webnovel

TERUSIR

"Tuum...tuum...piye kuwi tuuum hu hu hu!" teriak mbah Par memanggil manggil nama almarhumah istrinya disela isak tangisnya.

Di seberang lembah seorang lelaki tua yang sudah bungkuk berlutut menangis sesenggukan melihat tanah ladangnya di obrak-abrik oleh monster mesin yang bernama eskavator. Orang ramai di sekelilingnya hanya berdiri diam tak ada yang berniat memeluk atau sekedar menenangkan si Laki-laki tua. Sambil sesekali menyeka air mata dan wajah dengan sarung lusuhnya, laki-laki itu memanggil-manggil nama Tum.

Kulit hitam keriputnya belepotan lumpur. Rupanya dia tadi baru saja menghadang eskavator agar tidak merusak ladangnya. Dengan badan ringkihnya dia berdiri di depan mesin penggaruk. Sumpah serapah dari mulut tuanya membuat sopir mesin menghentikan laju eskavator.

Beberapa orang kampung berlari mendekat ke arah Mbah Par mencoba membujuk Mbah Par agar menjauh dari area itu. Beberapa orang mencoba menarik tangan Mbah Par tapi tiba-tiba Mbah Par mengamuk dan meninju semua orang yang mencoba menghalangi niatnya.

Mbah Par di semasa muda seorang pendekar silat dan jago kampung. Walau dengan tubuh kurus keriputnya masih sanggup memukul jatuh mereka. Tapi tak lama kemudian datang Pak War saudara laki-laki Mbah Par. Pak War menenangkannya dan mengajaknya menjauh dari lokasi yang akan ditambang.

Mbah Par tiba-tiba meluluh dan ambruk tak sadarkan diri. Tubuh tuanya tak sanggup lagi menghadapi shock luar biasa yang ia hadapi karena tanahnya diserobot orang. Pak War dan beberapa penduduk mengangkat tubuh Mbah Par ke atas menjauh dari area yang akan dibongkar.

Pak War menatap tubuh tua itu dan berusaha menyadarkan Mbah Par. Lalu pandangannya beralih ke sekumpulan monster mesin berwarna kuning menggaruki tanah mengangkat semua tanaman palawija dan padi gogo milik warga. Seperti rambut yang dicerabut dari kepala. Sakit hati Pak War melihat semua kejadian itu. Tak lama Mbah Par siuman dan duduk lemah di tanah. Laki-laki tua itu mengumpulkan kesadarannya dan menoleh ke arah lahan.

"Tuum...tuuum...Tuminah...ancur kabeh Tuuum hu hu hu!" tangis laki-laki itu meratap tak berdaya.

Di mata Mbah Par ada hal tak kasat mata yang orang lain takkan mampu melihatnya. Jauh di kedalaman mata laki-laki tua itu tersimpan kenangan-kenangan yang tersimpan indah. Di lembah yang terbelah oleh sungai yang jernih, membentang tanah pemberian pemerintah ketika transmigrasi bedol desa. Dia bertanam palawija kelapa dan padi gogo.

Setiap pagi berangkat bertemu dengan rombongan gadis-gadis desa yang berangkat mandi dan mencuci baju di sungai. Sambil menyandang cangkul dia sempatkan melirik perempuan-perempuan desa yang lewat di dekat batas kebunnya.

Ada seorang gadis yang menarik hatinya kala itu. Tuminah, gadis sederhana tapi rupawan. Umurnya masih 16 rahun, cuma lulusan Sekolah Rakyat. Namun bagi Par muda sosok Tuminah itu luar biasa. Tidak hanya dari parasnya, kesederhanaannya tapi juga baktinya kepada orang tuanya. Orang tua Tuminah keduanya sudah tua. Ayahnya stroke. Kakak laki-lakinya menjadi TKI ke negeri Atas Angin, bahkan sampai bertahun-tahun tak terdengar kabar.

Setelah 7 tahun kemudian baru terdengar kabar kakaknya sudah dieksekusi oleh pemerintah Atas Angin karena dituduh makar mengibarkan bendera tauhid dan tidak sesuai dengan dasar negara Atas angin. Bahkan jenazah kakaknya tak ada dikirim pulang ke tanah air. Bisa jadi senasib dengan wartawan Kashogi yang mati dimutilasi dan dihancurkan dengan zat asam di negeri Para Petruk.

Tuminah berhenti sekolah dan membantu ibunya bekerja serta merawat ayahnya yang sakit. Terdorong rasa cinta dan kasihan, Par muda meminang dan menikahi gadis itu. Otomatis Par Muda sekarang yang menanggung beban semua keluarga istrinya. Masih terlintas kenangan asyiknya pengantin baru itu makan siang di gubuk kebun. Mereka mancing ikan dan mandi di sungai. Zaman masih orde baru. Bukan orde sontoloyo yang suka ngampretin orang dan memancing ikan di air keruh. Itu bukan tipe Par muda yang asli lugu wong ndeso bukan pencitraan.

Pertanian masih jadi sektor yang menjanjikan bagi petani. Sampai saat perusahaan sawit masuk, Par muda menolak keras lahannya di jadikan sawit oleh perusahaan milik swasta asing. Dia tak sudi, harga dirinya berkata, dia tak ingin jadi kacung di negeri sendiri. Prosesnya tidak berjalan mulus dalam mempertahankan tanah desa.

Perangkat desa mengompori penduduknya agar menjual tanah agar bisa digarap jadi lahan sawit. Biasalah, mereka ingin juga mendapat se sen dua sen untuk memenuhi pundi-pundi mereka sebagai balik modal kampanye jadi kepala desa. Sebagian penduduk desa menjual tanah mereka dengan harga yang hanya sekian rupiah. Tak sepadan dengan kurs mata uang zaman sekarang yang sudah masuk zaman krisis moneter gara-gara George Soros agen Yahudi yang menarik semua dollar dari peredaran tahun 1998. Itulah hebatnya konspirasi kaum Fremasonry. Namun apalah di pikiran Par muda tak kan sampai ke masalah konspirasi semacam itu.

Ketika anak semata wayangnya si Karso lahir, Par masih mengalami masa jaya jayanya. Kebun masih ada, sapi juga banyak. Tapi sejak istrinya meninggal karena kanker tulang dan harus membiayai anaknya si Karso kuliah di kota, sapinya habis dijual. Namun tanah kebun itu masih tetap dipertahankannya.

Sampai suatu hari si Karso yang tak disangka pulang dari kota dan bilang ke bapaknya kalau dia terjerat hutang karena judi. Dia minta bapaknya menjual tanah kebun untuk menutupi semua hutangnya. Mbah Par menolak, dan mengusir Karso yang durhaka itu pergi dari rumah.

Karso duduk termangu memikirkan nasib di warung jablai yang banyak bertebaran di sepanjang jalan transmigrasi. Dia mengelus tangan seorang perempuan muda di sampingnya sambil minum kopi dan mengisap rokok. Biasalah warung jablai macam itu, tidak hanya menawarkan permainan bola sodok, tapi para pelanggan juga bisa short time ala ala warung remang. Mau yang seperti apa dan dimana sesuai tarif. Dijamin aman karena warung di sekitaran desa si Karso ada backing pejabat.

Tak lama datang sosok tambun dengan senyum liciknya. Pak Kades Sangkuni menepuk pundak Karso. Mereka berbincang-bincang membahas resah gelisah si Karso yang sedang pusing mikirin cari duit buat bayar hutang. Pikirannya masih menabrak dinding. Sampai akhirnya dia dapat ide untuk mencuri sertifikat tanah bapaknya atas provokasi pak Sangkuni. Apabila sudah dapat serifikat itu pak Sangkuni akan membantu mediasi penjualan ke pihak perusahaan tambang Basma milik Haji John.

Sudah rahasia umum tambang Batubara ini biar dikatakan punya si ini si itu seakan milik orang pribumi. Padahal kepemilikan saham hampir 60 % dipastikan milik orang asing. Orang pribumi hanya jadi "koordinator lapangan".

Apalagi sejak dibuka kran UU Penanaman modal asing yang membolehkan swasta asing mengelola SDA negeri Masuk Angin ini dari hulu sampai ke hilir. Bahkan anak bangsa seperti terusir dari negeri sendiri. Belum lagi dibuka secara membabi buta TKA si mata sipit masuk dan mengambil alih lapangan kerja. Semua itu juga membuat Karso bingung mencari kerjaan.

Ijazahnya tak laku buat sekedar jadi tukang parkir presiden. Apalagi mau jadi pegawai negeri yang sangat ketat tes masuknya. Bahkan dosennya kemarin bilang bisa-bisa presiden sendiri tidak bisa lulus tes CPNS kalau modelnya kayak gitu. Anak ayam mati di lumbung padi. Namun Karso tak ingin seperti anak ayam model itu. Dia memikirkan bagaimana caranya biar cepet dapat duit. Setidaknya gak selevel koruptorlah yang ngemplang duit rakyat. Dia cuma ingin mencuri sertifikat tanah bapaknya. Itu saja. Masalah neraka atau durhaka itu urusan nanti. Terbahak-bahaklah setan dalam hati si Karso membenarkan pola pikir dungu macam itu.

Karso melakukan niatnya malam itu juga ketika ayahnya sedang ada hajatan di rumah Pak War. Rumah Pak War ada di desa sebelah. Di desa Pak War bahkan sudah mulai eksekusi lahan untuk tambang batubara. Di dekat rumah Pak Liknya itu malah sudah ada lubang menganga hasil tambang. Hujan dua hari berturut-turut menyebabkan banjir dan longsor seminggu yang lalu. Tapi Pak Liknya itu tak ada niat untuk pindah.

Karso pikir kenapa begitu bodoh Pak Liknya itu. Tidakkah dia akan dapat duit yang banyak dengan menyerahkan saja lahan dan rumah untuk ditambang orang. Ayahnya juga sama. Bodoh sekali menurut si Karso. Kenapa tak mau menjual lahan yang sudah tak produktif lagi, lebih baik dijual toh ayahnya juga sudah tua. Tipe anak zaman now memang semua ingin serba instan.

Malam itu sehabis Isya setelah mengambil diam-diam sertifikat tanah, si Karso pun berangkat ke Mess menemui Pak Sangkuni dan Haji John utuk membuat kesepakatan harga tanah. Mbah Par tak tahu bahwa tanahnya dijual oleh anaknya sendiri. Dia ditelikung dan dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.

***

Mbah Par duduk dengan tatapan mata kosong keluar rumah. Membisu dan lidahnya kelu. Sudah tiga hari sejak kejadian pembongkaran tanah itu dia tak mau bicara sepatahpun. Pak War di sampingnya minum kopi menatap sedih keluar rumah. Jurang tambang batubara menganga di depan rumahnya semakin lebar. Selebar dan sedalam luka hatinya karena bumi dan tanahnya dirusak orang-orang yang rakus oleh dunia.

Dia berniat pindah sekeluarga ke rumah Mbah Par. Kasian laki-laki itu yang sekarang hidup sebatang kara. Karso si Durhaka pergi entah kemana. Manusia...tak kan pernah puas mereguk harta dunia sebelum tanah kubur memenuhi mulutnya. Harta dunia seperti air laut, semakin diminum semakin haus. Zaman edan yen ra melu edan ora keduman. Begjo begjaning menungso isih begjo wong kang eling lan waspodo. (Sekarang zaman gila, kalau gak ikut gila gak kebagian. Masih beruntung bagi manusia yang masih ingat dan waspada), kata Pak War dalam hati.