Hari itu merupakan hari yang panas di Kerajaan Medang.
Matahari bersinar terik, tanda waktu menunjukkan tengah hari. Seandainya aku bukan calon pewaris takhta, aku tidak akan melakukan ini.
Bentuk Candi Plaosan tidak pernah membosankan. Tidak begitu besar, namun memiliki tampilan yang elegan. Kuil utama terletak di tengah kompleks candi. Di keempat sudutnya berdiri empat pilar kokoh berbentuk tiang tinggi dengan ukiran kaligrafi Sansekerta. Dua patung anak kecil menandai gerbang masuk candi, diikuti dengan pohon yang memarkai jalan paviliun sebelum memasuki candi utama. Di dalam candi utama terdapat ruangan besar merupakan tempat untuk beribadah dan patung Buddha di paviliun utama. Oh, dan seorang putri kerajaan yang sedang bersemedi.
Sambil menunggu, Rakai Pikatan merenung. Sudah banyak yang terjadi di Kerajaan Medang pada satu tahun terakhir ini. Menarik, bagaimana Samaratungga bisa mempertahankan kerajaan. Sang Raja Edan, pikirnya. Namun Rakai Pikatan menghormati kharisma raja dan wibawa dalam pemerintahannya. Bagaimana tidak, pemberontakan sang Hyang Widhi Angkur berhasil ditumpas. Pemberontakan yang sudah lama meresahkan kini hanya tinggal sejarah. Bahkan keturunan sang Hyang Widhi Angkur ditumpas sampai ke anak cucu. Mengerikan memang raja ini, karena itulah aku menyebutnya gila, namun ia memang memiliki kualitas raja.
Kerajaan Medang memiliki wilayah yang tidak terlalu luas. Dari Kalingga hingga Kalasan. Wilayah Kerajaan Medang meliputi Dieng, Kedu, Merapi, dan kabupaten – kabupaten lainnya. Kalingga dulu merupakan kerajaan sendiri, dengan Ratu Shima yang terkenal itu. Ia terkenal akan kecantikan dan keanggunannya. Namun ia pula ternama akan ketegasannya. Yang mencuri dipotong tangannya. Peraturan sinting. Namun efektif, pikirnya. Kerajaan itu berakhir di tangan dua orang adik kakak yang terkenal karena kehebatannya dalam bertarung dan meramu strategi. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal kedua orang tersebut di tanah Medang ini.
Matahari masih berada di tengah – tengah cakrawala saat Pramodawardhani beringsut keluar candi utama. Rakai Pikatan segera menghampirinya.
"Nampaknya kau sangat menikmati persembahyanganmu, Sri Kahulunan." Rakai Pikatan membuka topik pembicaraan, berjalan berdampingan menuju pintu gerbang.
"Aku bersemedi, bukan bersembahyang, Mpu Manuku, dan terima kasih karena telah memanggilku dengan julukan yang diberikan rakyat kepadaku. Sang dewi pemberi, aku senang sekali mendengarnya." timpal Pramodawardhani.
"Sayangnya aku tidak senang dipanggil dengan nama asliku. Namaku sekarang adalah Rakai Pikatan." cetusnya sedikit kecewa.
"Oh, maaf, kalau hamba menyinggung hati tuan. Hamba hanya ingin mengingat latar belakang tuan, kelompok yang senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari kitab – kitab kerajaan dan sejarah – sejarah para pembesar negeri, bukankah itu hal yang mulia, wahai kekasih?" goda Pramowardhani.
Kini ia menggodaku lagi. "Mpu Manuku terdengar kolot dan tidak cocok sebagai pewaris takhta kerajaan. Bayangkan jika para ajudan kelak memanggilku dengan sebutan mpu, bisa mati aku mendengarnya." jawabnya. Pramodawardhani tersenyum.
Rakai adalah gelar yang diberikan kepada raja penerus takhta. Samaratungga sendiri bergelar Rakai Garung. Ia hanya memiliki Pramodawardhani dan adik perempuannya sebagai keturunan sehingga tidak memiliki anak lelaki untuk diberikan gelar rakai. Sedangkan nama asli Rakai Pikatan, Mpu Manuku, karena ia berasal dari keluarga yang selama ini memang menghabiskan waktu untuk mempelajari dan mencatat sejarah kerajaan. Pekerjaan yang menurut anggapan rakyat adalah pekerjaan untuk manusia paruh baya. Masih semuda ini dipanggil mpu sungguh tidak memuaskan, pikirnya.
Entah apa yang dilihat putri ini dalam diriku. Suatu ketika Rakai Pikatan sedang mengajar di pendopo kerajaan. Bahasa Sansekerta adalah pelajaran wajib untuk anak – anak pembesar negeri, dan mereka wajib mengetahui cara pemakaian bahasa tersebut. Rakai Pikatan sudah selesai mengajar ketika seorang pengawal istana menghampirinya dan memintanya memasuki paviliun permaisuri. Di sana terdapat sang permaisuri kerajaan, Dewi Taradyahwardhani, dan putri mahkota. Mereka memberitahukan sebuah kabar yang mengguncang cakrawala, bagaikan petir menyambar di siang bolong, tidak hanya itu, petir tersebut menembus tanah dan membelah daratan menjadi dua. Pramodawardhani menyatakan bahwa ia telah lama memperhatikan Rakai Pikatan mengajar. Sang putri tertarik dan sudah berunding dengan Dewi Tara mengenai kesempatannya untuk menikahi Rakai Pikatan. Permaisuri setuju.
Bagaimana dengan Raja Samaratungga? Percayalah, bahwa ada kaum raja yang tidak dapat membantah kemauan istri. Apalagi Dewi Tara berasal dari Wangsa Syailendra murni Kerajaan Sriwijaya.
Sampai pintu gerbang, kereta kuda kerajaan telah menunggu. Rakai Pikatan membuka pintu untuk putri mahkota, sementara ia sendiri menaiki kudanya. Bukan kuda perang, namun cocok untuk kalangan terpelajar sepertiku. Kereta kuda kerajaan dikendarai oleh seorang punggawa istana. Rakai mengenalnya sebagai Jayaputra, ajudan terdekat putri.
Dalam perjalanan menuju kotaraja, rombongan melintasi Hutan Undir, pemukiman rakyat, dan pasar Kliwon. Perjalanan kotaraja – Candi Plaosan merupakan perjalanan rutin Putri Pramodawardhani seminggu sekali. Rakai Pikatan selalu mendampingi putri dalam perjalanan itu jika tidak dalam tugas mengajar. Dalam perjalanan itu, pemandangan Hutan Undirlah yang paling memuaskan mata Rakai Pikatan. Ia tertarik kepada tumbuh – tumbuhan dan menerka – nerka apakah tumbuhan yang dipelajarinya di Kitab Mayarana tumbuh di Hutan Undir. Sedangkan nama Pasar Kliwon didapat dari legenda nama pasar yang hanya buka setiap Kliwon. Merupakan legenda karena sekarang rakyat aktif melakukan jual beli setiap hari di pasar Kliwon.
Memasuki kotaraja, dari jarak seribu depa, terlihat sebuah pemandangan yang selalu tidak pernah gagal memanjakan mata. Candi Prambanan, begitulah nama candi megah itu disebut. Komplek candi ini terdiri dari 3 candi sejajar berukuran 50 depa untuk candi yang berada di tengah, disebut dengan Candi Siwa, dan 30 depa masing – masing untuk Candi Brahma yang berada di sisi utara dan Candi Wisnu yang berada di sisi selatan. Ketiga candi tersebut memang dipersembahkan kepada tiga dewa utama Trimurti: Brahma sang pencipta, Wisnu sang pemelihara, dan dewa Siwa sebagai dewa yang lebih diutamakan. Pada puncak candi yang melancip disebut wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Jika dipikir – pikir, wajra inilah yang membuat Candi Prambanan menjadi elok. Komplek candi berukuran bujur sangkar dengan empat lapisan undakan menuju ketiga candi utama. Masing – masing undakan terdiri dari candi – candi kecil yang disebut Candi Perwara atau candi pengawal yang berukuran tidak lebih dari 10 depa; candi – candi tersebut menghiasi seluruh jalur undakan kecuali pada arah mata angin dimana terdapat anak tangga menuju komplek.
Mpu Manuku mempunyai pemikiran lain terhadap Candi Prambanan. Leluhurnya, Wangsa Sanjaya adalah yang membangun candi megah tersebut pada abad ke 6 Masehi. Terdapat kekurangan pada komplek candi tersebut. Ia beragama Hindu Siwa, dan merasa perlu untuk menambahkan simbol wahana untuk masing – masing dewa. Suatu saat ketika aku menjadi raja, aku akan membangun Candi Nandi untuk Dewa Siwa, Candi Angsa untuk Dewa Brahma, dan Candi Garuda untuk Dewa Wisnu.
Rombongan itu melewati komplek candi untuk kemudian menuju komplek istana kerajaan yang berada pada beberapa jarak dari komplek candi. Tembok batu setinggi dua setengah depa mengelilingi komplek istana dengan pintu gerbang sebagai pintu masuk komplek kerajaan. Pintu gerbang dijaga oleh pengawal kerajaan yang memegang tombak dan menyingkir ketika rombongan putri muncul dari kejauhan. Di atas pintu gerbang terdapat palang dengan tulisan dalam bahasa Sansekerta: Kerajaan Medang. Sebuah ukiran berbentuk candi berada di tengah – tengah tulisan tersebut sebagai pengingat simbol kerajaan.
Rombongan memasuki komplek istana, melewati halaman istana, dan berhenti tepat di depan istana utama tempat raja bersemayam. Dayang – dayang segera membantu putri Pramodawardhani untuk melangkah masuk ke istana, sementara Jayaputra merapikan kereta kuda dan menuntun mereka menuju istal. Rakai Pikatan memarkir kudanya pada istal dan menuju pendopo istana mengikuti tuan putri.
Putri Pramodawardhani sedang duduk di salah satu kursi istana dan menikmati secangkir teh cengkih ketika Rakai Pikatan memasuki pendopo istana. Kedua dayang di belakangnya mengipasnya dengan menggunakan daun talas secara perlahan. Rakai Pikatan hendak menghampiri sang putri ketika suatu suara dari singgasana memanggilnya.
"Mpu Manuku, kemarilah." suara tersebut terdengar berat dan berwibawa.
Rakai Pikatan tidak memperhatikan sekelilingnya ketika memasuki istana dan kini tampaklah sang raja sedang duduk di singgasana kerajaan, sementara di belakangnya berdiri Mpu Galuh, pembantu raja dan pemimpin kaum cendekiawan. Samaratungga, sang Raja Edan.
"Baik, paduka." Rakai Pikatan menyahut.
"Aku merasa kau belum layak untuk jadi penerusku. Mpu macam apa yang tidak melihat kehadiran raja di singgasana istana?" nada raja terdengar prihatin saat Rakai Pikatan mendekat dan bersujud di hadapan raja.
"Hamba mohon maaf, yang mulia. Kami baru saja melalui perjalanan panjang dari Candi Plaosan dan hamba ingin bertanya kepada tuan putri apakah ia kelelahan." jawab Rakai Pikatan sedikit ketakutan.
"Kau pikir aku bodoh? Apakah bantal pada kereta istana kurang empuk sehingga Pramoda kesakitan sepanjang perjalanan? Sudah berapa kali kau menemani putri pada perjalanan sembahyang? Aku mengerti bahwa kau tertarik padanya, namun aku mengharapkan kesiagaan dan kesigapan dari seseorang yang akan menjadi penerusku." tanggap raja.
Penuh kegentaran, Rakai Pikatan menjawab, "Hamba mohon maaf, yang mulia".
Raja beringgas dari kursi istana dan berjalan menuju kursi yang diduduki oleh Pramodawardhani serta memberikan isyarat kepada Rakai Pikatan untuk mengikutinya. Sang pemuda dan Mpu Galuh mengikutinya dari belakang.
Sembari menatap keluar jendela yang berada di belakang kursi tuan putri, sang raja bersabda. Nampaknya ia ingin pembicaraan didengarkan oleh Pramodawardhani. Sementara itu di luar jendela yang menghadap ke arah timur istana terlihat pasukan pengawal sedang melakukan latihan bela diri.
"Tujuh hari lagi, kira – kira pada waktu ini, adikku akan datang dari Palembang dengan membawa pesan Rakai Warak, Samagrawira. Kabar ini disampaikan oleh seorang pembawa berita dari Kerajaan Sriwijaya. Sekarang ia sedang beristirahat di pendopo tamu. Sudah kurang lebih dua puluh lima tahun aku tidak pernah bertemu dengan Balaputeradewa dan ayahku Samagrawira, dan kini Balaputradewa akan datang berkunjung ke tanah Jawa. Ia memang pernah tinggal di kerajaan ini selama tiga tahun bersama Raja Samagrawira, sebelum mereka kembali ke Palembang untuk mengisi kekosongan pemerintahan Sriwijaya setelah Dharanindra mangkat."
Wajah raja menunjukkan ekspresi sedih. "Kerajaan Medang telah didirikan dan menjadi tatanan pemerintahan sendiri ketika Dharanindra memerintahkan Rakai Warak untuk melakukan perluasan ke daerah Jawa Tengah tiga puluh tahun yang lalu. Kami berhasil menanamkan pengaruh Wangsa Syailendra di tanah Jawa ini. Kau tahu, begitu sulit untuk menyatukan berbagai macam kerajaan kecil di tanah Jawa ini. Butuh tenaga besar dalam menyatukan Dieng, Kalingga, bahkan Prambanan sendiri. Ayahku sendiri bahkan tidak menyangka bahwa kami dapat berkembang menjadi kerajaan besar."
"Aku berharap kedatangan Balaputradewa tidak membawa berita buruk. Namun, segala antisipasi harus dilakukan." Raja berhenti sebentar, lalu melanjutkan sembari menatap Rakai Pikatan, "Aku tahu kau baru saja diangkat menjadi seorang rakai. Namun aku sangat berharap kau tidak meninggalkan segala kewajibanmu. Jika Kerajaan Sriwijaya bermaksud buruk, aku ingin kau dengan segenap hati melindungi seisi kerajaan ini, terutama buah hatiku ini. Aku tidak ingin kau menjadi seseorang yang lemah."
"Baik, paduka raja, hamba siap untuk menjalankan segala perintah paduka raja." Rakai Pikatan bersujud, diiringi dengan senyuman raja, putri, serta pembantunya.