webnovel

Kejutan Dari Masa Lalu

"Kutunggu di Kafe PM Palajau lah," isi sebuah pesan yang masuk ke dalam gawaiku siang itu sepulang dari rumah sakit.

Pesan berbahasa banjar itu dari seseorang yang pernah mengisi hari-hariku saat masih SMA di Tanah Bumbu. Sudah sekitar 12 tahun aku tak pernah mendapat kabar tentangnya, dan takdir mempertemukan kami di sebuah media sosial. Di sinilah aku merasa bersyukur ada orang pintar yang membuat jejaring sosial. Akhirnya aku bisa terhubung dengan banyak orang dalam satu ruang maya yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Walau tetap saja media sosial seperti ini memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Bisa positif bisa negatif tergantung sang pemakai bijak dalam penggunaan. Terlepas dari cerita konspirasi bahwa jejaring sosial ini buatan orang-orang Freemason.

Sebenarnya aku duluan yang menegurnya di messenger. Aku cek profilnya dan foto-foto unggahannya di medsos. Semua full hanya foto tentang dia dan buku-buku novel karyanya. Kiranya booming kawanku itu di tanah air sebagai novelis, ataukah aku yang tak memperhatikan tentang dunia seperti itu. Panteslah, aku seorang dokter, dan tak suka baca novel, selain diktat kuliah. Setelah dia ngeh siapa aku, hubungan kami berlanjut begitu saja. Biasa, tak ada yang istimewa isi chat kami. Tapi yang istimewa adalah debar rasa karena penasaran bagaimana dia saat ini setelah 12 tahun tak pernah bertemu.

"[Assalamu'alaikum, kamu Ruli]?" tanyaku di messenger saat melihat ada titik hijau yang menyala di dekat foto profil.

"[Wa'alaikumsalam, ya. Siapa ni]?" balas Ruli.

Kyaaa...jerit hatiku...dibalas...dibalas..

"[Masih inget sama Niken gak]?" tanyaku.

"[Niken siapa yo lah? Kalo kawanku nang ngarannya Niken gendut urangnya kada langsing kayak ikam]," jawabnya seakan mengajak becanda.

Nyebelin ni orang.

"[Wew...aku Niken kelas X Bahasa. Pasti pura-pura kada inget : (...]," balasku.

"Wkwkwkwk ...OMG serius nih Niken? Kemana tumpukan lemakmu]?" tanya Ruli langsung mulai membully seperti yang dulu sering dia lakukan.

"[Sudah kucuci pake Ma** Le***]," jawabku sekenanya tapi dalam hati rasanya pingin ngakak.

Begitulah awal percakapan kami di messenger. Tak ada yang istimewa, selanjutnya hanya bertanya seputar sudah berapa anak dan dimana sekarang tinggal. Tak terduga dia masih di Banjarmasin dan menikah dengan gadis Tanah Bumbu. Setelah itu tak pernah lagi ada chat. Tiba-tiba mendapat chat ditunggu di Kafe PM tempat kami dulu sering nongkrong jujur saja bikin terkejut. Apakah dia sedang di Tanah Bumbu?

Saat ini aku sedang meluncur ke Kafe PM di sekitaran jalan Palajau Simpang Empat. Kulihat anak-anak SMA sudah waktunya pulang berhamburan keluar gerbang sekolah. Jalanan penuh dengan konvoi kendaraan mereka yang pulang cepat-cepat karena langit sudah mulai murung hendak hujan. Baju mereka yang masih putih abu-abu mengingatkanku pada masa lalu.

"Bantui aku nah naik, cepetan Ndut," katanya saat itu di kelas meminta bantuanku untuk mendorongnya naik ke atas plafon kelas.

"Aiih lakasi" pintanya.

"Sabar pang kawaklah?" omelku.

Akhirnya dengan sekuat tenaga kudorong dia ke atas. Beratku saat itu masih 80 kg. Dia menjadikan pundakku pijakannya dan naiklah ia melalui sebuah lemari. Biasalah jam kosong saatnya untuk santai dan tidur. Bahkan kami sering rujakan jika ada kawan yang lagi panen buah. Sejam dua jam cukup untuk tidur siang baginya dan kawan-kawan yang laki-laki, sedangkan kami yang perempuan sering jadi penjaga dan berteriak memberitahu mereka untuk bangun dan turun dari plafon ketika guru datang. Plafon di kelas kami memiliki lobang di ujung ruang, cukup kuat kayunya diberi papan untuk duduk dan berbaring. Itu semua idenya menjadikan plafon sebagai "markas" segala aktifitas bagi siswa di kelas kami. Tak lama kemudian datang pak Rahmat guru fisika kami. Melihat kelas hampir separoh kosong akhirnya curiga.

"Dimana yang lainnya?" tanya beliau.

Kami yang perempuan memang sepakat tidak memberitahu kepada yang di atas plafon kalau ada guru yang datang. Kami tertawa cekikikan sambil menunjuk ke arah lobang plafon. Pak Rahmat memeriksa lobang dari bawah lalu berjalan ke pojokan kelas mengambil sapu.

"Wooooiii, turuun...turuuun," teriak pak Rahmat sambil memukul-mukulkan sapu ke dinding dekat lobang plafon.

Gelagapan siswa yang ada di atas plafon. Muncul kepala-kepala dari atas begitu saja lalu dengan tergesa turun melalui lemari. Alhasil mereka mendapat hukuman dari Pak Rahmat dengan berdiri selama satu jam pelajaran di lapangan bola. Saat hendak ke kantin aku lewat di depan si Ruli, kulihat wajahnya memerah kepanasan dengan keringat yang bercucuran. Dia melihat ke arahku dan menjulurkan lidahnya, mengolok-olok. Aku hanya tertawa kecil. Rasain eh! Batinku. Aku tertawa sendiri jika ingat masa itu. Masa yang takkan terulang kembali.

Mobilku masuk ke sebuah parkiran kafe. Aku pun turun dari mobil dinas setelah memperbaiki kerudung dan mengganti sandalku dengan sepasang sepatu flat yang nyaman. Kafe itu menyediakan menu kue-kue dan kopi yang fresh. Kafe legendaris, bahkan sampai 12 tahun masih buka dan tak surut pelanggannya. Pemiliknya sangat ramah dan sudah kenal baik sejak kami masih SMA. Aku suka tempat ini, karena setiap dindingnya memiliki warna kenangan tersendiri untukku dan untuknya. Kafe ini tempat nongkrong kami setiap pulang sekolah atau saat weekend dan nothing to do at home. Bahkan di Kafe ini juga kami saling pamitan untuk berpisah saat tahu aku akan ke Jawa untuk kuliah jurusan kedokteran. Kami berjanji saling memberi kabar, tapi rupanya perjanjian itu tak berlaku. Kami bahkan tak pernah saling kontak dan sibuk dengan dunia kami masing-masing. Dia di Banjarmasin dan aku di Malang. Aku pun memilih duduk di tempat kami biasanya pada waktu dulu. Di pojokan sebelah kiri dekat jendela besar yang kayak aquarium. Kusentuh kaca itu dan kulihat di kusennya di bagian pojok masih ada ukiran isengnya menulis namanya dengan namaku. Ditambah tulisan Friend Forever. Wah benar-benar kampungan menurutku saat ini. Ada rasa sedikit kecewa dalam hatiku, kenapa tidak di tulis Love Forever tapi hanya Friend Forever. Ya, cintaku dulu bertepuk sebelah tangan padanya. Tak ada namanya pertemanan antara laki-laki dan perempuan jika tidak mengarah kepada rasa cinta. Dia tipe rasional, lebih baik hanya berteman daripada memiliki hubungan percintaan dengan pacaran yang hanya akan menjadikan hubungan menjadi kaku dan obsesif. Kupendam saja apa yang kurasa walau aku tahu dia sebenarnya naksir gadis di kelas lain. Tapi dia hanya akan jalan bareng denganku, tidak dengan gadis itu walaupun dia pernah bilang suka padanya. Masa lalu yang membuatku geleng-geleng kepala saat ini. Setengil itu kami pada saat masih ababil (anak baru gedhe dan labil).

"Behabarlah ikam di Jawa. Ikam SMSi aku lah, atau kirimi MMS agar kita tetap terhubung, Oke!" pintanya saat itu.

"Kalo ikam ketemu wan lakian siapa pun kaina bekisah, kenalin wan aku ," lanjutnya lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil menyedot minuman es cincauku.

Aaaiiih...kupikir dia terlalu berlebihan saat itu mengatakan kata-kata yang seakan takut kehilangan diriku. Ah kok ada ya laki-laki seperti itu. Panteslah karena memang dia piatu, ibunya meninggal saat dia umur lima tahun. Jadi selama ini dia menganggap aku sudah seperti saudara perempuan saat masa-masa SMA itu. Fix, hubunganku dengannya di masa lalu adalah teman tapi mesra. Orang mengira kami pacaran, padahal tidak demikian.

Setiap orang memiliki masa lalu yang kadang harus direnungi dimana letak kesalahannya agar tidak diulangi lagi. Bagi beberapa orang mungkin saat ini yang tidak lagi pacaran atau menjadi aktifis teman tapi mesra, merupakan proses yang tak mudah. Ada perjuangan, tekad, serta pertarungan hati terlebih dahulu sampai memutuskan untuk tidak lagi pacaran atau TTM an.

Seorang pelayan datang menawarkan menu. Kupesen minuman seperti yang dulu sering aku pesan, es cincau kesukaanku. Pelayan itu pun pergi menyiapkan pesananku. Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul setengah lima sore. Nyatanya dia belum datang dan aku sudah datang duluan. Lima menit kemudian sebuah mobil berwarna hitam masuk kedalam parkiran bersamaan dengan hujan gerimis yang turun dengan enggan. Sebentar turun lalu terang lalu deras lagi. Keluar seorang laki-laki yang sudah bisa kupastikan itu Ruli dan seorang perempuan yang berbaju cokelat muda senada dengan warna kerudungnya. Mereka berjalan ke arah kafe. Anak mataku mengikuti sosok-sosok itu. Ketika masuk teras, dia sudah melihatku. Aah, berbeda, sungguh berbeda dengan yang ada di foto profil. Jauh beda dengan saat Ruli masih SMA.

Kulambaikan tanganku dari balik kaca jendela, mereka melihatku dan berjalan masuk ke dalam Kafe.

"Ken, wah kyapa habarnya nih?" tanya Ruli langsung begitu duduk di depanku.

"Baik, Alhamdulillah," jawabku

"Kenalin ini istriku Ken, namanya Jumbrah," terangnya padaku dengan bangga bisa mendapat istri yang cantik seperti Jumbrah. Perempuan itu tersenyum ramah dan menyalamiku. Setelah mereka memesan makanan dan minuman, dia bercerita alasan ingin bertemu denganku karena ingin konsultasi mengenai kandungan denganku. Owh, ceritanya dia belum memiliki anak sampai saat ini setelah lima tahun menikah. Aku dokter obgyn, sangat tepat jika konsultasi denganku, itu pikirnya. Aku menanyakan riwayat kehamilan dan kebiasaan istrinya, dan apakah pernah periksa kesuburan di dokter. Menurut dokter yang pernah menangani semua normal. Sesi obrolan kami terinterupsi si Jumbrah yang izin ke kamar mandi.

"Ikam bahagia wahini?" tanya Ruli tiba-tiba.sambil mengeluarkan rokok dan korek api.

"Apaan sih ikam," jawabku

"Amun kada bahagia wan aku haja," candanya.

Dia tertawa terkekeh. Ah benar-benar berbeda dengannya yang dulu. Dia terlihat lebih tua dari usianya. Aku 36 tahun, hanya selisih setahun denganku, tapi kerutan di wajahnya membuat dia seakan berusia 40 tahunan ke atas. Kumis tipis dan tak terawat begitu juga rambut yang agak gondrong ikal, badannya lebih kurusan dibanding yang dulu.

"Ikam gancang merokok?" tanyaku menyelidik. "Ampih pang, ikam tahu aja lo efek rokok," nasehatku.

Dia pun mengernyitkan dahi, "Gasan menghilangkan pahit di lidah bu Dokter ae. Baiklah,"jawabnya langsung mematikan rokok dan membuangnya di asbak. Ruli mengalah.

Aku pun tersenyum. Rasanya melihat dia seperti ini memang mengecewakan. Sama kecewanya seperti kalau kita dulu waktu kecil suka makan pudding. Setelah lama tidak makan pudding kita beralih ke es krim. Jika suatu saat pas dewasa kita makan pudding kesukaan, apa yang akan terasa. Berbeda, Rasa kecewa yang muncul, karena rasa itu berbeda dengan dulu makan pudding waktu kecil. Itulah yang aku rasakan saat ini.

"Menjawab pertanyaan ikam aku bahagia apa kada? Aku bahagia," jawabku walau dalam hati agak tak yakin dengan jawabanku sendiri. Pastilah setiap keluarga ada saatnya badai menerpa, itu saat yang tidak menyenangkan bagi sepasang suami istri yang sedang membina rumah tangga, tapi komitmen sudah dijalankan bersama, tak boleh ada kisah sauh diturunkan dan berhenti di pelabuhan untuk ganti nahkoda. Tapi jika kita tak mensyukuri yang ada, apalah guna kita punya iman. Suami punya, anak punya, rumah punya, pekerjaan mapan, makan masih bisa setiap hari. Tidakkah dunia sudah di tangan? Tinggal kita gunakan itu sebaik-baiknya untuk ibadah buat akhirat kita, seperti kata pak ustdz di kajian mingguan yang sering ku tonton di salah satu jejaring sosial.

"Aku senang ikam bahagia Ken, syukurlah. Kalau memungkinkan nanti kenalkan aku dengan suamimu ya,"pintanya.

Aku mengangguk. "Ini kartu namaku, datang saja ke klinikku kapan saja," ucapku sambil memberikan selembar kartu nama bertuliskan nama dan alamat tempat aku praktek di luar rumah sakit.

Hujan makin deras di luar, Jumbrah lama sekali di toilet, sakit perut mungkin, pikirku. Sesosok ramping berbaju seragam biru muda bercelana biru tua masuk ke parkiran dan turun dari sepeda motornya. Sosok tinggi berkulit putih itu basah kuyup berlarian ke arah teras untuk bernaung.

"Mas Sandi," ucapku. Aduh! Mata kami bersitatap. Laki-laki itu suamiku yang baru pulang kerja. Kebetulan sekali dia kehujanan dan bernaung di kafe ini. Mas Sandi memandangku dengan tatapan tajam, apalagi saat melihat Ruli di depanku. Aduh, tatapan mereka berdua kayak dua kucing yang saling cemburu. Mas Sandi langsung masuk ke dalam kafe.

"Siapa?" tanya tegas ke arahku menanyakan Ruli.

"Duduk dulu pian," pintaku dengan tenang, walau hati berdebar khawatir "macannya" ngamuk karena melihat istrinya sedang berduaan dengan seorang laki-laki lain.

Mas Sandi duduk di sampingku, dia tak ingin emosi menguasainya terlebih dahulu.

"Kenalkan ini kawan ulun wayah SMA. Orangnya datang dari banjar handak konsultasi wan aku kok. Tuh bini sidin," terangku sambil menunjuk ke arah Jumbrah yang datang dari toilet. Dia minta maaf kelamaan di toilet. Sore itu berakhir damai. Mas Sandi bisa memahami posisiku. Perang dunia bisa terelakkan.

Malam itu aku berbaring di samping Mas Sandi yang langsung menceramahiku.

"Ikam tahu kada boleh chat sama orang asing. Kada usah lagi nang kayak itu. Lainkali izin dulu." pinta Mas Sandi.

"Ulun kan dokter, masa kada boleh chat wan pasien yang lakian lah mun ada yang konsultasi pang kayapa?"tanyaku balik.

"Boleh haja, asal kada nang membahas masalah pribadi dan menimbulkan fitnah," terangnya sambil mengotak atik gawainya.

"Tuh sorang haur main hape aja. BIlang saja pian cemburu, habis masalah wew," ejekku sambil bercanda.

Mas Sandi yang sebal pun menjentikkan jarinya ke dahiku. Dia tak marah lalu tersenyum padaku. Malam ini akan jadi malam panjang jika terus saja berdebat. Mending tidur.

"Maaf ya Mas, berelaan," ucapku

"Hmmm..." jawabnya.

Aku tak bermaksud menyakiti hatinya yang akan menimbulkan bekas seperti paku yang ditancapkan di dinding. Bisa saja maaf diucapkan, tapi bekas yang menancap karena sakit hati bisa jadi takkan bisa hilang walau ditelan masa.