webnovel

LELAKI HUJAN DAN CATATAN HARIANKU

Jika kau anggap hujan itu romantis, kupikir kau harus mendengarkan ceritaku dulu baru menilai. Apakah benar hujan itu romantis? Bagiku, hujan itu seperti pisau yang mengiris daging. Dia mampu mengucurkan darahku mengorek lukaku membuatku menangis kembali karena mengenang masa lalu. Benar, kupikir, aku harus melupakan kenangan itu, dan menggantinya dengan kenangan baru yang akan memberikan kesan yang indah untukku tentang hujan, tapi aku masih ingin memeluk masa lalu. Biarkan saja aku tetap seperti itu.

Hari pertama aku bertemu dengannya saat hujan menyiram kota di pagi hari. Aku pikir hujan saat itu sangat menyenangkan karena panas seharian menjadi sejuk seketika. Aku pun lari ke sebuah halte bus untuk bernaung. Aku duduk sambil memandang langit kelabu. Angin kencang membawa tempias air membasahi sepatuku.

Lelaki itu berlari-lari menuju ke arahku. Hem putihnya sedikit basah. Dia tersenyum kepadaku lalu duduk di sampingku. Bisa kucium bau parfum lembutnya. Aku suka baunya. Bersama-sama kami memandang langit. Aku belum tahu namanya saat itu. Bus yang dia tunggu telah datang. Dia hanya menoleh padaku lalu tersenyum. Kubalas senyumnya. Dia beranjak pergi meninggalkanku. Sosoknya hanya dapat kupandang dari jauh, duduk di kursi dekat jendela bus tanpa menoleh lagi kepadaku.

Kututup buku catatanku. Lelaki hujan itu masih duduk di sampingku. Sosok yang memakai hem putih dan terlihat tampan dengan rambut basahnya. Dia hanya memandang jalanan yang basah dan air yang mengalir masuk ke dalam gorong-gorong. Aku hanya menghela napas. Itu hanya catatan fantasi pertamaku tentang lelaki hujanku, yang ada di sampingku.

***

Hari kedua saat itu juga turun hujan. Takdir ini sungguh indah. Hujan juga jadi kenangan manis. Dia berlarian lagi menuju halte bus untuk bernaung. Dia duduk di sampingku, dengan bau harum yang sama. Hari ini dia memakai hem putih dan jas kelabu. Sebuah tas kerja di tangannya. Dia mengelapnya dengan tangan karena basah terkena hujan. Dia tersenyum padaku, dan akupun membalas senyumnya.

"Adik sekolah dimana?" tanyanya.

Aku baru sadar suaranya sangat merdu di telinga. Sesuai dengan penampilannya.

"Di SMA Sukses Berkarya, Kak," jawabku malu-malu.

"Oh, aku juga alumni sekolah itu. Angkatan ke sepuluh."

"Wah, keren. Senang bisa ketemu kakak angkatan. Kakak kerja dimana?" tanyaku

"Aku kerja di perusahaan Nasional Indonesia," jawabnya.

"Sesuai dengan impian Kakak?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk.

"Sejak dulu aku ingin memiliki perusahaan sendiri, dan aku jadi bosnya. Perusahaanku saat ini masih kecil, suatu saat nanti akan kukembangkan sayapnya sampai ke ujung dunia," terangnya dengan mata berbinar sambil menunjuk ke langit.

Hujan masih deras, kilat melecut langit lalu guntur juga ikut mengejutkanku.

"Adik bercita-cita jadi apa?" tanyanya.

Aku diam memikirkan jawaban. Selama ini aku belum memutuskan apa-apa untuk masa depanku.

"Aku pikir, aku ingin jadi penulis best seller yang mendunia. Aku ingin karyaku terkenal dan dibaca oleh banyak orang sampai ujung dunia sana," jawabku sambil menunjuk langit, menirukan gayanya menjelaskan tadi.

Kami tertawa bersama.

Itu catatan fantasiku tentang lelaki hujanku. Percakapan kami yang pertama tentang cita-cita. Dia dalam balutan jas kelabunya, duduk di sampingku, diam, tanpa menoleh kepadaku yang mengaguminya secara rahasia. Kututup buku catatanku. Hujan mereda saat bus yang ditunggunya datang. Dia berdiri lalu meninggalkanku sendirian duduk di halte bus.

***

Hari ketiga saat hari yang murung karena mendung menutupi langit kota sejak pagi. Aku pikir tak lama lagi hujan deras turun lagi. Aku percepat langkahku menuju halte bus. Lelaki hujanku sudah duduk di bangku halte bersama beberapa orang yang menunggu datangnya bus.

Hari ini dia memakai jas kelabu, tapi hemnya berwarna biru berkancing satu di leher. Ah, lehernya indah, terlihat kokoh dengan model baju seperti itu.

"Hai Kak," sapaku sambil duduk di sampingnya.

"Hai, langitnya murung, hujan belum turun," ucapnya sambil menunjukkan payung berwarna merah kepadaku.

Aku pun terkekeh.

"Pas bawa payung tapi gak hujan. Pas gak bawa payung eh kehujanan," terangnya sambil tertawa lebar seakan menertawakan nasibnya sendiri.

"Ya, beberapa hari ini terus hujan. Pagi hujan, sore baru reda. Musim penghujan seperti ini aku kasihan sama penjual es keliling," terangku.

"Kenapa?" tanyanya, "bukankah rezeki sudah diatur oleh Tuhan untuk masing-masing hambaNya?" lanjutnya.

"Tuh lihat, kasihan kan?" ujarku sambil menunjuk ke seberang jalan.

Ada seorang bapak-bapak penjual es doger yang mendorong gerobak menuju ke sebuah pelataran toko yang punya tempat bernaung yang lebar. Hujan rintik mulai turun dan semakin deras.

"Ah, hujan lagi. Siapa coba hujan-hujan begini yang malah minum es?" tanyaku pada lelaki hujanku.

"Iya sih, tapi Allah maha Adil kok, mungkin hari ini rezekinya sedikit, siapa tahu kemarin atau esok-esok rezekinya melimpah. Kita syukuri saja apa adanya. Ya kan?" tanyanya retoris.

Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.

Aku hentikan goresan penaku. Aku tutup bukuku. Kutatap lelaki hujanku. Fantasiku kali ini mengobrol dengannya tentang rezeki. Aku pun tersenyum sambil mengagumi sosok tampan yang duduk di sampingku. Dia berdiri lalu pergi menuju busnya yang sudah datang. Ah, aku sendirian lagi. Kutatap aliran air hujan yang mengalir masuk ke selokan.

***

Kulangkahkan kakiku menuju halte bus pagi itu. Sepi. Kupikir kepagian. Kulihat jam tanganku. Ah, iya memang kepagian. Detik demi detik aku menunggunya. Aku goyang-goyang kakiku menghilangkan rasa cemas. Tumben sudah jam tujuh pagi dia belum juga muncul di halte.

Senyumku terbit saat jam sudah menunjukkan jam setengah delapan, dia datang berjalan kaki sambil membawa seikat bunga mawar merah. Aku pun tersipu malu saat dia tersenyum padaku dari kejauhan. Apakah bunga itu untukku?

"Hai," sapanya seraya mendekat lalu duduk disampingku.

"Mawar yang indah," pujiku sambil tersenyum.

"Ah ini, harum ya?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Di sela bunga mawar merah ada sekuntum bunga Daisy.

"Ini untukmu. Sebagai tanda pertemanan kita," ucapnya sambil memberikan sekuntum bunga Daisy.

Aku pun tersenyum. Ternyata dia hanya memberiku sekuntum bunga daisy. Untuk siapa seikat mawar itu?

"Kakak mau menyatakan cinta pada seseorang," selidikku.

Lelaki hujanku tersipu malu.

"Aku sudah lama mengenalnya. Semalam aku berpikir untuk melamarnya. Kami janjian bertemu di restoran sana," terangnya sambil menunjuk sebuah restoran di dekat halte.

"Oh, selamat ya. Aku juga ingin bertemu lelaki macam Kakak kelak. Dia datang padaku dengan membawa bunga mawar merah. Uuuh, romantis sekali kan?" tanyaku.

Lelaki hujanku tersenyum lebar.

"Semoga kau menemukan lelaki yang lebih baik dariku. Yang membawakan ribuan bunga mawar untukmu," jawab lelaki itu.

Kulihat dia menghela napas.

"Hari ini apakah akan hujan lagi?" gumamnya sambil melihat langit yang mulai redup.

Awan cumulus mulai saling berdekatan tertiup angin.

"Cuaca tak menentu, Kakak bawa payung?" tanyaku.

Dia membuka tas kerjanya lalu menunjukkannya padaku.

"Calon suami siaga," ucapku sambil tertawa.

Bus di halte seberang jalan datang bersamaan dengan hujan rintik datang. Seorang perempuan cantik dalam balutan dress merah muda dan kerudung krem turun dari bus. Lelaki hujanku langsung berdiri lalu tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada si perempuan. Perempuan itu membalas dengan senyum yang manis.

Ah, mengapa ada sejimpit rasa sakit yang berdenyut di hatiku. Kutatap lelaki hujanku. Aku patah hati.

Kututup catatan harianku. Kupandang lelaki hujanku yang masih dalam ketidakpeduliannya. Dia duduk di sampingku dengan seikat bunga mawar merah. Aku hanya menghela napas saat melihat sebuah bus datang dan seorang perempuan yang sama dengan fantasiku turun dari bus. Mereka saling tersenyum dan melambaikan tangan. Mereka berdua berjalan menjauh dan aku ditinggalkan sendiri. Ah hujan lagi. Aku angkat tanganku menangkap rintik hujan yang mulai turun. Sia-sia, angin menerbangkannya.

***

Aku bersyukur bisa menikmati liburan akhir pekan. Aku ingin ke perpustakaan daerah pagi ini. Aku duduk sambil membuka lagi buku catatan harianku. Kubaca lagi tulisanku, aku pun tersenyum sendiri.

"Hai," sapa sebuah suara.

Aku pun mendongakkan kepala. Ah lelaki hujanku datang.

"Hai, mau kemana? Bukankah ini hari libur?" tanyaku padanya.

Lelaki itu tersenyum lalu duduk di sampingku.

"Aku ada janji dengan si dia pagi ini. Kau mau kemana?" tanyanya balik.

"Aku ingin mencari buku di perpustakaan," jawabku.

"Ah kenapa tak membaca yang versi digital saja pakai gawai?" tanyanya, "Bukankah itu lebih praktis?" tanyanya lagi.

"Aku lebih suka versi cetaknya, Kak. Aku tak tahan memakai gawai. Ibuku bisa ngomel jika aku terus mantengin gawai seharian," ucapku sambil tersenyum mengingat wajah ibuku saat mengomeliku.

Lelaki hujanku juga ikut tersenyum.

Sebuah bus datang di seberang jalan. Lelaki hujanku melihat kekasihnya datang melambaikan tangan.

"Eh dia sudah datang. Aku pergi dulu ya," pamitnya.

Aku pun mengangguk. Dia beranjak pergi menyeberang jalan. Aku pun membuka lagi buku harianku bermaksud untuk kembali menulis. Namun sebuah suara rem sebuah mobil mendecit dan hantaman keras membuatku membelalakkan mata. Sosok lelaki hujanku terkapar di tengah jalan raya dengan darah yang mengucur membasahi jalan.

Langit mendung mulai menangis. Hujan deras turun, sederas air mataku yang mulai menetes di pipi. Aku berdiri, dan berjalan mendekat. Aku ingin membalikkan tubuhnya dan memeluknya. Namun, kekasihnya sudah mendahuluiku mengangkat kepala dan memeluknya. Perempuan itu menangis meraung. Aku hanya bisa menatap lelaki hujanku yang darahnya masih mengucur dan luruh ke tanah bersama air hujan. Aku telah kehilangan dirinya. Lelaki hujanku, bahkan aku tak tahu namamu.

Aku berhenti menulis. Aku memutuskan untuk menghentikan tulisanku dengan mematikan tokohku. Lelaki hujanku yang sedang duduk di sampingku. Dia berkali-kali melihat jam tangannya. Selama ini dia tak pernah menyapaku, apalagi mengajakku bicara.

Aku melihat sebuah bus datang di seberang jalan. Aku melihat kekasihnya telah datang lalu melambaikan tangannya pada lelaki hujanku. Dia beranjak pergi lagi meninggalkanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai berjalan menyeberang jalan.

Sebuah hantaman keras terdengar membelalakkan mataku. Tubuhku bergetar dan air mataku mulai meleleh. Buku harianku terjatuh begitu saja. Aku berjalan menuju jalan raya. Aku hanya bisa berlutut di samping tubuhku yang tergeletak di jalan bersimbah darah. Langit mulai menangis. Hujan turun deras meluruhkan darahku yang terus mengucur dari kepalaku mengalir masuk ke dalam selokan.

Kulihat lelaki hujanku menatap nanar diriku yang tergeletak di jalan. Aku yang telah mengorbankan nyawa demi menyelamatkan dirinya dari sebuah kecelakaan. Sakit, teramat sakit yang kurasa. Apakah setelah ini kalian akan mengatakan bahwa hujan itu romantis? Kupikir kau harus memikirkan ulang pendapat kalian.