webnovel

Pedang Hijau dan Pedang Hitam, dan murid Tantuni

Kiai Jalal tercengang melihat murid kecilnya, matanya nyalang.

Selang persekian detik, Tantuni yang melihat anak kecil itu terpanggang oleh anak panah langsung melemparkan tongkatnya ke arah si Pemanah.

Suuuut... Sreeb!

Tombak itu tertancab di kepala si Pemanah. Darahnya muncrat melumuri tombak itu, si pemanah langsung terjatuh dan mati.

Gintarto berteriak, "Aaa!!!" pedangnya diangkatnya kembali, dengan cepat posisinya berubah dengan bertempuan lutut, pedangnya itu ditebaskan saat Kiai Jalal sedang lengah.

Namun, dengan sigap Kiai Jalal langsung menahan dengan pedangnya. Pedangnya kembali menyala memancarkan warna hijau.

Gintarto ternsenyum sinis, tangan kirinya di bentangkan. Aku tercengang, melihat pedang yang tergeletak jauh darinya itu melesat degan sangat cepat datang kepadanya.

Sreb!

Pedang Hitam itu menembus perut Kiai Jalal, "Mati kau, Jalal!" Teriak Gintarto dengan gigi yang menggigit.

Darah segar keluar dari perut Kiai Jalal. Kiai Jalal menutupnya dengan tangan kirinya. Dia mundur dengan gontai, langkahnya dibantu dengan pedangnya. Kemudian Kiai Jalal terjatuh dan tergeletak di atas tanah.

Tantuni langsung berlari dan berteriak, "KIAI...!!!" Namun, langkahnya terhenti. Laki-laki pengguna pedang itu menebas punggungnya, sampai dia ambruk dan tak sadarkan diri, terkapar di tanah, darah dari mulutnya keluar seperti lahar gunung merapi yang mengalir pelan.

Aku langsung terhentak, kaget, ini gila! Drama sialan.

Lelaki pengguna pedang itu berdiri dan berkata, "Hmph. Dasar lemah."

Sret... Sret... Sret...

Semua musuh memanfaatkan kelengahan para santri yang tidak kuat melihat gurunya terbaring di tanah. Dan mereka dihabisi tanpa melawan, semuanya mati.

Gintarto kembali berdiri, pedangnya disilangkan di hadapan wajahnya, asap itu mengepul tebal, kemudian pedang itu kebali menjadi gelang di kedua lengannya.

Lelaki pengguna pedang itu menghampiri temannya si Pemanah yang sudah terhunus tombak di kepalanya, telah mati. Lalu dia menghampiri Gintarto dan beridir si sampingnya, lantas bertanya "Sekarang apa?"

Gintarto tidak menjawab. Dia berdiri tegap, lalu memejamkan mata, dan tangannya bergerak seperti sedang memasang sebuah pasangan silat, lalu ditutup dengan mempertemukan kedua telapak tangannya, lalu dia berteriak, mulutnya bergerak, dan tiba-tiba tubuhnya mengeluarkan asap hitam. Aku merasakan aura yang mengerikan. Laki-laki pengguna pedang itu pun menjauh dari Gintarto. Sulit dipercaya, dari tubuh Gintarto keluar seokor kelelawar berukuran sangat, sangat besar, dan matanya merah. Kelelawar itu berputar-putar di udara, di atas kepala Gintarto, kemudian dia turun dengan mengepakkan sayapnya pelan-pelan, dan berdiri di samping Gintarto.

"Apakah kau dapat merasakannya?" Tanya Gintarto.

Kelelawar itu mengeluarkan asap tipis hitam dari mulutnya. Asap itu menyebar ke seluruh pesantren.

"Aku tidak merasakan apapun."

Aku benar-benar tidak percaya, kelelawar besar itu dapat beribicara seperti manusia, dan suaranya menyeramkan.

Lukisan merah di langit mulai merambat. Gintarto kembali melakukan gerakan tangannya dan kembali menutupnya dengan mempertemukan telapak tangannya dan dengan sendirinya kelelawar itu masuk ke dalam tubuhnya.

Gintarto membalikan badan dan berkata pada lelaki pengguna pedang, "Pedang Taraka tidak ada di sini!"

Aku mengerti, jadi asap tipis yang keluar dari mulut kelelawar itu untuk melacak keberadaan benda yang mereka cari, Pedang Taraka?

Gintarto memerintah pasukannya untuk balik kanan, dan membawa semua pasukannya yang telah mati, termasuk dengan si Pemanah yang meregang nyawa oleh tongkat yang terhunus di kepalanya.

Dan, mereka pun meninggalkan Warudoyong.

Matahari perlahan naik, setengah tubuhnya telah nampak di balik perbukitan. Santri-santri yang pupus di medan perang semakin jelas terlihat, darah-darah menyelimuti mereka, ada sebagian ada yang tertancab oleh anak panah. Tubuh Tantunti di sampingku bergetar, dan aku pun tak sanggup melihat mayat-mayat yang tergeletak itu.

Cahaya matahari itu menyetuh wajah Tantuni yang terkapar, aku melihat jarinya bergerak. Dia bergerak, dan menggerakkan kepalanya untuk melihat gurunya. Dia merangkak dengan penuh rasa sakit, wajahnya meringis, dan dia terus merangkak sampai bajunya terlepas. Dia sampai ke dekat gurunya, dia kemudian duduk dengan melipat kedua kakinya ke belakang lalu mengangkat tubuh gurunya ke atas pangkuannya. Dia menggerak-gerakan tubuh gurunya. Tidak ada reaksi dari gurunya itu. Dia menangis, lalu berteriak penuh dengan kesedihan.

Kejadian yang sama persis seperti yang tergambar dalam sampul bukunya.

Sekarang aku mengerti kenapa judul buku itu diberi nama PEMBANTAIAN.

"Aaa....!!!"

Aku berteriak, aku merasa tubuhku di lempar ke dalam sungai.

***

Ketika matahari mulai menyoroti wajah Alex yang sedang duduk dan memejamkan mata menghadap ke air terjun, tiba-tiba tubuhnya dilemparkan oleh Tantuni ke dalam sungai. Alex berteriak, namun tak ada guna, dia masuk ke area air yang dalam. Tubuhnya seakan ditarik ke dalam, lama dia tidak muncul kepermukaan.

Tantuni berdiri di atas batu ke dua itu dengan tongkat di tangannya. Dia memperhatikan gelembung-gelembung di mana Alex di lemparkan.

Alex membuka matanya seraya menahan napasnya. Di saat membuka matanya yang terlihat bukan hanya air sungai yang keruh, tetapi di sana ada bayangan Surya. Bayangan itu tersenyum kepadanya, "Alex..." ucap bayangan itu. Kemudian Alex mengejar bayangan Surya itu, namun ketika akan meraihnya bayangan itu hilang dan berganti dengan cahaya kecil berwarna hijau. Dia mendekati cahaya hiau itu, kemudian menggapainya. Cahaya itu berada dalam genggamannya, lantas dia membuka genggamannya dan menatap cahaya hijau itu yang ada di tangannya. Semakin ia menatapnya semakin cahaya itu menyilaukan matanya. Tiba-tiba cahaya itu merayap dikedua tangannya dengan sangat perlahan. Matanya menyaksikan pergerakan cahaya yang merambat itu, ketika cahaya itu sempurna melapisi tubuhnya, tiba-tiba matanya membelalak dan seketika tubuhnya melesat menembus permukaan, terbang, dan mendarat di batu ke ketiga.

Tantuni menyambutnya, "Ternyata kau selamat."

"Sialan! Kenapa kau lempar aku ke dalam sungai?"

Tantuni berjalan berjalan melewatinya seraya berkata, "Lihatlah tubuhmu."

Alex terdiam, dia melihat tubuhnya dengan perlahan; tangan, badan, sampai kaki, semua luka di tubuhnya hilang, bersih. Dia menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan dirinya kalau itu bukanlah sebuah mimpi.

"Tu-tunggu. Apakah ini bukan mimpi?" Tanya Alex masih belum percaya sembari mengejar Tantuni yang sedang meloncat-loncat kecil dari batu ke batu. Ketika sampai di tepian sungai Tantuni menjawab, "Dua tubuh, apakah masih belum bisa membuatmu percaya?"

"Dua tubuh?" Alex terdiam.

"Ya." Tantuni melanjutkan langkahnya lagi.

Alex sadar, bahwa tubuh Tantuni pernah penuh dengan luka. Dia mengira di dalam kepalanya: kalau tubuhnya sembuh akibat menyeburkan diri ke dalam sungai yang dalam itu. Namun Alex masih tidak yakin, lantas dia mengejar kembali Tantuni yang telah memasuki area pemakaman para santri.

"Kalau memeng benar, kenapa bekas luka di punggungmu tidak hilang?"

Tantuni memberhentikan langkahnya, tanpa menoleh ia menjawab "Pedang itu dilapisi dengan racun, dan racun itulah yang membuat luka ini tidak hilang." Sembari hadir bayangan di kepalanya dengan rasa kesalnya. Setelah menjawab pertanyaan itu, dia mengibaskan bayangan kekesalannya, dan melanjutkan langkahnya.

Alex kembali terdiam, mematung, dan berpikir. Angin kecil tiba-tiba menerpa tubuhnya yang masih basah seperti tikus tenggelam itu, kemudian dia mengibaskan bayangannya, dan kembali mengikuti Tantuni melewati pemakaman para santri.

Di sepanjang langkah dia terus berpikir, setelah melewati gerbang pesantren, Alex mengejar Tantuni dan menghadang Tantuni. Entah apa yang ada dipikirannya, namun sepertinya dia mulai tertarik. Alex berkata, "Aku ingin berlatih denganmu." Seraya menundukan kepalanya.

Namun, Tantuni tidak menjawab perkataan Alex, dia malah berlalu di hadapannya.

Bola mata Alex mengikuti langkah kaki Tantuni yang berlalu dari hadapannya. Tidak putus asa, dia kembali mengejar dan menghadang Tantuni, dan lagi berkata dengan kalimat yang serupa, "Aku ingin berlatih denganmu."

Namun lagi, Tantuni hanya berlalu tanpa menjawab permintaan itu sampai Tantuni masuk ke dalam kobong kembali.

Alex kembali mengejarnya dan menghadangnya untuk yang ketiga kalinya, "Aku inigin berlatih denganmu." Seraya menundukan kepalanya.

Tantuni memandangi Alex yang berdiri menunduk di hadapannya, dia merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Lama Tantuni memandangi Alex. Alex pun mengangkat kepalanya dan melihat wajah Tantuni yang sedikit lebih murung, tidak seperti waktu pertama kali berjumpa. Alex berpikir mungkin karena Tantuni telah melihat kembali kejadian pembantaian itu.

Tantuni melihat bola mta Tantuni, kemudian dia berkata, "Pulanglah... kau sudah sembuh." Kemudian berlalu meninggalkan Alex.

Alex melihat mata Tantuni yang dibalut dengan kesedihan, dia mengikuti, berbalik badan, melihat Tantuni pergi meninggalkan dirinya. Ketika Tantuni lima langkah jauh darinya, dia berkata "Hmph. Lemah."

Tantuni seketika terdiam.

BUK

Dengan sangat cepat Tantuni berbalik badan dan melesatkan pukulan keras ke wajah Alex.

Alex terpental jauh, tubuhnya terguling-guling, sampai terhenti oleh sebuah tihang tempat petromak.

Tantuni mendengus hilang kesadarannya, amarahnya tiba-tiba meletus. Hanya sesaat. Dia kemudian melanjutkan langkahnya menuju kobong. Sedang Alex terkujur tak berdaya.

Ketika Tantuni memasuki kobong, Alex bangun dengan rasa sakit di pipinya. Kepalanya nanar, dia memegang kepalanya, dia kembali ambruk ketika berdiri. Namun, dia tidak menyerah, dia kembali mencoba berdiri sembari memegang kepalanya. Sangat sakit. Sangat pusing. Lalu dia berjalan menuju kobong dengan langkah yang sempoyogan.

Ketika dia sampai di depan pintu kobong dengan lantang dia kembali berkata, "Aku ingin berlatih denganmu." Dia menurunkan lututnya di atas tanah, menundukan kepalanya, dan kedua tangannya diletakan di atas kedua pahanya. Dia menunggu.

Tantuni duduk di meja belajarnya dengan rasa kesal dan amarah, sembari memegang bukunya dengan greget. Masa lalu yang dijumpainya tadi membuat dia tidak bisa menahan emosi. Dia tidak memperdulikan permintaan Alex dari balik pintu. Dia hanya merengut di meja belajar.

Hari semakin naik, dan matahari telah menggantung tepat di puncak kepala. Alex masih duduk di depan pintu kobong, sedangkan Tantuni sekarang telah menyesali dirinya yang tidak bisa menahan amarah dan atas perlakuannya kepada Alex.

Tantuni bangun dari duduknya dan mengintip dari balik bilik, dia melihat Alex masih duduk dan menunduk di depan pintu depan pintu kobong. Dia menarik napas, menenangkan diri. Waktu Zuhur telah masuk, beranjak mengganti pakainnya, menggunkan sarung, baju koko berwarna putih, dan peci berwarna hitam. Sebelum keluar pintu, kembali dia menarik napas. Ketika dia membuka pintu nampak jelas Alex sedang menunduk, dia terdiam sejenak memandang Alex, tetapi setelah itu pergi meninggalkan Alex; berlalu melewatinya.

Walau pun hanya dilalui, tetapi Alex tidak mengangkat kepalanya.

Ketika Tantuni kembali dari surau, dia dapati Alex masih duduk dan menundukan kepalanya. Menolah hatinya untuk peduli, dia hanya berlalu dan masuk ke dalam kobong tanpa berkata sepatah pun kepada Alex.

Tantuni duduk di depan meja belajar dan kembali memandangi bukunya sendiri. Meraba sampul buku itu.

Asar menjelang, Tantuni kembali keluar dari dalam kobong untuk menunaikan salat Asar, tanpa memperdulikan Alex yang terlihat mulai lemas, karena belum meraskan makan dan minum hari itu. Dia hanya berlalu, tanpa meningalkan sepatah kata pun.

Namaun, ketika pulang dari surau, ketika ia melintas melewati Alex dia berhenti, "Mau sampai kapan kau di sana?"

Alex tidak menjawb.

Tantuni kembali masuk dan menutup pintunya. Sesekali ia mengintip dari sela-sela bilik, ada rasa khawatir di dalam dirinya.

Menjelang Magrib. Lalu Isya. Tantuni hanya kembali berlalu melewati Alex tanpa berkata apapun, dan menutup pintu kobongnya, sedang Alex masih duduk berlutut dan menunduk, dengan keadaan lebih lemas.

Angin Bumbulang kembali berperan dengan dinginnya. Tempat Pesantren yang berada di dekat sungai, dan bibir hutan itu menjadikan alasan lain kenapa udara malam di bumbulang lebih dingin.

Alex masih duduk dan menunduk di depan pintu, dia tidak peduli dengan rasa dingin yang menusuk-nusuk tubuhnya itu. Meskipun lemah, dia tetap kokoh dengan permintaannya.

Tantunti tetap mengkhawatirkannya dengan masih sesekali melihatnya dari balik sela-sela bilik. Namun, dirinya masih merasa ragu pada dirinya sendiri. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur jerami itu, dan menatap langit-langit bilik yang telah tua itu. Lampu kuning temaram itu membuat dirinya semakin lirih. Dia pun memejamkan matanya dan terlelap.

Tantuni kembali melihat gurunya yang ditusuk oleh Gintarto dalam mimpinya.

DUARRR....

Suara gledek yang sangat keras dengan kilatan yang menyambar di tengah malam. Membuat Tantuni terhentak terbangun dari tidurnya. Napasnya menderu dan dadanya tersengal-sengal penuh dengan ketakutan. Dia mengepalkan tangannya dan menghantamkannya ke atas kasur jerami itu. Dia mendengar suara hujan yang deras, kemudian dia beranjak dari duduknya dan kembali mengintip Alex dari balik sela-sela bilik: Alex masih duduk berlutut, menunduk, dan basah kuyup.

Tantuni menatap Alex, dia melihat Alex seakan terdapat kemenarikan dalam diri Alex. Deru napasnya mereda, dia memlingkan pandangannya, dan kembali menjatuhkan badannnya ke atas kasur jerami itu, lalu memejamkan matanya kembali.

Menjelang subuh, di dalam tidurnya Tantuni bertemu dengan Kiai Jalal. Tubuh Kiai Jalal itu dibalut oleh cahaya hijau penuh dengan kedamaian. Kiai Jalal hanya memandangi Tantuni tanpa berkata sepatah pun, dan Tantuni pun tak dapat meraihnya juga mendekatinya, hanya dapat memandanginya.

Ketika Tantuni memaksakan dirinya untuk mendekat dan menggapai Kiai Jalal itu, tiba-tiba Kiai Jalal itu lenyap, cahaya hijaunya membias lalu hilang. Dia mencari-cari ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, lalu berteriak memanggil-manggil: "Kiai! Kiai! Kiai!"

Dia terhentak bangun dengan kehampaan, dia merenunng.

Namun, setelah beberapa menit, dia tersenyum, hatinya mekar, dia sadar karena dirinya bertemu dengan gurunya walau hanya lewat mimpi.

Tantuni beranjak dari kasurnya, dia tergopoh-gopoh mengambil sesuatu dari dalam lemari kayunya, kemudian membuka pintu kobongnya, dan menjatuhkan apa yang diambilnya itu di depan hadapan Alex: sebuah pakain serba hitam dan sebuah ikat kepala. Pakaian Tantuni dulu ketika berlatih silat.

Tantuni berkata di hadapan Alex, "Aku tidak tahu maksud Tuhan mengirimkanmu kepadaku untuk apa... tapi mari kita berlatih."

Dari balik menunduknya dia tersenyum menang; kemudian mengangkat kepalanya dan "Ya!"