webnovel

Bab 33

"Baiklah, kita persembahkan bintang tamu panduan suara dari anak didik Treas yang berbakat pada tahun ini," kata si pembawa acara dengan ceria, ke sepuluh anak di depan pun mulai bernyanyi serempak.

Saat sebagian besar orang mengambil momen dengan merekam, Belle hanya melongo, terlalu bangga pada William yang begitu cepat tumbuh. Semuanya bernyanyi dengan tepat, bertemakan persatuan dalam sebuah perbedaan. Yakni mengingatkan pada kita semua betapa pentingnya perdamaian agar saling menghargai, memahami, serta menerima segala yang bertentangan.

"Seperti kisah cinta seorang paman tua dengan gadis seumur jagung, mereka memang berbeda, namun umur tidak membuat keduanya untuk berpisah."

Paman ...

Spontan Belle menekap mulut saat menangkap paman Marlon datang membawa sebuket bunga, dia tidak pernah menduga rupanya lelaki itu telah merencanakan sesuatu. Air mata Belle meruah tumpah. Terharu. Seaaat anak-anak berhenti bernyanyi, semua orang sontak bertepuk tangan untuk mereka sekaligus objek langka yang perdana terjadi di acara sekolah.

"Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku, dan menerima diriku apa adanya tanpa merasa malu," ujar paman Marlon sembari berlutut di hadapan Belle, menunduk dalam.

"Ya, Paman, aku juga sangat berterima kasih padamu karena sudah bersedia mencintaiku yang banyak melakukan kesalahan-kesalahan di tempo lalu," jawab Belle, mengambil sebuket bunga, kemudian menuntun beliau bangkit.

"Kumohon jangan pergi lagi," lirihnya sambil menatap sepasang bola mata milik Belle yang tampak berbinar.

"Tidak lagi, aku janji."

Orang-orang bertepuk tangan meriah, bersamaan dengan Marlon menghela tubuh Belle ke dalam pelukan hangat. Termasuk anak mereka yang ternyata juga bekerjasama oleh sang Daddy, di atas panggung William sangat heboh. Belle membalas pelukan lelaki tua itu tak kalah erat, air matanya luruh, dia tidak pernah berpikir paman Marlon dapat seromantis ini bahkan sanggup mengakali dirinya semalaman penuh.

"William sayang Mom, dan Daddy." Teriak William dari atas panggung.

Semua seakan berjalan lambat sesaat William berlari ke arah mereka, anak itu tampak berlari keras namun dari pandangan Belle malah kebalikannya bahkan sama sekali tidak bergerak. Di mana pengelihatan Belle mulai samar hingga seluruhnya kosong dan gelap.

Gadis itu pingsan.

Beruntung Marlon ada di sisinya, saat tubuhnya oleng sehingga tak lagi bisa menjaga keseimbangan, dia langsung sigap menopang tubuh limbung Belle. Melihat ibunya dibopong William pun menangis, di samping itu ada Barbara yang berusaha menenangkan. Mereka meninggalkan acara yang tetap jalan, dengan duduk di rumah sakit sekolah.

Menunggu informasi dari dokter.

"Tuan Marlon," panggil dokter wanita yang baru keluar dari ruangan Belle.

"Ya, bagaimana keadaan istriku?"

"Ah, tidak, tak perlu cemas, istrimu dalam keadaan sangat sehat. Bahkan dirinya membawa kabar baik untuk dirimu, dia sedang mengandung."

Serius? Terima kasih Tuhan. Spontan kedua lutut Marlon melemas, dirinya berlutut dan memanjatkan syukur.

Setelah puas bersyukur Marlon lantas berlari menemui Belle, mendekapnya kencang tanpa berkata terlebih dulu. Sebagai ungkapan rasa bahagia yang tak ada tandingannya lewat pelukan. Belle sempat kebingungan, saat lelaki itu mengelus perut ratanya barulah dia mengerti kenapa beliau demikian. Sama seperti paman Marlon dia juga sangat terkejut, luar biasa gembira.

"William akan punya adik."

"Kau bahagia?"

Belle mengangguk antusias.

Dan ketika paman Marlon menghela wajah Belle lebih dekat, menyatukan bibirnya pada bibir merah istrinya, di ambang pintu Barbara mengajak dua bocah bersamanya untuk menutup mata menggunakan kedua tangan.

***

[ 1 bulan kemudian ]

Entah perasaan Belle saja paman Marlon berubah menjadi overprotektif, apapun yang ia lakukan selalu mendapat perhatian dan peringatan. Seperti saat ini, Belle tengah memasak di dapur saja dipelototi Marlon tanpa berkedip. Jujur, Belle sendiri sampai merinding, bahkan dirinya takut jika kedua

mata pamannya itu keluar dari tempatnya.

"Paman, bisakah kau menungguku di depan? Aku takut melihat matamu yang seakan-akan hendak menelanku."

"Mana mungkin aku tega menyantap istri yang sangat kucintai."

"Aku tidak sedang bercanda, Paman."

Belle menatap Marlon tajam, menancapkan pisau pada dada ayam di depannya, lalu dicabik-cabiknya asal. Terus terang, Belle mengerti jika Marlon sangat mengkhawatirkan dirinya beserta calon anaknya. Akan tetapi bagi Belle itu tidaklah wajar, apalagi dirinya masih cukup sehat untuk memasak di dapur. Apakah Marlon pikir seorang Belle masih anak kecil? Suka melakukan kesalahan dan sering ceroboh.

Oh, tidak, Isabeau Chambell sudah memiliki anak, bahkan mengurusnya dengan baik.

"Begitu juga aku, sungguh tidak sedang bercanda dalam memperingatimu, Bell." Marlon mengeram marah, semampunya untuk tidak terpancing emosi melihat ulah Belle yang mencincang ayam.

Seolah-olah ayam itu adalah Marlon.

"Kau berlebihan, Paman! Kenapa kau suka sekali berpikir panjang dan suka berlebihan. Padahal, tentu kau bisa melihatnya sendiri, kalau aku di sini sangat sehat dan mampu memasak."

"Ya, sudah, terserah padamu, Bell. Kau masih sangat kekanakan dan masih sulit diatur." Tandas Marlon dengan wajah merah padam, lantas pergi meninggalkan dapur.

Dada Belle bergemuruh, napasnya naik turun menahan gejolak panas yang memuncak. Memegang perut bawahnya, air mata Belle pun luruh. Ternyata kehamilannya kali ini tidak membuat Marlon semakin memahami apa yang Belle inginkan, tetapi sebaliknya. Sikap ambisius Marlon selalu saja menekan Belle, dengan seluruh peraturan yang beliau tetapkan. Setiap kali Belle memberontak, lelaki itu beralasan karena cinta dan sayang.

Hati Belle sakit, sangat sakit, dan yang lebih membuatnya kecewa Marlon mengungkit kembali kesalahan Belle di masa lalu. Menyebutnya kekanakan, dan terus menerus mengklaim dirinya sebagai istri yang sulit diatur.

"Kau bisa melanjutkannya, Meta," kata Belle kepada wanita setengah baya yang berdiri tidak jauh darinya.

Wanita itu sejak tadi hanya diam menonton, tanpa berkomentar sedikit pun.

"Ba-baik, aku akan memasak yang enak."

Setelah mencuci tangannya, Belle langsung melangkah keluar dapur. Memang seharusnya Belle yang mengalah, karena jika menentang peraturan Marlon pasti akan menambah masalah. Untuk memenuhi tubuh dan pikiran yang sehat Belle tidak ingin bersiteru panjang, apalagi mereka baru saja berdamai.

"Mom, William pulang." Suara nyaring khas anak kecil itu menyambar telinga Belle, yang hendak menuju kamar.

Mengetahui kedatangan anaknya buru-buru Belle menghapus air mata yang mengalir.

"Uhh, anak Mommy yang paling tampan sudah pulang." Belle berjongkok, lalu melebarkan kedua tangannya untuk menyambut William yang berlari.

Cup! Dengan penuh cinta William mencium kedua pipi Belle, dan anak lelaki itu tertawa.

"William ingin memberi kabar gembira pada Mommy."

"Oh, ya, apa itu?" tanya Belle antusias.

"Mulai hari William sudah memiliki kekasih."

Astaga! Dengan wajah kaget Belle menatap anaknya William, perutnya tergelitik geli. Sungguh perkataan William telah berhasil mengubah suasana hatinya dalam sekejap.

"Nyonya Barbara, ibunya kekasih William mengundang kita makan malam, Mom."

"Jadi, kekasih William putrinya Nyonya Barbara?" Dengan bingung Belle bertanya, lebih tepatnya hanya memastikan.

Anak berusia lima tahun itu mengangguk-angguk, senyumannya yang khas mirip Marlon terbentuk sempurna pada bibir mungilnya. Jenaka dan mempesona.