webnovel

Oh Mas Arya

Cuma kisah seorang remaja putra, masih SMA yang jatuh cinta sama seorang pemuda kampung, miskin dan ditinggal istirnya menjadi TKI Tidak disanggka kalo ibu kandungnya, ternyata adalah saingan terberatnya. Bagaimana perjuangan Bagas menghadapi gejolak batin? Mampukah ibunya Bagas mendapatkan hati Arya? Lalu, apakah istri Arya akan kembali dari luar negeri? ===== Bagi Bagas, mencintai pria straight itu ibarat mendekatkan diri dengan api unggun. Awalnya hangat, dan menyenangkan, tapi jika terlalau lama dan mencoba untuk semakin dekat, akan terasa panas, membakar, dan sangat menyiksa.

Altwp · LGBT+
Sin suficientes valoraciones
104 Chs

Ada apa denganmu?

Suara Ayam jago yang berkokok sudah terdengar saling bersahut-sahutan. Adzan subuh juga sudah terdengar berkumandang dari berbagai penjuru arah. Meskipun semalam Arya tidurnya sudah agak larut, tetapi sudah menjadi kebiasaanya selalu bangun saat mendengar suara Adzan. Bahkan biasanya ia sudah lebih dulu terbangun sebelum Adzan dikumandangkan.

Arya menyibahkan bedcover yang menutupi tubuh telanjangnya. Setelah adegan panas yang ia lakukan dengan Bagas semalam, ia memang baru sempat memakai celana dalam saja.

Setelah bercinta dengan Bagas, Arya juga lebih banyak diam walaupun Bagas memberikan berbagai macam pertanyaan untuknya. Sampai akhirnya keduanya tertidur tanpa ada obrolan setelah hubungan panas yang mereka lakukan.

Arya bangun dari tempat tidur, kemudian ia duduk di sisi ranjang sambil menggeliat untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Lalu pada saat menggeliat Arya menoleh kebelakang, melihat Bagas yang masih meringkuk sambil memeluk guling, dan hanya memakai celana dalam saja.

Bagas sengaja tidur tidak menggunakan bedcover untuk menghangatkan tubuhnya, karena ia merasa kasihan saat melihat Arya tidur kedinginan karna terkena AC. Ia juga merasa tidak enak jika ikut masuk, atau berbagi selimut dengan Arya. Oleh sebab itu Bagas membiarkan dirinya tidur kedinginan, sambil melamun memikirkan sikap Arya yang tidak memberikannya penjelasan apapun.

Terlihat Arya mulai berdiri dan berjalan ke arah sofa. Saat sedang mengambil handuk yang ia taruh di dalam tas, sekilas Arya menoleh pada Bagas yang terlihat seperti sedang kedinginan. Wajahnya terlihat datar, dengan tatapan mata yang sangat sulit diartikan.

Setelah menutupi bagian bawah tubuhnya dengan handuk, Arya kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Namun Saat ia akan membuka pintu kamar mandi, terlihat Arya terdiam untuk beberapa saat. Lalu ia berjalan kembali ke Arah ranjang, untuk menutupi tubuh Bagas menggunakan bedvover. Setelah itu Arya melanjutkan niatnya ke kamar mandi untuk mandi junub.

Setelah berada di dalam kamar mandi, Arya membuka handuk yang menitupi bagian bawah tubuhnya. Air hangat yang berasal dari shower langsung menghujani tubuhnya kekarnya, setelah ia memutar kran. Terlihat Arya mengambil sabun cair kemudian ia menumpahkan ke bagian kemaluannya yang masih terbungkus celana dalam. Saat sedang menggosok alat vitalnya, terlihat Arya diam dan melamun. Matanya terpejam, dan rahangnya mengeras, ketika adegan ia sedang menggagahi tubuh Bagas, melintas di benaknya. Telapak tangannya mengepal dan, "buugh... buugh..." Arya memukul tembok kamar mandi selama beberapa kali.

Beberapa saat kemudian, di atas ranjangnya, terlihat Bagas sedang menggeliat, dan matanya mulai terbuka. Bagas mengkerutkan kening saat ia melihat selimut hangat yang membalut tubuhnya. Bibirnya tersenyum simpul, karena ia merasa yakin jika yang menutupi tubuhnya dengan bedcover adalah Arya.

Bagas yang sudah memakai seragam SMA berjalan menuju ruang makan. Bibirnya tersenyum simpul saat melihat seorang pria yang sudah menggagahinya tadi malam, sudah duduk di sana.

"Udah siap dek?" Tanya Arya dengan wajah yang masih datar.

"Eh.. iya mas," jawab Bagas sambil menarik kursi. "Bangun jam berapa mas? Kok aku nggak dibangunin? Kan aku pingin sholat jama'ah bareng mas?" Imbuh Bagas setelah ia menempelkan bokongnya di kursi.

Arya menjawabnya hanya dengan senyum yang sangat tipis.

"Kamu pulang jam berapa nanti dek?"

"Biasa mas, jam empat lebih paling udah di rumah," jawab Bagas. Terlihat ia mengkerutkan kening menatap Arya penuh tanya. "Kenapa emangnya mas?"

"Nggak papa, mas pingin ngobrol sama kamu."

"Ngapa nggak sekarang aja?" Usul Bagas penasaran.

"Nanti saja, mas tunggu kamu." Arya beranjak dari kursinya kemudian ia berjalan meninggalkan Bagas seraya berkata. "Mas tinggal ke teras, kamu terusin sarapannya, mas udah selesai."

Bagas memanyunkan bibir bawahnya, matanya teduh menatap punggung Arya yang sedang berjalan ke arah luar. Tiba-tiba saja hatinya merasa gelisah. Rasa bahagianya karena akan sarapan bersama Arya seketika hilang oleh sikap Arya yang terlihat dingin pagi itu. Nafsu makannya pun seketika lenyap begitu saja.

Di Sekolah...

Bell tanda istirahat yang berbunyi sangat nyaring, membuat para pelajar berhamburan keluar kelas. Berbeda dengan Bagas yang nampak tidak bersemangat hari itu. Wajahnya terlihat sangat lesu.

Kejadian tadi malam adalah pengalaman pertama baginya, sebenarnya ia tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi. Walaupun ia sebenarnya sangat bahagia karena bisa melakukan itu dengan Arya, pria yang sangat ia idam-idamkan. Tapi melihat sikap Arya hari ini, pikirannya menjadi sangat tidak tenang, dan ia merasa serba salah dibuatnya.

Bagas menidurkan kepalanya di meja, menggunakan kedua tangannya untuk dijadikan bantalan.

"Gas..." suara Anggun yang memanggil seperti tidak terdengar olehnya. "Gas... Gas... Bagas!"

"Eh iya..." Bagas sontak tersentak karena Anggun menaikan nada suaranya. "Kenapa?"

"Kamu kenapa sih? Sakit?" Tanya Anggun sambil telapak tangannya memegang kening pacarnya.

"Eng... enggak, nggak papa!" Jawab Bagas gugup.

"Kantin yuk."

"Aku di kelas aja ya, tadi sarapannya banyak banget, masih kenyang." Jawab Bagas berbohong. Karena sebenarnya ia sedang merasa lapar akibat tidak sarapan pagi.

Anggun mendengus kesal menatap heran pada Bagas. "Ya udah, aku tinggal ya," pamit Anggun kemudian ia menoleh pada Yadi, teman sebangku Bagas. "Kamu mau di kelas juga?"

"Ntar aku nusul," jawab Yadi.

"Ya udah, titip pacarku ya?"

"Hem kayak bayi aja dititip segala." Ucap Yadi.

"Pokoknya awas kalau dia kenapa-kenapa," canda Anggun sambil berjalan ke luar kelas, diikuti oleh Ajank dan Era.

Sedangkan Bagas masih malas mengangakat kepalanya dari meja. Ia juga menahan pusing dan mual akibat perutnya yang masih kosong.

"Kamu kenapa Gas?" Tanya Yadi saat Anggun dan kedua temannya sudah keluar dari kelas. Sebegai teman satu bangku, tentu saja Yadi bisa mengetahui temannya yang selalu termenung sejak jam pelajaran pertama dimulai.

"Nggak papa?" Jawab Bagas seadanya.

"Yakin?"

"Iya ..." jawab Bagas.

"Yaudah, aku tinggal ya," pamit Yadi yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Bagas.

"Di..!"

Yadi yang beru berjalan beberapa langkah, langsung berhenti karena Bagas memanggilnya. "Kenapa Gas? Mau nitip?"

"Enggak," jawab Bagas. Kemudian ia mengambil tas dan mencangklongkannya di sebelah pundaknya. Ia berjalan mendekati Yadi yang masi bengong menatapnya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Yadi.

"Nanti tolong ijinin ya, aku mau pulang, nggak enak badan," ucap Bagas tidak sepenuhnya berbohong. Perut kosong yang membuat kepalanya agak sedikit pusing. Tapi bukan itu alasan kenapa ia harus bolos sekolah. Rasa penasaran, dan kegelisahan pada Arya yang membuat ia ingin segera pulang. "Tolong kasih tahu ke Anggun aku ijin." Imbuh Bagas.

Yadi mengkerutkan kening menatap Bagas penuh tanya.

"Kalau kamu sakit biar aku antar aja." Tawar Yadi.

"Nggak usah, aku bisa sendiri," sergah Bagas sambil berjalam keluar kelas.

Sedangkan Yadi hanya diam sambil memandangi punggung Bagas yang sudah lebih dulu jalan mendahuluinya.

===

"Assalamu'alaikum.."

Suara salam yang terdengar dari luar rumah, membuat ibu Sumi tergopoh-gopoh.

"Walaikumsalam.."

Jawab ibu Sumi ketika ia sudah berada di ruang tamunya. "Eh... dek Suratno, dek Ningsih.." ucap ibu Sumi ketia ia sudah membuka pintu, dan melihat siapa tamu yang datang ke rumahnya. Sekilas ibu Sumi menatap heran melihat tamunya yang berpakaian rapih. Karena sebenarnya tamunya itu masih tinggal satu kampung dengannya dan rumahnya tidak begitu jauh dengannya.

"Maaf mengganggu mbak yu," ucap Suratno. Ia memakai baju batik lengan panjang dipadukan celana dasar berwarna hitam. Kemudian ada peci yang ia pakai untuk menutupi rambutnya yang sudah beruban. Sedangkan istrinya Ningsih, ia memakai baju gamis.

"Ndak apa-apa, sama sekali ndak mengganggu, cuma lagi beres-beres dapur, jadi agak acak-acakan," ibu Sumi tersipu melihat penampilannya sendiri. Kemudian ia merapihkan kerudungnya seraya berkata, "monggo masuk-masuk dulu, jangan di luar," titah bu Sumi dengan ramahnya.

Perintah ibu Sumi langsung di turuti oleh Suratno, Ningsih, dan anaknya Dewi di belakang.

"Monggo silahkan duduk dulu, biar tak bikinin minum dulu,"

"Ndak usah repot-repot mbak yu," ucap ibu Ningsih.

"Biar aku aja yang bikinin ya bu? Nggak apa-apa toh?" Sergah Dewi.

"Iya bener mbak yu, biar Dewi saja yang bikin," ucap Suratno setujuh dengan maksud anaknya.

"Yasudah kalau begitu, jadi ngrepotin nduk Dewi."

"Ndak ngerepotin," kata Dewi sambil berjalan ke arah dapur.

Ibu Sumi hanya tersenyum simpul, kemudian ia menatap Suratno dan Ningsih secara bergantian. "Ayo silah duduk," titah ibu Sumi yang langsung dituruti oleh Suratno dan Ningsih.

"Memangnya pada mau kemana toh? Kok pada rapih-rapih," tanya ibu Sumi setelah mereka semua duduk di ruang tengah. Di kursi berbentuk hurud L.

Suratno dan Ningsih saling saling bersitatap, terlihat keduanya merasa tersipu.

"Ya mau ke rumah njenengan toh mbak yu," aku Ningsih dengan wajah yang masih tersipu.

Jawaban Ningsih tentu saja membuat ibu Sumi sedikit heran dan mengkrenyitkan keningnnya. "Lha ada-ada saja, cuma mau main ke sini saja kok rapih sekali, kirain pada mau kondangan." Goda ibu Sumi.

"Ha... ha..." Suratno terbahak mendengar candaan ibu Sumi, kemudian ia sekilas melihat pada istrinya, "ibu aja yang ngomong," printah Suratno pada istrinya dengan suara sedikit berbisik.

"Bapak aja, masak ibu toh?" Tolak istrinya. Suaranya juga tidak kalah berbisik.

"Ehem.." Suratno berdehem untuk menghilangkan rasa groginya. Kemudian pandangan matanya melihat ke pintu kamar, dan dapur. "Arya kemana mbak yu?" Tanya Suaratno yang penasaran karena belum melihat keberadaan Arya.

"Oh Arya masih nemenin anak yang kemaren pijit di sini itu lho?" Jawab ibu Sumi. Sedangkan Ratno dan Ningsih mengangguk-anggukan kepalanya. "Apa ada perlu sama bapaknya Adnan?"

Suratno menoleh sekilas pada istrinya sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan bu Sumi, "sebenarnya berhubungan dengan Arya, tapi tetep saya perlu berembuk sama njenengan dulu."

Ibu Sumi semakin tidak mengerti dengan maksud Suratno.

"Maksudnya gimana ya?" Tanya bu Sumi.

"Gini mbak yu_"

Kalimat Suratno terpotong karena terlihat Dewi keluar dari dapur dengan membawa nampan, yang di atasnya ada satu gelas kopi, dua gelas teh dan satu lagi air putih. Beberapa saat kemudian Dewi meletakn gelas berisi minuman di atas meja dan kembali duduk di dekat ibu Sumi.

"Sebenarnya aku bingung mau mulai dari mana ngomongnya," ucap Suratno setelah melihat Dewi duduk di kursi. "Kayaknya kok enggak pantas kalau kami yang harus datang kemari, tapi kalau nunggu njenengan apa Arya yang ke rumah, sepertinya kok ndak mungkin." Imbuh Suratno.

"Tapi aku kok masih ndak paham dek?" Ibu Sumi menatap secara bergantian ke tiga tamunya. Terlihat Dewi merunduk dan tersipu.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Suratno hembuskan secara perlahan. "Gini mbak yu, aku tahu Arya sama Santi itu masih ada ikatan suami istri, tapi menurut kabar yang kami dengarkan Santi ndak jelas kabarnya, lagi pula sudah beberapa tahun Santi seperti ndak perduli sama anak dan suaminya."

Ibu Sumi hanya mengkerutkan wajah memperhatikan kata-kata Suratno. Wanita paruh baya itu semakin tida mengerti.

Sedangkan Dewi semakin merunduk malu.

"Jadi..." Suratno menggantukan kalimatnya, ia melihat Dewi sebelum melanjutkan niatnya. "Jadi Dewi pingin dinikahkan sama Arya mbak yu," Suratno menghemuskan napas legah setelah berhasil mengutarakan niatnya.

Menarik napas dalam-dalam sebelum ibu Sumi hembuskan secara perlahan. Wajahnya berubah datar, kemudian ia menatap Dewi dengan tatapan teduh.

"Kamu yakin Nduk?" Tanya Ibu Sumi meminta kepastian Dewi. "Kamu masih muda lho, cantik, kamu masih bisa cari yang lebih dari Arya, lagi pula Arya itu sudah punya anak juga kan?"

"Itu sudah kami ingatkan mbak yu," sergah Ningsih. "Tapi mau gimana lagi? Dewi ndak mau sama yang lain, maunya cuma sama Arya, kami sebagai orang tua cuma pingin lihat anaknya seneng. Lagi pula.. Arya itu juga suami yang baik, saya sih setuju saja mbak yu."

Setelah mendengarkan Ningsih, ibu Sumi kembali menatap Dewi, "emangnya kamu mau direpotin Adnan nanti? Terus kalau nanti Santi pulang gimana?"

Terlihat Dewi mengulurkan tangan untuk meraih telapak tangan ibu Sumi kemudian meremasnya lembut.

"Aku udah pikirin mateng-mateng bu, aku kasian sama mas Arya, nunggu kepastian Santi yang nggak jelas. Aku juga bakal sayang sama Adnan, dia udah aku anggap seperti anaku. Sekalipun nanti Santi pulang, aku nggak papa jadi istri kedua mas Arya. Tapi aku yakin Santi ndak akan pulang." Imbuhnya menjelaskan.

"Dek..." ibu Sumi menatap Ratno dan Ningsih secara bergantian, kemudian tatapannya berhenti pada Dewi yang masih merunduk. "Nduk... aku gimana Arya saja, yang mau menjalani kan Arya. Kalau dia setuju dan mau, aku juga ndak keberatan, cuma_" ibu Sumi menggantungkan kalimatnya.

Namun Ratno seperti sudah mengerti isi hati ibu Sumi. "Soal mertua Arya nanti biar aku yang rembuk mbak yu, toh dulu aku dengar kang Darto nggak merestui hubungan Arya sama Santi."

Mendengar kata-kata Ratno wajah bu Sumi terlihat murung. Sebenarnya ia merasa prihatin melihat nasip yang menimpah anakanya.

"Sebaiknya nunggu Arya saja, biar dia yang memutuskan." Usul ibu Sumi.

"Tapi ibu bisakan bujuk mas Arya suapaya mau? Aku janji bakal sayang sama Adnan." Ucap Dewi dengan raut wajah memohon.

Menghembuskan napas lembut sebelum akhirnya ibu Sumi menjawab. "Nanti aku usahakan bujuk Arya, tapi aku ndak janji. Soalnya Arya itu susah. Aku juga nggak tahu kenapa dia masih nunggu Santi. Jelas-jelas Santinya nggak bener," ibu Sumi mengumpat karena kekesalannya pada Santi.

Sedangkan Dewi terlihat kembali merunduk dan bibirnya tersenyum simpul.