webnovel

Terbang

Angin malam berhenti berhembus. Puluhan pasang mata tertuju pada satu titik.

Satu momen yang begitu tiba tiba. 

Seseorang berdiri bersimbah darah. Menatap sepasang mata yang kini berair deras. "Aku memang berusaha untuk menebus kesalahanku. Hiduplah dengan baik." Dia terjatuh. Sosok hidup itu kini menjadi salah satu mayat di medan perang. Bayu meniup peluitnya. Seketika itu juga kepulan asap hitam muncul memenuhi area. Mengaburkan pandangan. Bayu membawa pergi Rinaya yang masih mematung disana. Melarikan diri dari semua momen itu. 

Rinaya terduduk di tepi sungai. Bayu memperhatikan dari belakang. Mengikuti semua langkahnya pergi dengan tertatih. Seseorang yang disayanginya pergi. Lagi lagi Rinaya kehilangan cinta di hidupnya. Sekelebat memori muncul bersama derai air mata. Tidak banyak kenangan manis. Tapi tetap saja dia menganggapnya seperti keluarga. Meski hanya memori ketika makan bersama, atau ketika Tuan Budhi mencubit hidungnya, atau ketika mereka bergulat dengan kecoa yang melayang di dapur. Hal kecil itu bahkan semakin membuatnya merasa kehilangan.

"Ayo aku akan mengantarmu pulang" Bayu menghampiri dan membantunya berdiri. 

"Terkadang kita merasa hidup selalu berjalan tidak adil. Terkadang hidup terasa sangat perih. Terkadang cacian datang untuk pencipta takdir ini. Tapi aku selalu sadar akan ada hal baik dibalik semua itu. Bayu, apa menurutmu juga seperti itu?"

 Mereka berjalan menelusuri jalan setapak menuju kaki gunung Halimun, Hutan Pekat. "Mn" Bayu mengiyakan "Namun terkadang aku selalu keras kepala dengan takdir yang aku jalani. Bahkan aku tidak tau pilihan apa yang harus aku tempuh. Bukankah semua yang kita jalani adalah pilihan kita sendiri?"

"Mungkin iya"

"Tabahkan hatimu Rinaya, semua memilih jalannya masing masing. Kita hanya perlu melanjutkan yang terbaik untuk mereka yang berkorban. Jangan sia siakan itu."

"Tapi Bayu. Kehidupan disini, aku tidak memilinya. Kehidupan disana pun, aku tidak memilihnya. Aku jalani semua dengan lapang dada. Tapi ketidak adilan selalu muncul di hadapanku."

"Itulah takdir. Sesuatu yang tidak bisa kita tentukan sendiri. Tapi takdir masa depan belumlah tentu buruk. Selama kita menjalani saat ini dengan baik. Kita harus yakin masa depan akan jauh lebih baik."

Rinaya tersenyum "kau semakin dewasa Bayu"

Terlihat Tama berlari dari ujung jalan. Pemukiman Halimun sudah di depan mata. Tama memanggilnya dengan wajah penuh kepanikan "Putri! Akhirnya kau datang juga!"

"Ada apa?" 

"Sesuatu terjadi. Aku tidak mengerti."

Mereka segera bergegas kesana. Sesuatu nampak sangat tidak baik baik saja. Jaka berteriak tidak karuan. Berguling guling di lantai. Sesuatu terjadi padanya. Terdapat benjolan besar di lehernya. Bergerak meliuk liuk. Seperti ada sesuatu di bawah kulitnya yang hendak mencari jalan keluar. Bayu langsung memeriksa keadaannya.

Rinaya "Apa yang terjadi?"

Tama "Dia mengeluh sejak semalam. Ada sesuatu yang menggigitnya dan masuk kedalam tubuhnya. Dia kesakitan. Aku tidak tau kenapa"

Bayu "Kau lihat sesuatu itu seperti apa?"

Tama menggelengkan kepalanya. Dia tidak banyak mengerti mengenai ini.

Seseorang berkata "Di medan perang mahluk parasit itu mengenainya. Masuk kedalam bajunya. Aku tidak tau kalau itu masih menempel. Karena dia tidak di rasuki saat itu, ku kira mahluk itu sudah pergi."

Rinaya "Bayu, kau bisa melakukan sesuatu?"

Bayu "Kita harus mengeluarkannya!"

"Kita sudah mencobanya. Itu tidak berhasil. Kita bahkan beberapa kali menyayat kulitnya. Mahluk itu malah masuk lebih dalam."

Darah masih menggumpal di sisa sisa luka sayatan di tubuhnya. Mahluk itu seakan berjalan jalan di bawah kulitnya. Tubuh bertelanjang dada itu mencoba menahan mahluk itu untuk tetap diam.

Bayu memejamkan matanya seakan memikirkan cara apa yang bisa efektif mengeluarkan mahluk itu. Ini kasus yang berbeda dari biasanya. Sebelumnya mahluk itu berukuran besar dan melahap mangsanya lalu dia menjelma jadi manusia itu. Selanjutnya mahluk itu berukuran kecil merasuki mangsanya melalui lubang telinga, lubang hidung dan mulutnya. Dan manusia itu berubah sesuai keinginan mahluk itu. Kali ini, dia terjebak di bawah kulit. Sulit untuk masuk kedalam tubuh namun tak bisa di keluarkan. Seketika itu juga Bayu mengingat hal yang bisa membunuh mahluk itu adalah dengan mengalirkan energi spiritual pada senjata yang di gunakan.

Bayu membuka matanya. Berkosentrasi. Menekan mahluk itu dengan tangan kanannya. Mengalirkan energi spiritualnya. Menekannya dengan kuat. 

Jaka terkulai lemah, tidak berteriak lagi. Tidak berontak lagi. Dia tak sadarkan diri. "Aku tidak tau ini bekerja atau tidak. Aku membunuh mahluk itu. Aku juga tidak tau apa efek samping dari nya."

Rinaya menganguk "tak apa, dia akan baik-baik saja" Dia juga tidak tau apakah Jaka akan baik baik saja. Dia hanya ingin menyakini itu. Setidaknya ini adalah langkah yang baik daripada melihatnya tersiksa seperti itu. "Kalian! Tolong bantu dia baringkan di tempat tidurnya."

Bayu dan Rinaya duduk di depan api unggun. Menghangatkan diri. Cuaca gunung memang selalu dingin. Meski tidak ada kabut tebal lagi. "Dinding penghalang sekitar gunung sudah lenyap. Apa terjadi sesuatu disini?"

"Kurasa karena ketua menghilang, semua energi yang dia ciptakanpun ikut lenyap"

"Menghilang?"

"Entahlah. Dia pergi sebelum perang dimulai. Tidak ada yang tau kemana dia pergi."

"Ada yang aneh dengan ketuamu itu. Apa kau menyadari sesuatu?"

"Mn. Beberapa."

"Misalnya?"

"Aku tidak pernah bisa menemukannya dimanapun. Tiba tiba dia datang, tiba tiba dia hilang. Seperti hantu. Mungkin karena ilmunya sangat tinggi."

"Hmm. Lalu?"

"Dia sangat kuat ketika malam hari. Dan dia selalu menyendiri di siang hari."

"Apa kau tau siapa dia sebenarnya?"

"Aku tidak pernah mencari tahu soal itu."

"...."

"Apa karena itu kau menyuruhku meninggalkan kelompok?"

"Banyak hal. Salah satunya itu."

Beberapa jam Jaka terbangun. Wajah yang seperti mayat, kornea mata yang melebar. Dia tampak seperti hantu. Tama yang berada di samping tempat tidurnya senang akhirnya dia terbangun. Sedikit takut melihat sorot mata yang kosong itu. Seperti dia tidak berada dalam dirinya. Tama berlari memberitahu ini kepada Rinaya dan Bayu. Mereka pun bergegas datang. Bayu memeriksa dengan seksama. Mengecek denyut nadinya dan memeriksa efek samping dari mahluk itu. 

"Putri, apa dia baik baik saja?"

"Tidak perlu khawatir Tama."

"Dia baik baik saja untuk saat ini. Kita harus terus memperhatikannya."

Terdengar suara gaduh di luar goa. Seseorang berteriak. Dan orang lain menimpali teriakannya. Rinaya dan Bayu saling bertatapan seakan bertanya tanya kali ini ada apa lagi?

Mereka bergegas keluar melihat keadaan itu. Terlihat dua orang yang dikenalnya sedang beradu argumen dengan beberapa anggota kelompok. Mereka belum pernah menginjakan kaki di pemukiman kecil itu. Mereka dianggap orang asing yang mungkin berbahaya dan berniat jahat. Tidak ada yang salah dengan itu.

Anggota kelompok yang menghadang jalan perlahan menepi seraya Rinaya berjalan menghampiri. "Putri. Mereka mencoba menerobos masuk. Aku tidak mengerti mengapa dinding penghalangnya tidak berfungsi."

Rinaya "Dindingnya sudah lenyap. Kita harus lebih waspada." Semua anggota menggangguk menjawab perintah itu. 

Rinaya "Kenapa kalian datang kesini?"

Haris "Aku harus berbicara dengan Bayu"

Rinaya memberi isyarat "Masuklah"

Haris berjalan menghampiri Bayu yang hanya berdiri di ambang pintu Goa. Dhika mengikuti di belakang bersama Rinaya "Kau baik baik saja?" Tanya Dhika

"Tentu saja" jawabnya Rinaya datar. "Tidak perlu khawatir."  Mereka duduk di depan Api unggun. Membiarkan Haris dan Bayu berbincang.

Bayu menatap Haris di depanya "Seharusnya kau tidak perlu kemari"

"Kenapa kau lebih memilih membelanya? Keluarga kita di pertaruhkan kau paham itu kan?"

"...."

"Aku bisa mengerti jika pilihanmu untuk memelihara mahluk itu. Kau memang selalu melakukan itu. Tapi kau sudah lihat sendiri bagaimana pandangan semua orang terhadapnya. Kau juga melihat sendiri bagaimana perang semalam. Dia tidak bisa lolos dari hukuman"

"Itu hanya obsesi egois keluarga Wilis. Semua hanya dugaan. Kita tidak bisa menghakimi seseorang hanya karena satu sudut pandang. Kau juga tau mereka ikut andil dalam perang. Lagipula..."

"Aku tidak mengerti denganmu. Karena dia lah masalah selalu datang. Jika dia tidak ada kita mungkin tidak akan mengalami semua ini."

"Haris cukup. Aku punya alasan sendiri mengapa aku melakukan ini. Tidak ada hubungannya denganmu."

"Apa kau tidak punya hati? Aku adalah saudaramu. Kita bersama sejak kecil. Keluargaku selalu menjagamu, mengapa kau sangat tidak tau diri."

"Kalau begitu pergilah!" Bayu meninggikan suaranya. "Anggap lah aku sebagai orang mati. Tidak pernah hadir di kehidupanmu. Karena seharusnya aku sudah mati di goa Kulon saat itu."

"Apa kau gila? Hutang apa yang dia berikan padamu sehingga kau membuang keluargamu sendiri? Baiklah. Mulai saat ini kita tidak ada hubungan apapun."

Haris melihat lurus ke dalam goa. Seseorang berdiri di ambang pintu kamar. Jaka mendengarkan semua percakapan itu. Bahkan Dhika dan Rinaya yang duduk di depan Api unggun pun mendengarkannya. Tidak ada yang menguping. Namun pembicaraan mereka sangat keras hingga terdengar jelas. Rinaya bergumam "Seharusnya kau tidak boleh bersikap seperti itu."

Haris berbalik dan melangkahkan kakinya. Sejenak berhenti dan menatap Rinaya beberapa meter dari sana. Meninggalkan tatapan penuh kebencian. Lalu lanjut pergi. 

Satu jam kemudian Boris beserta pasukannya datang menerobos gerbang. Haris bersama mereka dengan beberapa luka di wajahnya. Dia pasti dipaksa menunjukan jalan. Pasukan Boris menerobos paksa. Menyerang semua orang yang ada disana tanpa kesiapan. Kerusuhan terjadi. Kejadian yang sama terulang kembali. Ketika Boris menerobos paksa kediaman keluarga Wijaya. Haris hanya mematung berekspresi muram. Sementara semua orang berusaha melawan dan menyelamatkan diri. Rinaya berlari kedalam Goa menghampiri Jaka dan Tama. "Jaka sesuatu terjadi di luar. Boris menerobos masuk. Kau dan Tama pergilah melalui jalur rahasia di ruangan ketua."

Jaka menggelengkan kepala "Aku akan bersamamu."

Tidak ada pilihan lain Rinaya hanya bisa setuju. Jaka selalu keras kepala dengan apa yang dia inginkan. Rinaya menuntun Tama menuju ruangan ketua . Membuka pintu kecil di bawah karpet. Ada anak tangga menuju kebawah. Rinaya membekalinya dengan sebuah lilin besar. "Tama dengarkan aku. Kau pergilah dari sini. Pergilah ke desa Polan Temui seseorang bernama Raka. Tunjukan Bros bunga ini padanya. Katakan bahwa kau adalah adiku. Menetaplah disana hingga aku menjemputmu ya."

"Tapi putri..."

"Tidak ada waktu. Pergilah sebelum mereka menemukanmu. Kau harus hidup dengan baik. ya."

Tama mulai mengalirkan air matanya. dia anak yang cerdas. Dia mengerti sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Dia juga mengerti ini adalah sebuah perpisahan. "Kau benar benar akan menjemputku?"

Rinaya menganguk. "Aku akan datang. Tunggulah. Kau harus hidup dengan baik. Jangan khawatirkan apapun. ya!!"

Tama menuruti kata katanya. Dia segera turun  dan Rinaya menutup jalur itu kembali. Dengan tergesa Rinaya berlari keluar dan bergabung dengan yang lainnya. Sesuatu tidak selalu dalam dugaannya. Jaka tertatih bangun dari tempatnya. Darah segar mengalir dari mulutnya. Hampir semua anggota kelompok itu tewas. Mata Rinaya memanas melihat kengerian itu. Hanya beberapa menit saja Rinaya di dalam sana. Tapi situasi berubah sangat cepat. Boris menusukan pedangnya di perut Jaka yang baru saja berteriak "Putri. Lari!!" Rinaya membeku. Aliran darahnya seakan terhenti. Waktu seakan melambat. Dhika menghadang serangan dari seorang Prajurit untuk Rinaya yang masih mematung menyaksikan tubuh Jaka yang terjatuh ke tanah. Bayu berlari menghampiri dan menarik Rinaya pergi.

Rinaya berlari dengan tangisnya. Boris dan pasukannya ikut mengejar. Rinaya berlari bukan untuk melarikan diri dari Boris. Tapi dia tidak tahan melihat seluruh teman temannya mati karena dia. 

Langkahnya terhenti mengikuti jalanan yang berakhir di tepian. Tebing tinggi berada di ujung jalan itu. Rinaya tidak peduli dengan itu. Dia hanya berdiri dan menangis.

Dhika dan Bayu memutar pandangannya mencari jalur lain. Tapi Boris sampai lebih cepat. Dia benar benar terobsesi untuk mengakhiri hidup Rinaya.

Boris tertawa "Kini kau seperti Kucing kehilangan induknya."

Bayu "Hentikan itu Boris. Tidak kah merasa cukup kau menghabisi nyawa orang?"

Boris "Sebaiknya kalian berhenti melindungi orang itu. Atau aku akan memasukan kalian kedalam daftar penghianatan dan pembangkangan. Aku seharusnya berterimakasih kepada saudaramu. Dia dengan sukarela menunjukan jalan, dan mempermudah urusanku."

Rinaya masih memandangi tebing itu. Tebing yang sangat curam dan tinggi. Bahkan dasarnya tidak terlihat. Hanya putih tertutupi kabut. Terjun di ketinggian itu pasti tidak akan selamat. Rinaya berbalik badan. Sorot matanya kini kian tajam. Tidak ada lagi Rinya yang Baik hati. Dia alirkan energinya di kedua tangannya. Sesuatu terbentuk dari tangan kirinya. Sebuah busur panah bercahaya biru kemerahan. Dia menarik talinya dan membidiknya tepat ke arah Boris. perlahan terbentuk anak panah berwarna merah.

Melihat itu Boris langsung bereaksi "Serang!!" dia tau Rinaya bisa melakukan itu. Dia pernah melihatnya di perang kemarin ketika dia tidak memegang senjata apapun. Dia juga mendegar info dari prajuritnya yang selamat ketika di Goa Kulon.

Semua prajurit tidak sempat melangkah. Tembakan anak panah Rinaya sangat cepat mengenainya. Sekali tembakan anak panah itu terbagi menjadi lima. Tepat mengenai musuh. Boris berhasil menghindar dengan menggunakan prajurit lain sebagai tameng.

"Jlebb" Rinaya melangkah mundur. Sesuatu memang terjadi dengan cepat secara tiba tiba dan tak terduga. Sebuah anak panah menancap di bahu kanan Rinaya. Dhika dan Bayu merapatkan badan menghadang serangan yang mungkin akan datang lagi. Pasukan boris kembali menghunuskan senjata.

Beberapa kembali menyerang. Bayu dan Dhika sibuk menghadang mereka. Rinaya mencabut anak panah yang melukainya dengan menahan rasa sakit itu dia mencoba kembali membentuk Busur Panah melesatkannya lagi menjadi lima. Membunuh mereka sekaligus.

Memang nasib sedang tidak berbaik hati padanya. Satu lagi anak panah menembus tubuhnya. Saat itu lah dia menyadari  Seseorang di atas pohon membidiknya. Dengan cepat dia melesatkan satu anak panah ke arah pemanah itu. Tepat mengenai tubuhnya dan langsung terjatuh ke tanah.

Boris selalu merasa Bayu dan Dhika selalu menghalahinya. Melihat mereka selama ini membuatnya semakin geram. Dia bergegas berlari ketika tidak ada satupun yang memperhatikan. Berlari mengayunkan pedangnya kepada Bayu yang berada tepat di depan Rinaya menahan serangan prajurit.

Satu detik seakan berjalan begitu lambat. Rinaya melihat tujuan Boris. Dia mendorong Bayu ke samping dan menghadang Boris. Menahan pedang itu dengan  pedang pendek yang baru saja dia keluarkan dari sarungnya. Rinaya terdorong mundur tidak dapat menahan.

Dhika bergerak cepat. Melayangkan pedangnya. Boris menghindar. Entah dari mana satu tembakan anak panah melesat diantara mereka. Sedikit melukai lengan Dhika. Melewatinya. Rinaya tersenyum. Memejamkan matanya. Ah, Aku sudah lelah, Aku ingin Pulang dan tidur nyenyak.

Rinaya kehabisan pijakan. Langkah terakhirnya membawanya pada satu rasa yang mungkin tidak akan bisa dia rasakan lagi. Aku Menyerah.

Kala mentari hangat terus menyinari. Kala itu pula asa tak pernah padam.

Aku berjanji untuk hidup yang lebih baik. Aku berpaling pada janji itu.

Aku terlalu terlena oleh Mimpi. Bangunkan aku ketika aku harus menjalani Hidup yang baru.

Selamat Tinggal ....