Tiara lebih masuk ke dalam kamar dibanding harus menjawab pertanyaan dari Sartika. Menghempaskan tubuhnya dengan kasar karena merasa lelah, belum lagi nanti harus balik lagi untuk membungkus snack di masjid. Sebenarnya Tiara ingin menolak kalau harus balik lagi, tapi dia tidak bisa karena merasa tersihir ketika melihat wajah Zaidan di depannya terlebih Zaidan menunjukan senyum manisnya. Perlahan mata Tiara menunjukan rasa kantuknya hingga dia tertidur.
Setelah Raza mengantar mamanya, dia pun masuk ke kamar dan membuka handphonenya.
"Kok telepon gue gak diangkat sih?" tanya Raza mencoba menghubungi Tiara tapi tidak diangkat.
Akhirnya dia meletakkan dengan asal handphonenya di atas nakas.
Tok... Tok...Tok...
Sartika mengetuk pintu kamar putrinya.
"Iya, Ma. Aku udah bangun kok, lagi pakai kerudung."
Setelah rapi Tiara keluar kamar, memakai gamis berwarna salem dipadu dengan kerudung berwarna hitam. Sartika dibuat kagum dengan penampilan putrinya.
"Cantik betul putri, Ibu," puji Sartika.
"Ya iya dong, Ma. Cuma sayang belum ada gebetan," jawab Tiara santai.
"Bukan gak ada, tapi kamu pemilih. Lagi pula masih sekolah, belum waktunya memikirkan hal seperti itu," jelas Sartika.
Tiara pun terkekeh dan berpamitan kepada Sartika.
"Hati-hati bawa motornya, jangan mentang-mentang mau ketemu kamu ngebut," pesan Sartika sambil terkekeh.
"Mama apaan sih, banyak orang tau di sana. Nggak cuma aku sama kak Zaidan doang," balas Tiara.
Sartika hanya tertawa lalu masuk ke dalam rumah. Tiara pun menjalankan motornya menuju masjid. Tidak butuh waktu lama, Tiara sampai dan segera memarkirkan motornya.
"Assalamualaikum," salam Tiara kepada Zaidan yang ternyata baru sampai.
"Waalaikumsalam, kamu baru sampai?" tanya Zaidan.
Tiara tersenyum dan mengangguk, lalu mereka berdua masuk ke dalam masjid. Beberapa pasang mata melihat kedatangan Tiara dan Zaidan, bahkan ada yang berbisik tentang kebersamaan mereka.
"Kamu sudah sampai, Nak. Sini bantuin Ibu," kata Ratih.
Tiara langsung menghampiri Ratih yang sedang memilah snack untuk dimasukkan ke dalam satu kardus snack.
"Hari ini kamu cantik, Nak," puji Ratih melihat Tiara yang sibuk memasukkan minuman gelas ke dalam kardus.
"Terima kasih, Bu," jawab Tiara sopan.
"Oh iya, bagaimana jawaban kamu. Mau kan menemani Ibu ke seminar nanti?" tanya Ratih memastikan.
"Saya belum tau Bu. Nanti kalau sudah tau kegiatan saya kosong, secepatnya akan menghubungi bisa atau tidaknya," jelas Tiara.
Ratih menjelaskan maksudnya kenapa mengajak Tiara datang ke seminar bersama. Tiara pun tersedak saat mendengar penjelasan Ratih, karena bisa dipastikan Tiara merasakan gugup yang luar biasa. Tiara tidak bisa mengartikan dengan jelas, yang dia pikir adalah kalau Ratih setuju jika dia mempunyai hubungan dengan putranya yaitu Zaidan.
Akhirnya acara membungkus snack telah selesai, saat Tiara ingin pamit pulang tapi di tahan oleh Ratih dengan alasan ingin mengenal lebih dekat. Zaidan yang merasa curiga, ikut mendengarkan percakapan mereka.
"Memangnya kenapa kalau kamu masih kelas satu? Lagi pula Ibu hanya berencana saja," terang Ratih.
Tiara hanya bisa terdiam karena tidak tau harus menjawab sepeti apa, terlebih objek yang dibicarakan berada di depannya dan seakan juga menunggu jawaban.
"Kamu jangan mikir macam-macam, Sayang. Ibu hanya mengutarakan isi hati Ibu saja, entah kenapa kalau melihat kamu mengingatkan Ibu waktu muda dulu," kekeh Ratih.
Tiara tertawa mendengar pernyataan Ratih dan membalas, "Masa sih, Bu? Saya ini bukan apa-apa, ikut pengajian aja kalau dipaksa sama mama. Sedangkan Ibu dari keluarga yang sepertinya menjunjung tinggi agama, dibanding saya yang hanya diteriaki baru dijalankan."
"Nggak semua orang langsung bisa, Tiara. Saya saja awalnya belajar dan Alhamdulillah jika diyakini lama-kelamaan akan terbiasa." Kali ini Zaidan angkat bicara.
"Iya kan, kalian saling mengenal saja dulu. Lagi pula, Ibu dengan mama kamu sering membicarakan kalian loh," jelas Ratih.
Betapa terkejutnya Tiara saat mendengar penjelasan Ratih karena yang dia tahu mamanya tidak memberitahukan apapun perihal ini. Melihat tingkah Tiara dihadapannya membuat Zaidan gemas sendiri dan berkata, "Jika memang berjodoh semuanya akan dipermudah, kita hanya berencana yang menentukan adalah Sang Maha Pencipta."
Lagi-lagi Tiara dibuat terkejut dengan ucapan ibu dan anak yang ada didepannya. Terlebih Tiara tidak bisa membalas dan memang tidak tahu harus berkata apa. Hanya kegugupan yang menyerang dirinya dan pikirannya entah dimana berada. Saat ini yang dia tahu adalah kalau Zaidan mempunyai perasaan terhadap dirinya, entah dimulai dari mana dia mempunyai perasaan seperti itu. Rasanya ingin bertanya lebih perihal perasaan yang sedang melandanya tetapi tidak bisa, hanya diam seribu bahasa.
"Jangan kamu pikirkan ya, Tiara. Ibu memang seperti itu berbicara tanpa memikirkan perasaan yang diajak bicaranya. Beliau hanya mengutarakan perasaannya saja," jelas Zaidan mengantar Tiara sampai depan motor.
Tiara pun memberanikan diri untuk berbicara apa yang sedari tadi ditahannya.
"Bukannya saya geer atau apa ya, Kak. Cuma menurut saya tuh ini dadakan banget. Terlebih Kak Zaidan menyinggung jodoh tadi, jujur saya juga nggak tau harus ngomong apa."
"Kalau saya mewujudkan permintaan ibu bagaimana?" tanya Zaidan.
"Mewujudkan?" tanya Tiara tambah bingung.
"Sebenarnya saya sudah memperhatikan sudah lama, mungkin semenjak kamu menghadiri pengajian mingguan pertama kali. Saya masih ingat, disaat saya sedang ceramah tatapan kamu tidak pernah teralihkan ke saya atau memang saya saja yang kepedean kali ya," kekeh Zaidan.
Deg...!
Ternyata Zaidan menyadari tatapan Tiara waktu itu, saat ini suara detak jantung Tiara terasa cepat. Memang benar yang di ucapkan oleh Zaidan kala itu, Tiara tidak berkedip melihat Zaidan yang sedang ceramah.
"Kalau memang benar, apa kamu mengizinkan saya untuk mengenal kamu lebih dekat?" tanya Zaidan dengan nada serius.
Tiara membuka mulutnya sedikit karena terkejut dengan pertanyaan dari Zaidan. Matanya terus melihat wajah yang sedang tersenyum di depannya. Tiara terkikih saat menyadari sikapnya.
"Kak Zaidan nggak salah ngomong?"
"Kalau memang nggak boleh, ya apa boleh buat. Mungkin perasaan saya hanya sebatas ini," jawab Zaidan.
"Bu-bukan gitu maksudnya, Kak. Tapi ini dadakan loh kaya kang tahu, jadi syok aja gitu," kekeh Tiara.
"Tadi saya sudah bilang jangan terlalu dipikirkan, saya hanya bertanya apa diizinkan untuk mengenal kamu lebih dekat?"
"Ya kalau sekedar kenal kenapa enggak," jawab Tiara cepat.
Senyum Zaidan mengembang mendengar jawaban Tiara.
Tiara pun sampai ke rumah dan langsung menemui Sartika serta bertanya maksud perbincangannya dengan Ratih tadi.
"Jadi selama ini, mama sama Bu Ratih sering ngomongin aku?" cecar Tiara.
"Bukan ngomongin, tapi kami saling bercerita. Mama juga kaget waktu Bu Ratih itu tanya-tanya tentang kamu," jawab Sartika.
"Tadi aku tuh bingung banget, Ma. Sumpah, aku nggak tau harus jawab apa sama beliau," jelas Tiara, "Lagi pula aku masih kecil, masa udah mikir jodoh-jodoh gitu sih."
Mendengar kalimat putrinya, Sartika tertawa.
"Tadi kan kamu bilang, kalau jangan dipikirkan. Mereka hanya mengutarakannya saja, lagi pula mereka tau kok kalau kamu masih sekola," balas Sartika bermaksud untuk mengurangi kekhawatiran putrinya.
"Iya sih, tapi kan aku aja syok loh, Ma. Nanti kalau tiba-tiba mereka datang kesini terus ngelamar aku, bagaimana?" tanya Tiara.