webnovel

- Keinginan Kirara

Kerajaan Wajo memiliki 3000 Prajurit Profesional yang semuanya memiliki gelar atau setidaknya darah bangsawan. Temmalara sangat beruntung dapat menjadi seorang prajurit sekalipun dari latar belakang rakyat jelata. 

Diantara para bangsawan yang menjadi prajurit itu pula, hanya sedikit dari mereka yang bisa naik pangkat menjadi Letnan. Akan lebih sedikit lagi dari mereka yang berhasil menjadi Kapten apalagi masuk ke satuan Unit Khusus Wajo, seperti Pasukan Berkuda dan Ahli Meriam serta Pemegang Senjata Api.

Biasanya Unit Khusus bertugas untuk mengawal Raja dan Keluarganya atau Bangsawan Tinggi ketika mereka hendak pergi melakukan sesuatu.

Mungkin bagi Temmalara yang biasa hidup serba kekurangan, menjadi seorang Letnan adalah pencapaian yang luar biasa. Akan tetapi bagi para bangsawan yang biasa hidup dalam kemewahan, menjadi Letnan saja tidak akan cukup.

Pemasukan Temmalara yang tadinya 6 Dirham per bulan kini meningkat drastis menjadi 30 Dirham per bulan dari gajinya menjadi tentara. Sekarang ia mempunyai 2 properti yakni Rumah di Wanua Tosora dan Wanua Kera. Pantas jika semua orang berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik di kemiliteran.

Membayangkan semua kemewahan ini, Temmalara hanya melamun saja mendiamkan budak yang mengikutinya dari tadi.

"Tuan... kenapa senyum sendiri dari tadi?" tanya Gadis itu.

"Lalu kenapa kau mengikutiku seperti bebek?" tanya Temmalara kembali.

"Aku ini Budak Tuan jadi... tidak mungkin kalau aku tidak ingin akrab dengan Tuan." jawab Gadis itu, namun kekesalannya tidak bisa ia sembunyikan.

"Oh ya kalau begitu apa kau mau pulang bersamaku," ujar Temmalara.

"Tentu Tuanku," balasnya tersipu malu.

"Tapi kita ke Pasar beli pakaian dulu."

--

Sesampainya di Pasar Tosora, Temmalara mengajak Budak itu untuk membeli pakaian yang layak sekaligus bahan makanan untuk besok. Sebuah senyuman kecil terukir dari raut gadis itu yang berhasil mencuri perhatian Temmalara sesaat. 

"Tuan, aku mau pakaian yang itu boleh ya."

"Cocok sekali untuk istri anda, Tuan." sahut Penjual Pakaian.

"Tidak dia bukan Istriku, hanya... hanya teman." balas Temmalara agak malu.

--

Setelah membeli barang dan perlengkapan yang dibutuhkan, Temmalara sadar hanya ada mereka berdua di kediamannya. Temmalara segera menepis hal-hal negatif dari pikirannya dan ingin bertanya satu dua hal tentang gadis ini. 

Meskipun berpakaian lusuh sekalipun, tetap saja kecantikannya sulit untuk ditandingi. Dengan kualitas tubuh yang berada di atas rata-rata. Tidak lama setelah membersihkan diri dan memakai pakaian baru, Temmalara hanya dapat menelan ludah berhadapan dengan gadis yang lebih cantik daripada Witta. 

"Siapa namamu? namaku Temmalara," ucap Temmalara.

"Tuan bisa panggil aku Kirara," balasnya tersenyum manis.

"Jujur saja Gadis sepertimu ini kesuka... ah maksudku tidak apa-apa."

"Baru kali ini ada majikan sebaik Tuan."

"Jangan panggil aku Tuan pusing mendengarnya."

"Apa Tuan aku panggil Temmalara tidak apa-apa?"

"Ya tidak apa-apa... Kirara kenapa kau bisa jadi budak. Kelihatan sekali dari gaya bicaramu kalau kau baru saja menjadi budak iya kan. Dulu saat di Somba Opu, aku pernah bekerja bersama budak dan setiap hari tidak luput dibentak oleh majikannya."

"Itu karena Orang Tua menjualku. Juga karena laki-laki sialan itu, dia berjanji ingin menikahiku dengan syarat melunasi hutangnya terlebih dahulu. Tapi saat mendekati akad, dia tak kunjung datang. Ternyata dia kabur dengan perempuan lain. Setelah itu aku dijual oleh Ayahku ke pedagang budak karena kalah dalam permainan judinya. Sebenarnya Temmalara aku masih keturunan Arung." jawabnya menatap Temmalara dengan sayu.

"Pantas saja benar-benar..." ujar Temmalara sambil mengacungkan jempolnya.

"Mesum! Temmalara mesum," ketus Kirara.

"Uhh... menurutku Ayah dan Ibumu itu sampah. Mereka itu sengaja menunggumu besar dan cantik supaya bisa mendapatkan uang yang banyak. Kudengar katanya budak sepertimu bisa seharga puluhan koin emas betul kan?"

"Benar aku dibeli Arung Tenrilai seharga 50 koin emas untuk diberikan kepadamu sebagai hadiah. Orang tuaku memang mereka sampah, apalagi Ayahku setiap malam selalu saja wanita yang tidak kukenal masuk ke rumah dan ibuku juga hanya diam saja. Bukannya melawan Ayah, dia malah melampiaskan amarahnya kepada anaknya."

"Sama sepertiku tapi berbeda darimu aku hidup miskin dari kecil. Orang Tuaku sama sekali tidak berguna, maka kami bersaudara saling melengkapi namun satu persatu mereka dijual setelah Ayahku kalah main dadu. Kirara... aku ini tidak lebih hanya seorang petani yang beruntung haha. Aku merasa tidak pantas menjadi Prajurit apalagi..."

"Tidak Temmalara bagiku kau berbeda dengan majikan, tidak... bahkan kebanyakan orang. Ketika kau dihina oleh Penyampai Pesan tadi kau hanya diam saja, padahal pangkatmu lebih tinggi. Tentu kalau beruntung tanpa diiringi kerja cerdas, mana mungkin kau bisa menjadi Letnan." 

"Kirara... bagiku dihina dan direndahkan orang lain itu sudah biasa. Kita menghadapi masalah yang serupa, lagipula ia berkata fakta. Kalau dirinya memang lebih pantas menjadi letnan. Aku tetap merasa hanya beruntung saja bisa naik pangkat, Hanya bocah kemarin sore dibandingkan dengannya yang sudah lama malang melintang menjadi prajurit. Aku bahkan sampai bertanya bagaimana bisa orang selemahku..."

"Tidak... kau itu hebat," sanggah Kirara tersenyum manis kepadanya.

"Sudahlah Kirara tidak usah memuji berlebihan hanya untuk membuat Tuanmu senang," balas Temmalara tersenyum sedikit.

"Kau ini Temmalara, benar-benar berbeda dari orang kebanyakan."

"Seperti ini kan kita bisa berbicara santai daripada iya Tuan, siap Tuan, seperti orang bodoh saja."

"Kalau begitu aku juga bodoh," ketus Kirara.

"Benar kalau tidak bodoh kenapa bisa jadi budak. Kita ini seumuran, kalau kau tidak bodoh pasti bisa mendapatkan sesuatu yang lebih layak hahaha," balas Temmalara berusaha untuk tertawa.

Tiba-tiba Kirara berdiri dan duduk di sampingnya. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada Temmalara.

"Dari tadi kau sengaja menahan diri kan?" tanya Kirara.

"Ah tidak kau ini susah diajak melawak. Bosan..." jawab Temmalara.

"Aku ini gundikmu jadi tidak perlu menahan diri Tuanku."

"Kau ini merusak suasana saja lagipula siapa pula yang mau menjadikanmu gundik. Maaf tapi aku lelah ingin tidur besok ada tugas patroli malam," ujar Temmalara

"Sialan si Kirara dia menyusahkan saja, apa yang harus aku lakukan... cih! kenapa ini pikiranku," gumamnya dalam hati.

"Kau ini masih terlalu cepat."

"Oh besok buatkan aku masakan ikan dan buatkan kopi Toraja yang kita beli tadi ya."

"Baik aku jamin rasanya tidak akan mengecewakanmu."

Temmalara kemudian berbaring di atas ranjang dan perlahan mulai menutup matanya. Ia berusaha untuk memikirkan pekerjaan yang akan dilakukan esok harinya. Tengah malam saat ia sudah tertidur, Kirara diam-diam masuk ke kamarnya.

"Perampok!" teriak Temmalara secepat kilat mengambil parang di mejanya.

"Bukan Tuan, Ini aku Kirara duh... aku juga mau tidur di sampingmu, lelah tahu mengambil air dari Danau. Kenapa Rumahmu ini tidak digali sumur," ketus Kirara langsung merebahkan diri ke kasur.

"Aduh... mimpiku ini aneh sekali." ujarnya berbalik lagi ke kasur setelah meletakan parangnya.

"Temmalara panas ya apa kau bisa tidur?" tanya Kirara melirik wajah Temmalara.

"Hah... hah! kenapa tidur di sini," jawab Temmalara kebingungan.

"Haha kau ini... seperti yang kau bilang tadi Temmalara, sungguh bodoh orang yang menyia-nyiakan kesempatan."

"Baiklah kalau kau cerdas sekarang lihat rasi bintang itu Kirara. Amati bintang beserta keindahannya." balasnya seraya membuka jendela lalu berpaling ke belakang. 

"Kenapa kau malah buka Jendela?" tanya Kirara penasaran.

"Intinya kau fokus pandangi bintang itu sampai kuperintahkan untuk berhenti. Aku ini Tuanmu," balas Temmalara perlahan mengambil ancang-ancang meninggalkan ruangan.

Temmalara diam-diam kabur dari Rumahnya menuju Penginapan. Kirara yang menoleh lagi ke arah pintu merasa sedih karena tidak dipedulikan oleh Temmalara. Menurutnya tidak ada pria sebaik dirinya.

--

Setelah pulang dari masjid menunaikan sholat subuh, Temmalara menghampiri Mario dan Anakbatu.

"Knapa tidak bilang kalau Kakak menginap juga tadi, tapi ada masalah apa sampai harus ke penginapan. Oh apa jangan-jangan sehabis bertengkar dengan Gundik ya?" tanya Anakbatu.

"Untuk sekarang jangan bahas itu." jawab Temmalara.

"Baiklah... aku jadi iri, Kakak kira-kira kapan kita dibutuhkan untuk membantu Prajurit Wajo lagi. Aku sudah tidak sabar,"

"Hah kau ini... Mario ada yang ingin aku bicarakan padamu." ujar Temmalara menepuk pundak Mario.

"Jangan keras-keras aku ini masih mengantuk," balas Mario.

"Hayoh! kalian berdua ingin membicarakan apa," sahut Anakbatu menepuk pundak mereka berdua.

Sebelum memasuki Kamar yang ia sewa, Temmalara menyuruh Anakbatu untuk tidak ikut pembicaraan mereka berdua. Mario tidak dapat menerka rahasia apa yang ingin disampaikan kepadanya.

"Ingin mandi, tapi bosan dengan gerakannya," ucap Mario ingin mencairkan suasana.

"Tidak lucu... sudah kuduga kau belum siap untuk menikah. Kapan kau ini siap menikahnya," balas Temmalara.

"Maksudmu kau ingin aku menikah, tapi kau tahu sendiri. Aku belumlah siap mengurus Anak, kau ini bilang dari awal. Kenapa Anakbatu tidak diajak sekalian tadi,"

"Intinya kau mau menikah, iya atau tidak?" tanya Temmalara.

"Tentu saja mau, orang waras mana yang tidak ingin membina bahtera rumah tangga," jawab Mario.

"Karena itu kawanku aku ingin kau menikahi Kirara, budak miliku. Tenang saja ia masih belum tersentuh lelaki mana pun."

"Apa kau serius?" tanya Mario keheranan.

"Untuk apa aku bercanda demi Allah kau akan kunikahkan dengan Budak itu."

"Aku tidak bisa... terima kasih! jujur selama ini kau tahu kalau gadis dari desa maupun kota selalu menjauhiku," tangis mulai keluar dari matanya.

"Haha kau ini ingin kunikahkan malah menangis. Seharusnya kau merasa bangga karena dirimu itu kuat Mario."

"Terima kasih..."

"Bukannya tertawa kau ini semakin menjadi-menjadi. Setelah ini kita diburu oleh waktu Mario. Sebelum Kirara jatuh cinta kepadaku,"

"Kurasa dia telah mencintaimu ya mau bagaimana lagi. Tidak sepertimu yang memiliki banyak kelebihan, diriku hanya memiliki banyak kelemahan."

Brak!

"Sakit bodoh kenapa dadaku kau tinju!?"

"Teguhkan hatimu, untung saja yang mengenaimu bukan badik."

"Haha benar juga... beruntung sekali ya kau Temmalara."

"Memang wajar kalau teman harus saling tolong menolong."

"Tapi bagaimana jika perasaan Gadis itu terluka nanti?" tanya Mario.

"Siapa yang peduli, kau tahu sendiri apa jadinya jika mengikuti perasaan wanita," jawab Temmalara.

"Benar juga karena itu mulai sekarang kita bertiga adalah kawan sehidup semati!" sahut Mario.

"Oh jadi sebelumnya kau bukan kawanku ya," balas Temmalara.

--

Setelah ayam berkokok, Temmalara kembali ke rumahnya. Bau sedap makanan sudah tercium ketika ia berada di Depan Pintu.

"Assalamualaikum Kirara," ucap Temmalara.

"Waalaikumsalam, iya Tuanku silahkan masuk," balas Kirara.

"Wah makanan mahal sungguh istimewa," ujar Temmalara langsung duduk di meja makan.

"Ah tidak juga dulu aku sering memakan santapan yang lebih mahal."

Tanpa mempedulikan Kirara yang sengaja tampil mempesona, Temmalara langsung menyantap hidangan yang dibuat Gundiknya itu. Ia melahap semuanya hingga membuat Kirara merasa jijik melihatnya.

*Nyam*

*Slurp*

*Gluk*

"Ternyata seperti itu cara makanmu..." ucap Kirara.

"Sifat aslimu bisa keluar juga rupanya haha, wajar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan." seru Temmalara dengan percaya diri seraya membusungkan dadanya.

"Hihi benar Tuan, tidak boleh sampai satu bulir nasi yang tersisa," jawab Kirara berusaha tersenyum manis.

"Kalau begitu mau sampai kapan kau jadi Gundikku Kirara?" tanya Temmalara sambil menyeruput kopi.

"Aku sudah merasa nyaman bersamamu Temmalara. Jadi aku ingin agar... tolong jangan jual diriku."

"Maaf saja Kirara," ucap Temmalara sambil memandangi kopinya.

"Tidak usah minta maaf Tuanku sungguh..."

"Menikahlah dengan Mario," balasnya menyeruput kopi dengan santai.

Dari tatapan matanya saja, Temmalara sudah tahu kalau Kirara telah jatuh cinta kepadanya. Ia harus cepat bertindak jika tidak maka rencana untuk menikahkan Mario dengan Kirara akan gagal.

"Temmalara kau... kenapa? apa kurangnya aku di matamu," ujar Kirara tertunduk dengan tatapan sayu.

"Aku akan membebaskanmu, tentu kalau kau mempersembahkan semuanya untukku seperti yang kau bilang malam tadi."

"Jadi kau ingin menikahiku kan?" balas Kirara tersenyum. Ia merasa mungkin ada secercah harapan Temmalara bisa berubah pikiran.

"Kau ini dimana pun berada membebaskan budak itu ada syaratnya. Kirara ayo kita buat kontrak, kau pasti tidak akan mau selamanya jadi budak. Meski dengan orang terkasih," balas Temmalara

"Ternyata kau licik juga," ketus Kirara, matanya mulai meneteskan air mata.

"Nanti siang kita akan berangkat ke rumah orang tuamu bersama Mario. Aku sudah tahu latar belakangmu dari informan sebelum kesini. Ternyata Rumah Orang Tuamu dekat dengan Rumahku. Bagaimana apa kau tertarik membuat kontraknya atau apa aku harus menjualmu saja, kesabaranku mulai habis Kirara."

"Terserah kau saja!" bentak Kirara.

"Ah bodohnya perjaka ini, hanya demi teman saja. Padahal aku mencintaimu," gumam Kirara dalam hati.

"Akhirnya bebanku berkurang haha!" Temmalara bergumam dalam hati.

--

Mereka berempat saat ini sedang berada di Kediaman Orang Tua Kirara. Anakbatu tidak ikut masuk ke dalam dan lebih memilih untuk menunggu mereka bertiga di Tangga Rumah. Mereka bertiga yang saat ini tengah berhadapan dengan Orang Tua Kirara di Ruang Tamu.

Setelah cukup lama mereka bertiga mengobrol dengan Ayah Kirara, Mario masih belum berani untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

"Sebentar lagi musim kemarau tapi hujan turun setiap hari," ucap Ayah Kirara.

"Iya Paman angin musim sepertinya tidak menentu," balas Mario.

"Wah kau sedikit banyak tahu tentang angin musim."

"Oh tentu saja... Paman juga pasti dapat menerka maksud kedatangan kami. Temanku Mario ingin melamar anak bapak!" timpal Temmalara.

"Andaikan Tuanku melamarku," gumam Kirara dalam hati.

"Be...benar anu aku ingin me..melamar anak bapak. Jadi mohon restui hubungan kami," ujar Mario agak gugup.

"Oh sudah kuduga tapi maaf saja menjadi wali untuk anak ini hanya buang-buang waktu saja. Lagipula kau kan Tuannya, kenapa tidak kau jadikan seperti selir sana. Kalau kau ingin membantu pernikahan Kirara, memangnya kalian sanggup membayar Panai (uang lamaran dalam adat Bugis). Meskipun sekarang dia itu budak, namun dalam diri anak gadisku mengalir darah Arung."

"Iya ya ini Wajo..." silap Mario, mulai berkeringat dingin.

"Hah! sebenarnya yang ingin melamar Kirara kau apa temanmu!?" bentak Ayah Kirara.

"Akan aku bayar nanti sekalipun kau meminta beberapa kati (peti) emas. Tapi tolong restui hubungan Mario, mereka berdua memang saling mencintai. Aku ingin membantu Mario yang pemalu untuk mempersembahkan cintanya," ujar Temmalara sambil menunduk di lantai.

"Jelas-jelas anakku cinta kepadamu Temmalara. Kau pikir aku ini bodoh apa, aku Ayahnya. Ya terserahlah aku sudah malas mengurusnya biar Kakak atau Pamannya saja yang jadi wali. Bodohnya kau ingin menguji sampai sejauh mana keberuntunganmu itu iya kan, sekali petani tetaplah petani. Meski kau jadi Letnan sekalipun darah tidak akan bisa dibohongi. Seumur hidupmu Temmalara kau akan diinjak-injak orang lain hahaha!" timpal Ayah Kirara tertawa lepas.

Slap!

"Jangan pernah hina Tuanku!" balas Kirara setelah menampar Ayahnya sendiri.

"Durhaka kamu! beraninya!" teriak Ayahnya langsung mengeluarkan badik.

"Jangan sakiti Kirara! hadapi aku Paman!" spontan Temmalara mengelurkan parangnya.

"Dasar pengecut kau tidak berani bertanggung jawab menikahi anakku! lebih baik kalian bertiga mati saja!" bersiap akan menghujamkan badiknya pada Temmalara.

"Tolong tenanglah! aku kesini untuk melamar Anakmu bukan untuk bertarung!" tegas Mario.

Akhirnya semua memilih untuk mengalah. Meskipun sempat terjadi keributan, namun pada akhirnya Temmalara berhasil menjodohkan Mario dan Kirara. Temmalara merasa puas dapat membebaskan Kirara dari belenggu perbudakan dan menitipkannya pada Mario.

Setelah lamaran itu selesai, ia meminta izin untuk pulang ke Somba Opu sekaligus meminjam uang untuk membantu Mario membayar panai kepada Kapten Karassa. Orang yang tepat untuk meminjam uang karena Karassa memiliki usaha peternakan ayam yang besar.

Kapten itu memberikan izinnya dengan mudah. Letnan memang memiliki kelonggaran lebih jika dibandingkan dengan Prajurit.

Setelah meminjam uang, terlebih dahulu ia memeriksa ulang para bawahannya. Malam ini ia tidak berpatroli karena harus pergi meninggalkan Tosora untuk menghadiri acara sahabatnya sebagai saksi.

"Giliran Mario huh! tidak adil kau ini!" ketus Anakbatu.

"Malah merajuk kau ini padahal budak banyak," sahut Temmalara.

Sore itu mereka berdua berjalan perlahan menuju rumah, dari pandangan para prajurit benteng terlihat raga mereka semakin kecil hingga akhirnya menghilang di bawah sinar matahari yang semakin redup.