webnovel

MARIA MENCARI TUHAN

Maria duduk termangu di teras depan rumah. Malam itu si gadis bermata sipit sedang sendirian tanpa ada Matheo yang sering berkunjung tiap malam minggu. Laki-laki yang selama ini mengharapkan hubungan perkawanannya menjadi hubungan percintaan tak lagi datang bahkan tak lagi menghubunginya.

Sejak kejadian di pinggir pantai Pagatan beberapa waktu lalu. Matheo, teman satu offering dengannya mengajak jalan-jalan. Seperti biasa setiap sabtu sore mereka meluncur dengan mobil kemana saja Maria mau. Walau hanya sekedar makan di warung pinggir jalan atau duduk-duduk di pinggir pantai. Selanjutnya mereka duduk di teras rumah ngobrol sampai malam.

Matheo tak surut mengejar Maria walau beberapa kali ayah Maria mengingatkan agar menjaga pergaulan dengan laki-laki yang menyatakan cinta padanya. Maria tak pernah mengiyakan dan tak menolak kebaikan Matheo.

"Kita sudah lama berkawan, apakah kita akan tetap seperti ini, Mar?" tanya Matheo saat duduk di sebuah warung jagung bakar yang banyak berjajar di pinggir pantai.

Angin malam menerpa keras membuat gelombang lautan agak tinggi menempur pantai. Lautan yang luas terhampar, debur ombaknya menyela keheningan di antara mereka. Maria tak langsung menjawab. Dia hanya diam berpikir memilih kata. Dia memandangi es kelapa berwarna merah muda bercampur susu di hadapannya. Diaduk-aduknya seakan ingin mengulur waktu untuk menjawab.

Matheo beberapa kali meminta kepastian akan cintanya, tapi Maria tak pernah menjawab. Dipandanginya laki-laki berdarah Timor Leste di depannya. Wajahnya tampan standar, badannya tegap, kulitnya cokelat sawo matang, dengan hidung mancung dan rambut keriting khas terpangkas rapi.

Dia juga sudah memiliki pekerjaan mapan walau saat ini mengambil kuliah non regular bersamanya. Setiap gadis yang ada di gereja sering mencari perhatian Matheo. Tidakkah dia sosok yang sempurna untuk dijadikan pendamping hidup? Itu penilaian semua orang tentang Matheo.

"Kau seharusnya bersyukur Matheo memilihmu Na," ucap Santi kawannya suatu hari mendukung hubungan Maria dengan laki-laki itu. Namun tetap saja Maria belum bisa memberi jawaban.

Matheo masih dengan sabar memandang gadis yang ada di depannya. Mata beningnya seakan penuh tanya. Dia ingin menembus dinding benteng hati gadis yang ada di hadapannya, dan mengetahui apa isinya. 

"Kau yakin mau denganku, Yo?" tanya Maria lagi malah meminta kepastian dari Matheo

"Kau mau aku berapa kali mengatakannya? Sekali kau mengatakan iya, orang tuaku akan datang melamarmu," ucap Matheo memberi kepastian.

"Bagaimana kalau seumpama kita berbeda keyakinan? Apakah kau masih mau denganku?" tanya Maria.

Matheo terkejut dan alisnya bertaut. "Apa maksudmu?" tanya Matheo. 

Maria menundukkan pandangannya. Dia pandangi lagi air minumnya, dan diaduk-aduknya lagi. Gerak geriknya seakan mencari kekuatan untuk mendukung jiwanya agar tak salah menyampaikan pada laki-laki di depannya. Maria menarik napas panjang dan menghembuskannya. Dia harus jujur mengatakannya.

"Aku ingin masuk Islam, Yo," ucap Maria jelas dan lugas.

Matheo langsung berubah rautnya, merengut.

"Kau gila, kau ingin meninggalkan kerajaan Allah?" tanya Matheo dengan tegas.

"Aku sudah yakin dengan pilihanku," jelas Maria

Wajah Matheo makin menyuratkan rasa tidak suka dengan jawaban Maria.

"Apa alasanmu? Apakah si Grace yang sudah mempengaruhimu?" tanya Matheo menginterogasi. 

Maria mendongakkan wajahnya.

"Tak ada hubungannya dengan Grace. Aku sudah memikirkannya jauh sebelum Grace memutuskan menjadi muslim," jelas Maria agar keputusannya tidak dikaitkan dengan Grace. Grace teman satu lingkungan dengannya, dia masuk Islam seminggu yang lalu. 

"Terus, apa alasanmu?" interogasi Matheo.

"Karena aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku selama ini tentang Tuhan," jelas Maria.

"Apakah ayah dan ibumu sudah tahu?" tanya Matheo seakan mengkhawatirkan diri Maria.

"Belum, mereka belum kuberitahu, mungkin secepatnya," jelas Maria, walau sebenarnya ada rasa takut untuk menjelaskan pada kedua orang tuanya.

Berat konsekuensinya, Maria tahu itu. Dia khawatir orang tuanya akan marah dan mengusirnya pergi dari rumah. Namun keyakinannya pada Allah Yang Esa seakan memberikan sebuah keyakinan bahwa Dia takkan membiarkan dirinya sendiri.

***

Malam itu pertemuan terakhir Maria dengan Matheo. Maria termangu memandang bulan separuh dari teras rumahnya. Pohon-pohon bergemerisik ditiup angin tak dihiraukannya. Terdengar seseorang terbatuk-batuk. Ibu Maria keluar dari dalam rumah, lalu ikut duduk di kursi teras. 

"Ada apa? Kau kelihatan banyak diam dan hanya duduk-duduk di teras dua hari ini," tegur ibunya.

Maria hanya melihat sekilas ibunya, lalu pandangannya ke arah langit lagi.

"Ma, Bulan itu cantik ya. Ciptaan Tuhan yang cantik di mataku," ucap Maria sambil masih melihat langit.

"Haiih ada apa kamu? Kok tiba-tiba melankolis gitu?" tanya ibu Maria merasa aneh dengan sang anak.

"Zat yang menciptakannya pasti tak tertandingi, bahkan takkan ada yang bisa membuat bulan yang sama, ya kan, Ma?" tanya Maria seakan memberikan prolog untuk pemikirannya.

"Ya iya lah, tak mungkin manusia bisa menandingi membuat bulan nak. Kamu nih kok jadi ngomong yang aneh?" tanya Ibu Maria makin heran.

"Kalau memang manusia tak bisa membuat bulan, bagaimana dengan Yesus? Apakah dia manusia yang bisa menandingi Tuhan Allah dalam menciptakan bulan? Mengapa dia disebut Anak Tuhan. Apakah Tuhan bisa memiliki anak dan membutuhkan penolong lain dalam mengurusi ciptaanNya?" tanya Maria makin serius berbicara.

Ibunya Maria langsung mengerutkan alisnya.

"Kamu itu ngomong apa? Kalau ayahmu dengar omonganmu pasti akan marah," ucap ibunya.

"Bagaimana bisa tuhan mati di tiang salib Ma? Bagaimana bisa Yesus waktu itu malah memanggil nama Eli Eli mila sabakhtani saat di salib? Apakah selemah itu seorang tuhan, Ma?" tanya Maria lagi. 

Ibunya Maria menghela napas seakan menahan rasa khawatir dan marah terhadap pertanyaan-pertanyaan Maria.

"Itulah yang selama ini membuatku gundah, Ma. Apakah Mama tahu jawaban dari pertanyaanku?" tanya Maria pada ibunya.

"Aaah, Mbuhlah, gak usah tanya aneh-aneh. Imani saja yang kau terima. Tuhan itu satu dan yang tiga itu satu. Paham!" ucap ibunya tegas.

Maria memandang ibunya.

"Ma, aku ingin masuk Islam," ucap Maria lugas pada akhirnya.

Ucapan anak gadisnya membuat ibu Maria seperti tersengat listrik. Rasa terkejutnya mengalir dalam aliran darahnya membuat pikirannya menjadi penuh emosi, tapi tak sampai menghilangkan kesabarannya. 

"Apa kamu sadar apa yang kamu ucapkan, Nak?" tanya ibu Maria.

Maria hanya diam, dia tak ingin melawan atau membalas dengan emosi. Dia tahu ibunya sedang marah dan ingin menumpahkan pikirannya. Maria harus siap mendengarkan setiap ucapan ibunya.

"Ibu tak tahu apa yang akan dikatakan ayahmu jika dia tahu kamu akan masuk Islam. Aku khawatir tak bisa menolongmu saat itu tiba," ucap ibunya seakan memberi kepastian yang akan terjadi pada Maria.

Ibunya langsung berdiri dan masuk ke dalam rumah. Maria hanya diam termangu, dadanya terasa sesak karena kesedihan. Saat inilah dia harus bertahan, dan berani menyampaikan kebenaran.

Maria mulai mempertanyakan jalan hidup yang dia tempuh saat dia mulai membaca buku teori-teori ketuhanan yang disampaikan dalam sebuah perkuliahan. Paham trinitas yang dia imani saat ini memberikan kerancuan logika bagi dirinya.

Dulu mungkin dia tak pernah mempertanyakan dogma ini, tapi semakin dia berpikir, semakin semua tak masuk akal dan tak menentramkan jiwanya. Bagaimana bisa tuhan ada tiga dan tiga itu disebut satu. Bagaimana Yesus yang dikatakan penebus dosa manusia, pembawa berita gembira dan kerajaan Tuhan dalam waktu yang sama disetarakan dengan tuhan. Sedangkan dia dilahirkan dari sosok perempuan, dan disunat. Tidakkah itu sisi kemanusiawian Yesus, tapi bagaimana sosok manusia itu bisa berubah kedudukan dan derajatnya menjadi tuhan?

Baiklah, kalau memang dengan berdoa kepada Yesus maka akan sampai pada Tuhan Allah, maka selemah itu kah komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya? Apakah harus menggunakan perantara? Begitu banyak pertanyaan yang mengusik pikiran Maria saat itu.

Dia membaca lagi teori-teori ketuhanan agama yang lain. Ada yang meyakini banyak tuhan, tapi apakah mereka takkan berperang satu sama lain dalam menjalankan alam semesta? Teori-teori itu makin menjadikan Maria semakin semangat mencari kebenaran. Sampai suatu hari dia tak melihat lagi Grace di gereja. Dia tanya pada beberapa kawannya, dia mendapat kabar kalau Grace sudah murtad. Saat itu Maria tercenung. Murtad? Maria pikir, dia ingin berbicara langsung dengan Grace.

***

Grace dan Maria duduk di atas kasur di kamar Grace. Gadis itu duduk di hadapannya dengan sebuah Al Qur'an di tangan. Grace yang dikatakan murtad itu memberikan penjelasan padanya tentang hakikat Tuhan yang dia yakini saat ini. 

"Dalam konsep tauhid dalam Islam itu hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tak ada sekutu bagiNya, dan semua makhluk menggantungkan semua urusan padaNya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sebenarnya poin perbedaan akidah kita hanya pada poin posisi Yesus atau Isa menurut bahasa muslim. Kalian menganggap Yesus sebagai tuhan, sedangkan kami anggap Yesus atau Isa sebagai nabi dan pembawa risalah Tuhan. Seorang muslim dianggap kurang sempurna imannya jika tak mengimani Yesus atau Isa dan nabi-nabi sebelum Muhammad. Sekarang jawab pertanyaanku, Mar. Kamu menganggap Yesus itu sebagai apa? Apakah kau mengimaninya sebagai tuhan ataukah sebagai nabi saja? 

"Aku meyakini Tuhan Allah itu satu dan Yesus sebagai nabi. Karena secara logika saja tak mungkin manusia menjadi tuhan hanya dalam satu malam," jawab Maria.

"Sebenarnya kau sudah memiliki konsep keimanan seorang muslim Mar, tinggal kau ucapkan persaksianmu dihadapan banyak orang," ucap Grace.

Maria tercenung, diam. Dia belum berani mengambil resiko. 

"Aku masih belum berani Grace," akhirnya terucap kekhawatiran Maria.

"Kau mau kubantu? Ada Ustadz Hamzah di Mualaf Center yang bisa membantu proses keislamanmu. Kamu mau kuhubungkan dengan beliau?" tawar Grace.

Maria masih bimbang.

"Aku belum bicara dengan ayahku," ucap Maria.

Grace menganggukkan kepala memahami posisi Maria.

"Baiklah, jika ada apa-apa hubungi aku ya," ucap Grace sambil memegang tangan Maria seakan ingin menyalurkan kekuatan dan memberikan dukungan untuk Maria. Mereka berdua saling mengulas senyum.

***

Maria melihat wajah ayahnya memerah dan menegang menahan marah saat dia mengatakan keinginannya masuk Islam. Hari itu, pada sore hari, saat ayahnya sudah di rumah, Maria memberanikan diri memberitahu ayahnya, walau harus dengan berputar-putar dulu.

"Maria Natalie Eliana, setan apa yang sudah merasukimu? Kalau kau masuk islam, apakah kau akan meninggalkan kerajaan kasih Allah? Kau tak mau lagi berbakti pada kami orang tuamu?" tanya ayah Maria.

"Tidak seperti itu, Yah, aku...," jawab Maria yang langsung disela dengan sebuah bentakan final dari ayahnya.

"Pergi dari sini!" ucap ayahnya, "Kamu bukan anakku lagi!" tegas ayah Maria yang membuat Maria tersentak dan sakit hati.

Maria pun berdiri, lalu langsung masuk ke dalam kamarnya sambil menangis. Dia mengambil sebuah tas besar dan memasukkan beberapa helai baju dan barang-barang seperlunya. Dengan hati hancur dia keluar kamar. Maria melihat ibunya mencoba berbicara dengan ayahnya, tapi seakan ayahnya tak ingin merubah keputusannya. 

"Mariaaa ... tunggu, Nak, Mariiiaaa!" teriak ibunya memanggil Maria yang menangis sambil terus berjalan meninggalkan rumah.

Ibunya Maria juga hanya bisa memandang dalam tangis melihat kenyataan yang membuat dia sedih.

***

Dalam sebuah ruangan di Mualaf Center, Maria duduk ditemani Grace. Dihadapannya duduk Ustadz Hamzah dan beberapa laki-laki yang menjadi saksi atas kesediaan Maria mengucapkan persaksian.

"Maria, tak ada paksaan untuk masuk Islam?" tanya Ustadz Hamzah meyakinkan kembali.

"Tak ada Ustadz," jawab Maria.

"Kalau begitu ikuti ucapan saya ya," ujar Ustadz Hamzah lagi.

Ustadz Hamzah membantu Maria mengucapkan syahadat. Suasana begitu sakral yang menimbulkan rasa merinding di sekujur tubuh Maria. Ada aliran dingin yang sejuk merasuk dalam dirinya ketika setiap kata syahadat dia ucapkan. Air matanya tiba-tiba tumpah, badannya gemetar dan dia terharu karena bahagia dengan kebebasan jiwanya.

Dia yakini Allah adalah Tuhannya, Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul Allah. Maria menangis haru sambil memeluk Grace yang saat itu memakai kerudung hijau zaitun. Maria juga memakai kerudung merah muda milik Grace. Mereka berdua menangis sambil berpelukan. Hati mereka penuh syukur, semua berjalan lancar. 

Sejak Maria diusir pergi dari rumah, dia tak tahu harus kemana selain ke rumah Grace. Ayah dan ibunya sama sekali belum ada menghubunginya sejak kemarin. Dia paham, ayah ibunya memerlukan waktu untuk menerima keadaannya yang sekarang. Bagi Maria bukan urusan dunia yang jadi masalah besar. Yang menjadi masalah besar ketika Allah takkan lagi mau mencintainya karena dia telah menyekutukanNya dengan yang lain. 

Maria bersama Grace keluar dari gedung Mualaf Center. Langit biru yang bersih dari awan menyambut mereka yang jiwanya terbebas dari mempersekutukan Allah. Lahir sebagai jiwa yang baru dan bersih dari noda dosa, seperti bayi yang baru dilahirkan.

Maria dan Grace memandang langit sambil tersenyum. Di langit Allah bersemayam. Maria yakin Dia takkan meninggalkannya dalam kesusahan, bahkan saat ini masa yang akan banyak diuji keimanannya yang baru saja dia tanamkan. Maria mengulas senyum pada angin yang berhembus lembut menyapanya.