tapi dengan identitas barunya, sebagai Freya Clarissa Mayer, dia akan membuka lembaran baru dalam hidupnya.