webnovel

Bab 12

Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.

Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.

Seperti ini ...

"Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur.

"Tidak."

"Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus.

"Bell ..."

"Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang jika bisa dibongkar pasang."

Mengangguk sekali, tanpa berkata apa lagi, Marlon berbalik pasrah. Sudah menjadi ke sekian kali Belle membantah. Tetapi, rasanya sangat sulit berkata tegas pada Belle, bukan tak sanggup, hanya saja tidak ingin keras. Di sini Marlon cukup paham jika Belle masih terlalu kekanakan untuk menjadi seorang istri, dan ibu.

Sebagai suami budiman Marlon harus perbanyak sabar. Dengan seiringnya waktu Belle juga akan tumbuh dewasa. Belle tak mungkin seperti ini terus, pikirnya realistis kemudian tersenyum.

"Bell, ayolah, kau tak bisa seperti ini terus, Marlon Exietera suamimu." Tak dapat menahan Ernest angkat bicara, meskipun Belle kerap kali acuh.

"Biarkan saja, Bu, lagian dia itu sudah tua, jadi tidak boleh manja," balasnya memutar bola mata, dia memang agak bengal.

Mengelus dada Ernest menaruh pisau di antara telenan, dan berkata. "Kalau kau suka seenakmu sendiri, maka ibu pastikan Marlon akan kawin lagi."

"Enak saja, aku sudah mengandung, paman Marlon tak boleh ..."

"Sekarang, pergilah, dia sangat membutuhkan bantuanmu." Berhasil! Bujuk rayu Ernest mampu menggugah perasaan gadis itu, meski dengan ogah-ogahan Belle tetap jalan.

Di sepanjang jalan Belle berpikir, terkadang apa yang ibu katakan benar. Dirinya terlampau masa bodoh terhadap Marlon. Sejak awal pernikahan Belle sering menyusahkan Marlon. Dari hal yang terkecil hingga masalah besar, apakah itu salah? Belle menatap punggung Marlon yang menghadap tumpukan pakaian kotor, mengacaknya sesekali.

"Paman, aku bantu cari, yaa," kata Belle sambil datang mendekat, ikut membongkar pakaian, tidak butuh waktu lama menemukan yang dicari.

"Apa dasi yang ini?" tanyanya memastikan, seketika air muka Marlon berubah cerah, menatap Belle sesaat lalu mengangguk.

Sambil mengenakan dasi Marlon terus memandang Belle yang menatapnya tak berkedip, bahkan lelaki itu sengaja memperlambat gerakannya. Seakan tahu sang istri hendak belajar. Kemudian mereka tertawa. Belle jadi tinggal sedikit merapikan, mengecup pipi Marlon sekilas sebelum melangkah mundur.

"Maafkan istrimu yang pembangkang." Belle berkata pelan, nyaris berbisik, Marlon hanya mengangguk paham.

Menunduk dalam Belle mulai berhaluan kala sedih menyergap, menyadari satu kekeliruan. "Kau tidak seharusnya menikahiku, aku sangatlah payah."

Ini anak kenapa? Batin Marlon bertanya-tanya. Aneh melihat sikap Belle yang seakan berdosa.

"Hahaha, sudahlah, tak apa Bell, aku menerimamu apa adanya, bukan karena sikap melainkan hati."

"Kumohon, maafkan aku Paman, aku berjanji akan berubah." Belle masih bersikukuh, membuat hati Marlon semakin bergetar.

Ketika Marlon memegang kedua pundaknya, Belle pun mendongak. Tampak penuh penyesalan di bola mata yang berkabut gelap. Dia masih tak habis pikir atas tingkah istrinya, seperti kalah malu, dan terpojok. Mengusap puncak rambut gadis itu, dengan lembut mereka bersitatap tanpa suara, hanya mata yang berbicara tegas; maaf.

"Maafkan aku yang tidak sempurna," kata keduanya secara bersamaan, Marlon langsung terdiam, Belle menggigit bibir.

Salah tingkah, dan gugup.

"Eum, Bell, aku harus pergi, ini sudah terlambat." Mengangguk sekali Belle melangkah mundur, membiarkan Marlon berlutut. Dengan halus mengelus perutnya seolah-olah berpamitan.

Kegiatan rutin yang Marlon lakukan sebelum pergi kerja, tapi baru kali ini Belle tersenyum bahagia. Mengizinkan si paman berbuat konyol, itu menggelikan.

"Daddy berangkat ya sayang, jangan nakal, nanti pulang kita main lagi." Dengan bangga Marlon mengecup perut besar Belle, lantas bangkit.

Meraih dagu Belle, dalam waktu yang singkat Marlon mencium bibirnya mesra. "Aku tidak mencari yang sempurna, kesempurnaan itu ada karena kita saling melengkapi, bukan karena sama-sama istimewa."

Belle meringis, sungguh, dia sangat terharu. Sedih mengetahui satu fakta bahwa Marlon benar-benar tulus mencintai sementara dirinya tidak. Bahkan hingga sekarang Belle masih keterluan, sebab kata cinta yang Marlon persembahkan belum mendapat balasan. Lidahnya terlalu kelu memantapkan, meski hati sudah merasa Belle tak mampu berterus terang.

Perasaan Isabeau Chambell masih terlihat samar, abu-abu.

"Dan, aku tidak butuh kata cintamu Bell, yang aku butuhkan kehadiranmu di sisiku, itu sudah menjadi bukti kalau hatimu telah menghargai perasaanku."

Belle hanya meringis, sulit berkata-kata.

Mengecup kening Belle yang berkeringat dingin, pun Marlon melanjutkan. "Jangan ikuti egomu, berpikirlah dewasa, lihat aku sebagai suami yang sangat mencintaimu."

Tanpa menunggu jawaban Marlon putar arah, berlalu melewati pintu. Rasanya cukup membuat otak dan hati Belle jungkir balik. Bukan maksud Marlon menekan batin sang istri, mungkin inilah waktu yang tepat. Berbicara serius pada Belle di saat pikiran gadis itu tengah waras. Tidak kekanakan seperti setiap kali mengobrol.

Di detik selanjutnya Ernest bertepuk tangan, turut berbahagia menyaksikan mellow drama di pagi buta. Ternyata Marlon sangat romantis, catat. Ernest mengguncang pundak Belle. Saking kencangnya cepolan gadis itu sampai terbang hingga berantakan.

"Astaga! Paman Marlonmu romantis sekali, Bell, dia seperti aktor di dalam film romantis terpopuler."

"Siapa?"

"Jamie Dornan, pemain Grey di film trilogi bersama Ana, ibu benar kan?"

Sontak Belle berpikir keras, lalu menyangkal cepat. "Tidak, menurutku dia lebih mirip dengan Jack di dalam film Titanic."

"Ah, apapun itu, Marlon sangat romantis, aku tak pernah menduga ternyata menantuku punya bakat terpendam." Wajah Ernest berseri, mengalahi kilau mentari saat terbit.

Sementara Ernest sibuk mencari aktor paling tepat untuk Marlon, enggan menanggapi Belle memilih kembali ke meja dapur. Setelah kejadian tadi Belle jadi ingin menunaikan pekerjaannya. Memasak kesukaan Marlon, dipandu oleh Chef dari YouTube. Belle berinisiatif menebus kesalahannya dengan mengantar bekal pada Marlon, pasti beliau sudah lama mengharapkan dirinya datang ke kantor.

Mengikuti dengan cepat dan tepat, akhirnya pada menit ketiga puluh selesai. Aroma saus kacang yang kental menyambar hidung Belle, hmm harum sekali. Tak ingin berlama-lama Belle pun memindahkan sebagian ke kotak bekal, menatanya dengan cantik, penuh perasaan. Paman Marlon akan senang.

"Ibu, aku akan keluar sebentar, apa kau ingin menitip sesuatu?" tanya Belle saat di ruang depan, Ernest sedang melipat pakaian pilihan untuk calon anaknya nanti.

"Kau ingin kemana?"

"Ke kantor paman Marlon."

"Ah, iya, jangan lupa, aku titip tanda tangan Marlon."

Hah? Belle melongo saat Ernest menghentikan aktivitasnya, hanya untuk sebuah tanda tangan.