webnovel

Wabah

Malam sudah cukup larut. Tapi mereka berempat masih berbincang. Membahas masa lalu dan masa depan. Dylan sesekali cemberut tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Memang hanya dia yang tidak terlibat dalam masa lalu yang kelam itu. Sebuah anak panah lagi lagi masuk menancap di atas meja. Rinaya terkaget dengan hal tiba tiba itu. "Yatuhan apa mereka tidak bisa membiarkan sejenak tenang. Selalu saja mengagetkan." Gerutunya sambil memegang dadanya yang berdegup kencang.

Dylan seperti sudah mulai terbiasa. Sedangkan Dhika dan Jaka sama sekali tidak terganggu dengan itu.

Secarik kertas terselip di anak panah itu. Dhika membacanya. "Ini untukmu" ujarnya sambil memberikan kertas itu pada Dylan.

Dylan membaca itu dan mulai menggerutu. "Apa mereka tidak keterlaluan. Kasus sebelumnya belum selesai sudah menghadiahiku dengan kasus baru."

Rinaya "kasus apa?"

Dylan "terjadi wabah di desa dekat perbatasan wilayah. Ada yang mencurigakan disana. Aku harus kesana dan menyelidikinya.

Jaka "aku juga akan pergi."

"Kau juga?" Tanya Rinaya.

Dhika "Sebaiknya kita juga ikut kesana."

"Kenapa?" Tanya Rinaya

Dhika menjawab "Aku memiliki kewajiban untuk selalu datang jika ada masalah terjadi. Itu sudah menjadi sumpah ketika mengikuti ujian menjadi Puragabaya."

Dylan "Tapi kau bukan Puragabaya. Untuk apa masih melakukan itu."

***

Dua hari berlalu. Perjalanan ke desa itu memang sangat jauh. Perbatasan wilayah Sunda dan Mataram. Memang selalu menjadi titik sorotan. Jika terjadi sesuatu khawatir akan berdampak pada wilayah dinasti lain. Mungkin saja itu menimbulkan kesalahpahaman bahkan peperangan.

Gerbang desa sudah terlihat. Sangat sepi dan berserakan Sampah dedaunan. Beberapa ladang mulai kering seperti berminggu tidak disirami. Beberapa bangkai ayam tergeletak begitu saja. "Tempat ini sangat kacau." ujar Rinaya.

Mereka berjalan terus kedalam desa. Beberapa orang terlihat berlalu lalang. Sibuk membawa sesuatu di kedua lengan mereka. Seperti wadah berisi air dan sebuah kain handuk.

"Permisi paman!" Teriak Dylan pada salah satu warga. Dan warga itupun berhenti.

Dylan "apa yang terjadi dengan desa ini?"

Warga "seluruh warga sakit Tuan. Sudah sejak dua minggu lalu."

"Dua Minggu?" Tanya Dylan heran. Pasalnya informasi yang baru saja dia dapatkan tidak memberitahukan mengenai itu. Pasti warga sudah sangat panik dengan wabah.

Warga "Iya Tuan. Tapi semua sudah terkendali hanya saja. Kami kekurangan perawat. Rata rata warga desa tidak mengerti perawatan penyakit ini. Jadi sayapun membantu sebisanya saja."

Rinaya "sudah ada bantuan dan tabib dari pemerintah terdekat?"

Warga "Baru empat hari lalu ada bantuan. Untungnya sejak hari pertama ada seorang tabib dari luar kebetulan sedang berkunjung ke desa. Kami terbantu oleh orang itu."

Dylan "Paman kami dari ibukota. Ingin sedikit membantu desa ini. Tolong antarkan kami ke tempat perawatan.

Warga "terimakasih tuan. Silahkan lewat sini."

Warga itu mengantarkan mereka ke sebuah rumah besar. Terlihat seperti aula atau semacamnya. Karena jumlah perawat tidak banyak. Maka cara ini satu satunya yang bisa membuat perawat secara efektif memeriksa keadaan setiap pasien. Terdapat ruangan lain yang lebih kecil berisi beberapa orang pasien. Seperti dipisahkan melalui tingkat gejala yang mereka derita.

Dhika, Dylan dan Rinaya ikut membantu. Jaka entah pergi kemana. Sementara Dhika memeriksa pasien. Dia pun menginstruksikan perawat untuk membantunya menyiapkan barang yang di perlukan. Sedangkan Rinaya hanya bisa membantu sebisanya. Menyiapkan air untuk kompresan. Memberi mereka makan. Dan memberi mereka obat obatan. Semua dilakukan dengan baik.

Hari sudah malam. Sudah lewat dua hari mereka disana. Rinaya memanggil seorang remaja yang melewatinya. Namanya Bani. Dia terlihat selalu membantu merawat pasien"Eh eh hey kau." Bani menoleh kearah seseorang yang memanggilnya itu. "Manggil saya kang?"

Rinaya sedang berselonjor duduk di depan sebuah rumah. Rumah itu di ijinkan untuk dipakai mereka beristirahat. "Sini duduk. Ngobrol dulu sebentar."

"Sudah malam akang ga tidur?"

"Aku mau tanya. Bani. Namamu Bani kan?"

"Iya kang. mau tanya apa?"

"Aku dengar ada tabib yang membantu sejak dua minggu lalu? Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya."

"Iya kang. Dia kerja di Rumah Kepala desa. Disana juga banyak pasien. Jadi di desa ini di bagi beberapa kelompok. Karena tidak mungkin mereka semua di bawa ke pusat desa. Pasti penuh."

"Hooo. Apa dia hebat?"

"Yang pasti kami sangat terbantu kang. Beberapa hari lalu bantuan dari ibukota baru datang itupun hanya beberapa orang. Dia marah marah pada mereka. Katanya mereka sangat lambat. Seperti tidak peduli pada kami."

"Siapa namanya? Apa aku bisa bertemu dengannya?"

"Namanya Rangga. Besok saya antar kesana kang. Saya permisi dulu kang. Masih banyak kerjaan."

"Oh iya iya. Silahkan"

Dhika datang dengan tenang dan ikut duduk bersamanya. " Menemukan petunjuk?"

"Petunjuk apa?"

"Apapun."

"Tidak"

"Mengenai penyakit ini. Kau tau sesuatu?"

Rinaya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. "Jika saja ada sinyal. Aku mungkin bisa mencarinya lewat internet. " Dia nyalakan ponsel itu. Lalu mematikannya lagi karena dirasa tidak berguna.

Banyak hal aneh yang dibicarakan Rinaya tapi Dhika tidak pernah bertanya lagi. Dia hanya mengira mungkin semua keanehan itu dia bawa dari masa depan.

"Aku pernah membaca mengenai suatu wabah yang menyerang pulau Jawa tapi aku tidak tau mana yang cocok dengan wabah sekarang ini. Aku bodoh mengenai hal seperti ini.. Oh Dhika. Besok aku akan ke tempat Kepala desa. Ingin bertemu dengan tabib terkenal itu."

Jaka datang menghampiri. "Desa ini benar benar kacau."

"Kau menemukan sesuatu?" Tanya Rinaya.

"Tanaman kering. Banyak bangkai. Air yang tidak sehat. Pasti banyak penyakit disini."

"Air? Ada apa dengan airnya?" Tanya Rinaya.

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi airnya tidak bersih."

"Kurasa kita harus memeriksa itu juga." Sahut Rinaya

***

Matahari telah tinggi. Jaka dan Rinaya pergi ke satu tempat yang dibicarakan semalam. Sementara Dylan dan Dhika masih disibukan dengan pasien baru. Semakin lama tidak ada kemajuan. Bahkan korban meninggal selalu ada setiap harinya. Mereka harus bekerja lebih keras lagi.

Jaka membawanya ke sebuah tempat dimana ada sumur dan penampungan air. Sekelilingnya sangat kotor dan tidak terawat. Tempat penampungan sudah kering. Tidak ada air. Rinaya mengintip sebuah sumur di samping bak penampungan. Hanya terlihat gelap. "Kemarin kamu ambil dari sumur ini?" Tanya Rinaya pada Jaka.

"Tidak. Seseorang meletakan sebuah ember disini. Lalu pergi begitu saja. Tidak memakai air ini sama sekali. Kurasa itu dari sumur." Jawab Jaka.

"Apa kau tidak terganggu dengan penutup matamu? Kau masih bisa melihat dengan jelas?" Tanya Rinaya sambil mencoba menimba air di dalam sumur.

"Tidak jelas. Hanya aku tau keberadaan suatu benda. Dan seperti apa bentuknya."

"Jadi kau mungkin tidak akan melihat warna dan motif ya?"

"Benar"

Rinaya menimba air dalam sumur itu lalu satu ember timba itu di tuangnya kedalam bak penampungan. "Iiihhh... Benar benar air yang kotor" ujarnya setelah melihat kondisi air itu. Bukan karena adanya lumpur atau apapun. Airnya berwarna kuning. Sangat tidak bersih dan sedikit berbau. Bahkan sesuatu berenang diantaranya. Belatung.

"Kau sudah tanyakan pada warga. Selain disini dimana lagi sumber air nya?"

"Ada mata air di tepi tebing. Tapi cukup jauh. Aku belum memeriksanya."

"Lalu apa saja yang kau cari selama dua hari kemarin.?"

"Aku berkeliling. Hampir semua sumur di desa tidak bisa dipakai. Sungai sangat jauh. Begitu juga dengan mata air yang disebutkan warga. Banyak bangkai hewan dimana mana."

"Menurutmu kira kira kenapa air sumur sangat kotor? Biasanya air sumur cukup bersih karena melalui filterasi alam. Apakah ada yang sengaja membuat air jadi kotor?"

"Itu yang ku pikirkan. Tapi belum ada bukti lain."

"Jaka. Antar aku ke sumur yang lain"

Mereka berkeliling desa memeriksa satu demi satu sumur yang ada disana. Tidak ada yang berbeda. Semua air memang tidak bisa dipakai. Lalu Rinaya berinisiatif menuju mata air di tepi tebing. Jaraknya memang sungguh jauh. Melewati jalanan yang berbatuan. Sulit untuk mencapai tempat itu. Tapi tidak ada pilihan lain. Hidup tanpa air bagi manusia itu sungguh menyiksa.

Terlihat beberapa orang lalu lalang membawa tanggungan ember kayu. Dengan air yang penuh. Mereka mengambil air di mata air itu lalu kembali ke desa. "Permisi paman. Boleh saya tanya sebentar?"

"Iya den mangga."

"Sejak kapan paman ambil air disini? Air sumur di desa kenapa sangat keruh?"

"Air sumur di desa sudah satu bulan tidak bisa di pakai. Tidak tau kenapa. Tuan tabib bilang untuk tidak pakai air itu lagi. Dan pakai air di mata air ini den."

"Tuan tabib?" Tanya Rinaya heran.

"Sepertinya dia cukup pintar" ujar Jaka.

"Aku jadi penasaran seperti apa orangnya."

***

Rinaya bertemu dengan Bani di sebuah toko dekat dengan balai Kepala Desa. Mereka memang sudah menentukan akan bertemu disana. Bani terlihat tenang berdiri di depan Toko. Seperti sebuah toko Kerajinan tangan. Atau toko Cinderamata.

"Bani." Rinaya melambaikan tangan dan berlari menyapanya. "Lama menunggu?"

"Tidak. Baru saja tiba"

"Apa dia ada di dalam?"

"Kurasa begitu. Korban terinfeksi semakin banyak. Semua orang menjadi semakin sibuk. Aku rasa dia tidak mudah untuk dijumpai kali ini."

"Tapi aku sudah disini. Akan sia sia jika aku tidak mendapatkan apapun."

"Akang tunggu disini dulu. Saya akan coba tanya ke petugas di dalam."

Rinaya bergumam dalam hati. 'Dia seorang sukarelawan. Tapi memiliki posisi penting di desa ini. Aku bisa memaklumi karena dia lebih cepat tangap dari pemerintah daerah. Jika dia tidak mau bertemu denganku. Sungguh dia orang yang sangat sombong. Aku juga punya kepentingan disini.'

Bani datang bersama seorang petugas lainnya. "Den. Punten saat ini Tuan tabib sedang sangat sibuk. Mungkin lain waktu saja. Aden mungkin ada pesan untuk beliau."

Rinaya kecewa. Dia tau keadaan sedang genting tapi bertemu satu menit saja tidak akan membunuh semua orang. "Ah. Baiklah. Aku akan datang lagi besok. Ada hal yang ingin aku diskusikan dengannya. Aku berharap bisa membantunya."

"Baik Den nanti saya sampaikan. Anu.. ini dengan Aden siapa?"

Mata Rinaya berputar. Kejahilan segera terbayang di kepalanya. Tapi tentu saja ini tidak akan berpengaruh. Dia ingin sesuatu menjadi sejarah ulang untuknya. "Cinta!" Dengan senyum dia menjawabnya.

Petugas itu mengerutkan dahi. Seakan tidak percaya nama seperti itu dipakai oleh seorang laki laki.

Keesokan harinya Rinaya datang lagi. Di jam yang sama seperti sebelumnya. Tapi kali ini tidak di temani Bani.

Petugas sebelumnya datang lagi menghampiri. "Aden mau bertemu dengan tuan Tabib?"

Rinaya mengangguk. "Tolong sampaikan padanya bahwa ini sangat penting. Ya!"

"Saya coba bicara dengan beliau. Aden tunggu disini ya."

Tiga puluh menit Rinaya menunggu rasanya sudah sangat pegal berdiri di tempat seperti itu. Tempat asing. Untungnya rasa pegal itu terbayarkan. Petugas itu kembali datang dan menghampiri. "Den silahkan lewat sini."

Senyum lebar mewarnai rona wajahnya. Akhirnya semua tidak siasia.

Dia diantar petugas itu masuk ke balai Desa. Sebuah bangunan besar. Didalamnya cukup ramai. Orang berlalu lalang sibuk membawa sesuatu untuk merawat pasien. Semua orang sakit ada di dalam. Warga yang sehat di larang untuk masuk. Hanya perawat yang mondar mandir dengan sibuknya.

Dia memasuki sebuah Ruangan berisi beberapa pasien. Seorang pria tengah melakukan pemeriksaan. Dia nampak lelah. Sesekali senyumnya melebar berbincang dengan pasien. Rambutnya sedikit berantakan. Lengan bajunya terlipat sepertiga. Rinaya hanya melihat dari belakang. Punggungnya yang bidang nampak loyo. 'Dia pasti sangat lelah' bisiknya dalam hati.

Petugas itu membisikan sesuatu. Lalu kembali menyampaikannya kepada Rinaya.

"Neng silahkan lewat sini."

Dia mengantarnya ke sebuah ruangan kecil. Terlihat seperti sebuah ruang kerja. Lalu petugas itu meninggalkannya.

Rinaya menunggu lagi. Dengan cemberut dia merasa kecewa. Membiarkannya menunggu begitu lama. Tapi melihat apa yang terjadi di ruang pasien itu membuatnya memaklumi itu. Dia bertanya tanya seperti apa wajahnya. Dia hanya bisa memandangi punggunya saja.

Suara pintu berdecitan. Seseorang membuka pintu. Dari luar. 'Akhirnya datang.' Bisik Rinaya dalam hati. Seketika itu juga dia berdiri dan berbalik melihat siapa yang membuka pintu itu. Gelas dari tanah liat yang di pegangnya jatuh kelantai. Pecah. Dia mematung disana. Begitu juga si Tuan Tabib. Mata mereka beradu. Tidak berkata apapun. Tidak sama sekali. Air mata Rinaya mengalir. Akhirnya terjawab sudah. Sosok Tuan Tabib yang di puji puji seluruh desa. Rangga. Ranggana Bayu.

"Ri-Rinaya?" Ujarnya terbata bata.

Rinaya mengira ini adalah ilusi lain. Atau Bayu tiruan yang dibuat oleh seseorang. Tapi mendengar dia menyebutkan namanya. Seketika itu juga dia yakin. Ini bukanlah mimpi.

Rinaya berlari mendekat. Begitu juga dengan Bayu. Mereka saling memeluk satu sama lain. Air mata keduanya mengalir bak anak sungai. Lima belas tahun berlalu. Mereka meyakini keduanya telah mati. Kini mereka meyakini keduanya telah hidup kembali.

Rinaya merengek seperti bayi. Tidak lagi menahan emosinya. "Keterlaluan sekali. Kau sungguh keterlaluan. Tidak ada yang bisa menemukanmu dimanapun. Aku hampir gila mencari cari dirimu."

"Maafkan aku. Sesuatu terjadi. Aku tidak bisa menunjukan siapa diriku. Aku adalah hantu dimata semua orang. Aku-..." Kalimatnya terhenti. Seseorang berdiri di ambang pintu. Bayu melihatnya. Seseorang yang sangat tidak asing baginya. Air mata Bayu kian mengalir deras melihat sosok itu."

Wajah Rinaya yang terbenam di dada Bayu pun terangkat. Melihat ada hal apa yang membuat Bayu membatu. Pradhika Wiriya. Mengalirkan air matanya meski raut wajahnya masih tetap datar. Tapi dari matanya bisa sangat terlihat. Haru dan kegembiraan pertemuan ini.

"Dhika. Aku menemukannya" ujar Rinaya.

"Selamat datang kembali" bisik Dhika.

***

Rinaya duduk di sebuah bangku depan rumah tempatnya tinggal. Menengadahkan kepalanya melihat milyaran taburan bintang. Api unggun masih menyala. Semilir angin malam tak membuatnya kedinginan. Bayu datang menghampiri dan ikut duduk bersamanya. "Tidak tidur?"

Rinaya menggelengkan kepalanya. "Ini seperti mimpi. Baru saja aku kembali ke duniaku. Kini aku sudah berada disini lagi."

"...."

"Katakan padaku. Semua misteri yang sudah terkubur itu. Kau tidak perlu lagi menyimpannya sendiri."

"Aku tidak mengerti."

"Setelah selama ini banyak hal yang baru saja ku ketahui. Sulit dipercaya tapi itu nyata."

"Apa maksudmu?"

Dhika datang dari dalam rumah. Lalu bergabung dalam pembicaraan. "Apa yang kalian bicarakan? Ini sudah larut."

"Dhika. Ini sebuah reuni. Kita harus lebih banyak berbincang." Ujar Rinaya.

Bayu "sejak kapan kalian disini?"

Dhika "beberapa hari lalu."

Rinaya "kau sudah menemukan obat untuk wabah ini?"

Bayu "ini sedikit rumit. Aku tidak tau penyebabnya apa. Jadi tidak mudah untuk menemukan obatnya"

Rinaya "kenapa air disini sangat buruk?"

Bayu "Entahlah. Sejak aku kesini. Keadaan air memang sudah tidak baik."

Dhika "kau sudah menyelidiki yang terjadi di desa ini?"

Bayu "belum. Tidak banyak orang disini. 90% orang terjangkit. Hanya beberapa orang saja yang masih sehat. sedikit sulit untuku menyelidiki sesuatu saat ini."

Rinaya "apakah ada kemungkinan dari virus?"

Bayu "sepertinya tidak. Semua berawal ketika sumur sumur menjadi buruk."

Rinaya "berarti memang itu."

Bayu "tapi aku tidak tau apa penyebabnya."

Rinaya "mungkin jika mencoba menggali sumur baru kita akan dapat petunjuk."

Bayu "apa yang kau pikirkan?"

Rinaya "aku hanya penasaran mungkinkah di dalam sumur ada sesuatu yang membuat air menjadi buruk. Seperti adanya bangkai, mayat. Atau semacamnya."

Bayu "aku akan minta orang untuk memeriksanya."

Rinaya "aku sedikit rindu masa lalu. Dulu kita selalu pergi bersama. Lihat!!" Rinaya menunjuk ke atas langit. "Seperti bintang bintang itu. Kita selalu bercaya."

Dhika tersenyum mendengar itu.

Rinaya "banyak hal yang menyakitkan. Tapi aku ingin selalu ingat saat saat kita tertawa bersama. Tidak akan aku lupakan hingga seribu tahun kedepan."