webnovel

H+5 Part 3

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya jika aku akan ada di dalam barisan orang-orang yang berjalan ke arah pemakaman untuk menghantarkan seseorang. Tapi hari ini aku berjalan bersama dengan orang-orang untuk menghantarkan kakek.

Di tengah kekacauan hatiku yang baru saja menyadari kepergian kakek, mataku mendapati ada begitu banyak anak kecil yang turut berjalan di antara kami. Anak-anak berusia sepuluh tahun, tanpa pengawasan orang tua mereka berjalan di barisan paling depan. Begitu pula ketika jasad kakek dimasukkan ke dalam liang lahad, sekelilingnya dipenuhi oleh anak-anak.

Anak-anak yang ketika kakek masih hidup selalu dibuat menangis. Entah karena omelan dari kakek, entah karena pukulan yang sengaja dilayangkan kakek padanya, atau karena jajanan yang mereka miliki dimakan oleh kakek.

Aku yakin anak-anak itu punya kenangan mereka sendiri dengan mendiang kakek.

Semasa kakek hidup, waktunya selalu dihabiskan dengan duduk di teras rumah. Menghadap jalan tempat orang-orang selalu berlalu lalang. Atau ikut berkumpul ketika anak-anak itu sedang menghabiskan waktu di rumahnya.

Banyak orang tahu bagaimana perlakuan kakek pada anak-anak, tapi tidak ada satupun dari orang tua mereka yang keberatan. Mereka bahkan selalu menganjurkan agar anak-anak itu membagi makanan mereka dengan kakek. 

Seseorang pernah mengatakan sesuatu tentang hal ini, "Kita gak bisa kasih apa-apa ke kakek, tapi setidaknya kita bisa berbagi apa yang sedang kita makan untuk kakek makan,."

Aku bersyukur, orang-orang sangat memaklumi bagaimana tabiat kakek semasa hidup.

Ketika penyakit-penyakit itu belum singgah di tubuh kakek, Kakek akan selalu berkeliling membangunkan orang-orang untuk sahur ketika masa puasa Ramadan tiba. Kakek akan berteriak dengan suara khasnya memanggil semua orang. Bahkan ketika penyakit itu mulai singgah, dengan bantuan tongkat kayu kakek selalu berjalan setiap pagi ke rumahku. Kakek selalu memanggil namaku dan adik-adikku satu demi satu.

Kakek juga tidak pernah lupa membagikan makanan untuk anak-anak yang ada di sekitarnya. Kakek juga tidak segan makan bersama dengan anak-anak di tempat yang sama.

Kecintaan kakek kepada anak-anak jelas terlihat hasilnya ketika hari pemakaman kakek yang sebagian besar dipenuhi oleh anak-anak. Ketika tahlinan hingga hari ketujuh pun demikian.

Aku selalu beranggapan jika malam tahlilan yang diadakan untuk kakek memang selalu mengisi penuh rumah kakek hingga ke teras rumah. Tapi yang sama sekali tidak kusangka adalah, orang-orang yang hadir tidak hanya sebatas memenuhi teras rumah, melainkan hampir sepanjang jalan yang membentang di depan rumah nenekku.

Salah seorang sepupuku mengatakan, jika jalan-jalan itu terpaksa digunakan karena tidak mampu menampung orang-orang yang hadir di teras rumah. Karena itu pula, akses orang berlalu lalang melalui jalan itu harus terhenti selama beberapa lama. Yang lebih membuatku terkejut adalah, sebagian besar orang yang hadir adalah anak-anak, baik yang dikenalnya ataupun tidak. 

Hal itu berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Selama itu pula aku selalu menghabiskan waktu di kediaman kakek. Mengurus segala sesuatunya untuk malam tahlil selanjutnya.

Sampai di hari kelima kematian kakek, sekitar pukul delapan pagi aku dan nenek sedang bersantai di atas kasur. merebahkan diri setelah lelah mengurusi semua hal selama beberapa hari terakhir. Kami berdua berbincang hingga sampai pada pembahasan mengenai budeku.

Kami berdua memiliki kekhawatiran yang sama tentang kondisi bude saat ini yang sedang tidak baik-baik saja. Ditambah ia sedang berada di luar kota seorang diri.

Aku dan nenek mengatakan tentang keinginan bude menghabiskan masa pensiunnya di tempatku. Nenek sangat menyambut baik rencana itu, ia bahkan sudah merancang segala sesuatunya untuk membuat bude merasa nyaman.

Tapi yang selanjutnya terjadi benar-benar di luar dugaan kami. Adikku datang dengan begitu tergesa. Ia menghampiriku dan memintaku untuk segera pulang.

"Bude udah meninggal"

Kabar itu sekali lagi menghujam jantungku. Belumlah kering luka hati karena kematian kakek, kini kematian bude menambah dalam luka yang ada di hatiku. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah orang-orang yang menjadi alasanku untuk berjuang. Alasanku untuk bertahan sampai dengan saat itu adalah bude dan kakekku. Tapi rupanya Tuhan lebih menginginkan mereka dan mengambil mereka berdua di waktu yang berdekatan.

Mendapati kabar yang begitu tiba-tiba itu, membuatku dan nenek bergegas menuju rumah.

Kepergian mereka berdua memang begitu memilukan. Dari yang tampak oleh kedua mataku, kepergian kakek begitu menyiksa bagi bibiku, sedangkan kematian bude begitu menyiksa ibuku. Sementara aku, untuk sekali lagi tidak meneteskan air mataku.

Ibuku benar-benar terluka atas kematian kakak tertuanya. Ia meraung meratapi apa yang sedang dihadapinya. Yang membuat pilu ibuku adalah kenyataan bahwa bude meninggal seorang diri di dalam kamar kosnya. Berjam-jam lamanya ia mencari rumah sakit, tapi tidak ada satupun yang mau menerimanya, lantaran kondisi rumah sakit yang sudah penuh akibat menumpuknya pasien covid.

Baru setelah beberapa lama, bude tiba di rumah sakit tapi dokter menyatakan jika ia sudah tidak lagi bernyawa. Yang lebih memilukan dari ini adalah, tidak ada satupun keluarga yang mendampinginya hingga saat ia dimakamkan.

Apa yang dilalui bude benar-benar membuatku mengelus dada. Berbanding terbalik dengan apa yang kulakukan di hari kematian kakek, pada hari kematian bude aku sama sekali tidak mampu melakukan apapun. 

Yang bisa kulakukan hanyalah menguatkan diriku lantaran kehilangan dua orang menopang hidup. Mendengar bagaimana kelanjutan dari pemakaman bude yang begitu sulit dan bagaimana kesusahannya ibuku menghubungi saudara-saudaranya yang lain untuk membantunya mengurusi pemakaman kakak tertua mereka.

Hari-hari belakang ini benar-benar menguras tenaga, pikiran, serta keadaan psikisku. Bagimana rasa yang ada di hatiku saat ini belum bisa kujelaskan dengan begitu detail. Tapi tentang hatiku yang keras di hadapan setiap orang benar-benar membuatku bertanya-tanya.

Bagaimana bisa Tuhan membuatku memiliki hati yang sedemikian keras, hingga kepergian dari dua orang yang kusayangi tidak mampu membuatku menangis tersedu-sedu di saat itu pula. Hanya ketika aku sendiri dan mengingat semua hal itu di dalam pikiranku, barulah air mata itu mau mengalir dengan begitu deras.

Walau demikian, aku bersyukur karena aku memiliki hati yang seperti itu. Tidak menjadikanku sebagai penambah kekacauan di tengah duka hati yang mengimpit kami semua.

Tuhan benar-benar mengambil orang-orang yang kusayangi sebelum aku sadar tentang diri mereka yang begitu berharga bagi kehidupanku. Kakek mengajarkanku kasih sayang tanpa pandang bulu, membantu sesama tanpa pamrih. Sementara budeku mengajarkanku menjadi seorang yang bercita-cita tinggi. Menjadikanku seorang perempuan yang tidak harus bergantung pada pasangannya. Mengajarkanku jika kesuksesan yang dimiliki dan keberhasilan yang telah diraih membuat kita tidak mudah diremehkan oleh setiap orang.

Semua hal itu masih tetap terngiang di dalam kepalaku. Rupanya Tuhan memberikanku orang-orang yang begitu berharga. Kehadiran mereka memiliki tugas dan peran masing-masing untuk mendidik dan mengajari diriku tentang hal-hal yang berbeda dan tentu pelajaran hidup yang berharga untukku.