webnovel

Keris

Malam terasa sangat dingin. Celah Lantai kayu menghembuskannya ke dalam ruangan. Tikar tikar yang berjejer di lantai kayu itu tidak bisa menahan dinginnya angin malam. Menusuk kulit dari tubuh tubuh yang terbaring sakit. Hampir semua pasien di ruangan itu menggigil kedinginan. Dengan buliran keringat di setiap kening kening mereka. Itu sudah biasa. Hanya gejala lama yang mereka rasakan akhir akhir ini. Sebelumnya ketika awal terjangkit mereka merasakan gejala yang sama. Seorang perawat tiba tiba saja terjaga dari tidurnya. Dia pasti sangat kelelahan. Tidur sambil terduduk bersandar di sebuah tiang kayu dengan sebuah handuk masih di genggamannya.

Salah satu pasien memanggilnya. Memintanya mengambilkan secangkir air minum.

Terlihat peluh di wajah perawat itu. Tapi dia tidak mengeluh. Membawanya secangkir air. Memberikannya kepada pasien itu.

"Neng Susan, akhir akhir ini saya sering merasa haus. Tenggorokan terasa kering padahal sudah minum banyak."

"Pasti karena banyak keringat keluar jadi terasa haus. Nanti biar Susan tanya sama tuan tabib. Bibi yang sebelah sana juga sama."

Susan seorang perawat yang telaten sejak wabah menyebar. Dia orang yang bersih dan selalu berhati hati. "Ini ada kiriman buah dari keluarga bapak. Kemarin datang ingin jenguk. Tapi bapak lagi tidur. Jadi dia titip ini sama susan. Susan kupas ya buah nya." Dengan sebuah pisau kecil Susan mengupas buah buahan itu. "Ah" jari tangannya tidak sengaja teriris. Darah mengalir dari sayatan itu. Terluka cukup besar. Darah menetes ke lantai kayu. Susan segera pergi dan mengobati lukanya. Itu bukan apa apa. Hanya luka kecil. Semua orang sudah pernah mengalaminya.

Pasien pria paruh baya itu pun terlihat biasa saja. Susan pasti tidak fokus karena lelah berhari hari kerja. Tapi pria ini merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tetesan darah itu tercium sangat wangi baginya. Sangat menarik perhatiannya. Tenggorokannya yang kering seakan membuatnya semakin mengering. Mencium bau darah itu membuatnya gemetar. Semakin lama semakin terasa haus. Tapi pikirannya masih sehat. Tidak mungkin dia menjadi tidak normal seperti itu. Tapi dia juga penasaran bila saja yang dipikirkannya itu benar. Dia ambil pisau kecil di samping tempat tidurnya. Dia iris salah satu jarinya dan darah mengalir dari luka itu. Dia jilat darah dari tangannya itu. Sesuatu dia rasakan. Tenggorokannya mulai terasa lebih baik. Tapi hanya sebentar saja. Tapi dia merasa lebih baik. Itu terasa aneh untuknya. Tapi dia masih penasaran dengan apa yang dia rasakan.

Tetesan darah di lantai kayu amat terlihat menggiurkan. Dijilatnya darah itu. Sesuatu terasa lebih aneh untuknya. Tidak seperti sebelumnya. Dia merasa jauh lebih baik. Tapi pikirannya berkata lain. Hal seperti ini sangat lah buruk. Mereka yang meminum darah adalah orang orang yang dikutuk dunia. Selalu berurusan dengan hal buruk. Sesat dan pengikut aliran hitam.

Sejenak dia sadar. Sejenak dia gila. Pikirannya beradu antara baik dan buruk. Dia kembali berbaring bersikap seolah tidak terjadi apa apa. Dia memutuskan untuk tetap tutup mulut.

***

Rinaya "Aku tidak mengerti aku masih merasa pesan yang aku dapat dulu, masih akan terjadi lagi."

Tuan Baskara "Pesan seperti apa?"

Rinaya "'Satu kejadian besar akan terjadi lagi. Dan akan lebih mengerikan.' setelah perang besar itu banyak hal terjadi. Tapi jika kupikirkan lagi. Kejadian waktu dulu dan perang saat itu adalah kasus yang berbeda. Setelah aku mendapat informasi lain. Aku baru menyadari bahwa apa yang di beritahukan arwah itu bukanlah perang lima belas tahun lalu. Arwah itu salah satu korban selamat di kota mati itu. Lalu sekarang ada kasus yang sama. Bukankah lebih cocok dengan kasus wabah saat ini?"

Dhika "Jadi arwah yang kita temui saat itu, ingin menyampaikan hal ini?"

Rinaya "Kurasa begitu."

Dylan "Kau yakin? Perang lima belas tahun lalu sangat mengerikan. Dan kali ini kita sedang menunggu hal yang lebih mengerikan?"

Rinaya "Aku hanya menarik benang merah di setiap informasi. Dan ini lebih masuk akal. Hanya saja aku menemukan petunjuk lain. Tapi aku masih tidak yakin."

Tuan Baskara. "Mengenai apa?"

Rinaya "Banyak orang penting terlibat di belakang ini semua. Dan mungkin sudah berjalan sejak wabah lima puluh tahun lalu." Rinaya memutar kepalanya dan menatap Dylan "Bagaimana menurutmu?"

"Entahlah" Jawabnya ketus. Dia tidak ingin membuka mulut saat ini.

Bayu redup menatap meja "Apa yang harus kita lakukan dengan desa ini?"

Tuan Baskara "Tuan tabib bukankah anda sudah melakukan sesuatu untuk mereka?. Mengapa anda terlihat sangat bimbang?"

Rinaya berusaha meyakinkan Bayu untuk bicara."Katakan saja, kuyakin kita akan menemukan cara"

Bayu "Ada hal yang belum ku beritahu sebelumnya. Gejala mereka hanya hal biasa seperti keracunan makanan dan terserang penyakit kulit. Tapi semakin lama semakin aneh. Secara ilmu kesehatan, hal seperti itu mudah untuk di sembuhkan. Tapi mereka tidak ada kemajuan sama sekali. Aku hanya berusaha menghambat perkembangan penyakitnya. Beberapa ciri membuatku menduga hal yang tidak masuk akal. Seperti yang kau katakan tadi. 'mereka akan berubah menjadi sesuatu yang lain'"

Dhika "Kenapa kau tidak beritahu ini lebih awal?"

Bayu "Masyarakat akan panik. Semua orang akan panik. Jika aku menyebutkan dugaan itu. Aku yakin desa ini akan segera di tutup dan berakhir seperti kota sebelumnya. Mereka tidak bisa disembuhkan. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka mati begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu agar hal ini bisa diatasi. Tapi ternyata aku tidak bisa."

Rinaya "Kau sudah melakukan banyak hal sebagai orang biasa."

Bayu mendengar itu langsung menatapnya dengan heran, mengapa ada kata kata 'orang biasa' dalam kalimat itu. Lalu dia menunduk kembali menatap meja.

Tuan Baskara "Aku ingin bertanya, mengapa mereka bisa berubah menjadi sesuatu yang haus darah?."

Rinaya "Biar aku jelaskan. Air di seluruh desa telah tercemar. Orang biasa mungkin hanya akan melihat ada sejenis belatung di dalamnya. Karena adanya mayat itu. Tapi yang benar adalah Belatung itu adalah partikel kecil dari mahluk parasit itu. Bayangkan. Mahluk itu masuk kedalam tubuhmu, bersarang disana. Menghisap seluruh energi tubuhmu. Menggerogoti setiap darah dan daging di dalam tubuh. Membuat mereka seperti kurang gizi atau lainnya. Bayangkan jika mereka mempertahankan inangnya untuk tetap hidup. Dan mengendalikan mereka mencari orang lain untuk dihisap darah dan dagingnya."

Sebenarnya Rinaya tidak terlalu yakin dengan ini. Hanya saja dia seakan mengalami hal yang selalu dia tonton. Seperti drama korea atau drama china. Bahkan dia menonton film mengenai zombie yang menjadi favorit semua orang. Dia hanya menyambungkan sesuatu yang berhubungan dengan itu. Hal hal yang masuk akal. Dan hal hal mengenai medis. Semua film film itu pun tidak mungkin hanya asal karangan saja. Pastilah ada hal logis didalamnya. Sehingga seperti hal yang nyata.

Dylan "Itu mengerikan. Jangan takuti kami. Kau tidak lihat disini ada anak kecil."

Tio "Siapa yang anak kecil" Tio dan Danu mendengarkan dengan seksama. Mencoba mengerti sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Mereka berdua istimewa bagi Balapati Wiriya. Mereka lebih sering bersamanya di banding murid murid yang lain

Dhika "Itu terdengar semakin masuk akal. Mahluk alam lain selalu haus dengan darah. Darah adalah makanan mereka. Merupakan hal yang sesat ketika ada orang yang memberikan darah mereka kepada mahluk alam lain."

Tuan Baskara "Tapi bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu.?"

Rinaya "aku juga tidak mengerti hanya saja semua terasa semakin mudah. Eh, Tuan tabib. Kenapa kau terlihat sangat cemas."

"Seorang perawat beberapa hari lalu memberitahuku bahwa pasien selalu terasa haus dan tenggorokan kering meski sudah minum sangat banyak." Jawab Bayu

Rinaya "Ha?"

Semua orang menatap Bayu heran. Dhika bertanya tanya mengapa hal sepenting ini dia tidak memberitahunya. Mengapa hal sepenting ini dia tidak mengetahui dan menduganya.

Rinaya "Tuan Wiriya, aku yakin aku tidak akan di terima kembali ke balai desa. Karena itu. Tolong sampaikan ini pada semua nya."

Tuan Baskara mengangguk setuju.

Rinaya "Tidak boleh ada yang memakai air dari sumur sebelum benar benar bersih. Akan sangat sulit untuk membersihkannya dengan cepat. Jadi lebih baik itu di tutup saja. Kurasa tidak semua orang bisa membersihkannya juga. Selalu pakai air yang ada di mata air di lereng gunung. Selalu periksa kertas mantra di bawah batu. Dan di setiap penampungan. Itu akan menjauhkan pencemaran."

Bayu menatapnya heran dia tidak menduga bahwa Rinaya sudah mengetahui itu. Bayu lalu tersenyum, mengingat memang seperti itulah Rinaya.

Rinaya "Juga, mahluk itu sudah ada di dalam tubuh orang hidup. Kurasa kita harus mencoba cara untuk menghilangkan mahluk itu dari tubuh mereka. Tapi..."

Dhika "ada apa?"

Rinaya menghela nafas. Memegang keningnya dengan salah satu tangannya "Kurasa belum ada yang mengetahui caranya."

Dhika "Apakah bisa seperti arwah itu?" Dia tidak menyebutkan nama Jaka. Padahal bukti nyata terbaru adalah adanya Jaka. Tapi memang semua akan panik jika memberitahukan hal semacam ini.

Rinaya "Kasusnya berbeda. Kurasa itu tidak akan berhasil."

***

Hari semakin gelap. Semua orang semakin sibuk. Semua pasien di pindahkan. Semua berada di balai desa. Tidak ada lagi di luar itu. Mencegah sesuatu yang entah akan terjadi atau tidak. Semua sesuai arahan dari Rinaya. Entah mengapa juga Tuan Baskara Wiriya menuruti arahannya. Dia pasti punya alasannya sendiri.

Sementara Rinaya pergi dari desa, menuju rumah di pinggiran desa. Jika dia bertemu lagi dengan Boris dan Dyah. Pasti akan terjadi lagi perselisihan. Lagipula dia sudah bilang bahwa akan ikut bersama Jaka.

Dalam perjalanan terlihat Haris berdiri di tengah jalan. Seperti sengaja menunggunya melewati jalan itu. Rinaya menatapnya. "Aku sedang tidak ingin berselisih dengan siapapun. Pergilah."

"Kau tidak menyesal menampakan wajahmu?" Haris tidak menggubris perkataannya.

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak menyesali semua perbuatanmu?"

Rinaya menunduk dan tersenyum "menyesal atau tidak, itu adalah masalahku. Tuhan sudah sangat menghukumku saat ini. Apalagi yang bisa ku lakukan."

Haris "kau bisa tetap mati saja."

Rinaya "Tidak perlu khawatir. Kau akan melihat itu nanti."

Haris "Kenapa kau melakukan itu? Kenapa tuhan menghukum keluargaku demi kau."

Rinaya "Apa yang harus ku lakukan untuk sesuatu yang sudah mereka pilih?"

Haris "Apakah Bayu bersamamu?"

Rinaya "Bagaimana jika iya?"

Haris tersenyum pahit. "Bertarunglah denganku. Bukankah kau sangat hebat? Aku tidak akan mengalah kali ini"

Rinaya mengerutkan dahi "Kau bercanda?"

Haris "Aku tidak pernah se serius ini."

Haris menghunuskan pedangnya. Dan berlari menyerang Rinaya. Dia hanya bisa menghindar. Dan sesekali menangkis serangan serangan itu dengan pedang pendeknya. Untungnya tadi ketika bertemu Jaka, dia memberinya pedang pendek itu untuk berjaga jaga. Tidak di sangka Rinaya benar benar membutuhkan ini.

Semakin lama serangannya semakin sulit untuk di hentikan. Dia benar benar semakin kuat.

Haris "Ada apa denganmu? Mana semangatmu yang dulu itu?"

Rinaya tersulut emosi. Tapi mau bagaimana lagi. Dia memang tidak terbiasa seperti dahulu. Tapi dia juga tidak punya pilihan untuk terus berhadapan dengannya. Jika diam saja. Dia akan mati di tangannya. Akan sia sia kedatangannya kali ini. "Sial"

Haris kembali menyerangnya. Beberapa kali Rinaya hampir terluka. Semakin lama semakin terpojok. "Keluarkan itu! busur panahmu yang melegenda. Jika tidak, kau mungkin akan mati."

Satu serangan dari Haris tidak bisa dia tahan. Bahkan pedang pendeknya terlempar jauh. "Aku tidak akan mengalah padamu" teriak Haris. Sorot matanya pun berkata demikian. Rinaya harus berpikir cepat. Dia tidak ingin mati begitu saja.

Dia mencoba kembali satu hal yang hanya bisa dia lakukan. Dia bergumam sesuatu. Berdoa semoga saja ini berhasil lagi kali ini. Dengan cepat dia mencoba mengumpulkan energinya. Membentuk satu bentuk yang selalu dia gunakan dulu. Keringat berbulir di keningnya. Dia merasa sangat lelah. Dia merasa tidak bisa melakukannya. Dia tidak bisa.

Sejenak dia terpikirkan apabila energinya dia kumpulkan hanya di satu tangan saja apakah dia bisa melakukannya. Tapi mungkin tidak akan membentuk busur dan anak panah. Bagaimana jika membentuk sebuah pedang? Apakah bisa?

Tidak ada waktu untuk terlalu lama berfikir. Rinaya melakukan itu. Menggabungkan tangannya dan membentuk energi. Perlahan terbentuk sesuatu di tangannya.

Trang!! Benturan benda tajam menggema. Rinaya berhasil membuat sesuatu. Menahan serangan milik Haris. Terlambat sedikit saja Rinaya pasti sudah terbelah menjadi dua.

Haris terheran melihat apa yang di pegang Rinaya. Bukan lagi busur dan panah. Tetapi sebuah energi membentuk pedang pendek, pedang dengan bilah meliuk seperti ular. Keris. Rinaya pun tidak menyangka bisa membentuk benda pusaka seperti itu. Rinaya sedikit sombong. Dia tersenyum sinis mendorong serangan Haris dan mencoba untuk sedikit melukainya ketika Haris sedang lengah.

'Eh, ada apa ini? Kenapa seperti ini?'

Satu serangan Rinaya seharusnya bisa setidaknya membuat luka yang cukup dalam. Tapi sesuatu menahannya. Pendar energi berwarna hijau melindunginya. Membentuk seperti baju baja.

Haris "Padahal aku barusan lengah. Tapi kau tetap tidak bisa melukaiku sedikitpun. Kau sungguh mengecewakan."

Rinaya mengerutkan dahi "Kau....? Bagaimana bisa?"

Haris "Kali ini aku akan membiarkanmu. Lain kali mungkin tidak."

Rinaya hanya diam. Dengan sesuatu yang baru saja terjadi. Bertanya tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia kini memikirkan Bayu. Mengingat pertarungannya dengan Boris. Membuatnya bisa menyimpulkan sesuatu.

Haris "Aku membencimu, aku juga membencinya, jika sekali lagi kalian membuatku marah. Aku bersumpah akan membunuh kalian dengan tanganku sendiri. Kalian hanyalah parasit yang tidak layak hidup di dunia ini. Kalian pembawa malapetaka."

Rinaya "Jaga ucapanmu. Aku bersumpah kau akan menyesali semua yang kau katakan dan berlutut di hadapanku. Menangisi takdirmu yang malang."

Haris hanya menatapnya tajam penuh kebencian lalu pergi begitu saja. Rinaya bersimpuh terduduk di tempat yang sama. Tatapan kebencian Haris membuat hatinya teriris. Memang benar Rinaya pun merasa bersalah atas kejadian yang menimpa keluarga Wijaya.

Semua kejadian di masa lalu, Rinaya merasa bersalah. Semua orang sudah mengutuknya, membencinya hingga mati. Dia tidak menyangkal itu. Jika saja dia tidak pernah datang. Tapi Tuhan pasti punya rencana lain. Rinaya hanya berpegang pada itu.

"Masa lalumu sepertinya lebih menyedihkan dibanding rumor beredar" seseorang datang dari belakangnya. Rinaya menghapus air mata yang tadi mengalir. Lalu menoleh ke arahnya.

"Dylan kenapa kau di sini?"

"Mencarimu! Kau terlihat kacau. Kau bisa berdiri?"

"Ya, aku hanya merasa lelah."

Rinaya mencoba berdiri, tapi kakinya seakan sangat lemas.

Dylan dengan inisiatif mengendongnya di punggungnya. "Tidak perlu selalu merasa kuat. Kau itu perempuan. Menangislah jika memang kau ingin menangis. Tidak perlu menahannya."

"Aku baik baik saja." Rinaya tenggelam di punggung laki laki itu. Menyembunyikan wajahnya. Meski dia berkata seperti itu. Tapi pada akhirnya dia tetap menangis.

"Tidak apa apa. Aku mengerti." Ujar Dylan.

Sepanjang jalan dia menangis. Dylan yang menggendongnya tidak bicara apapun. Dia tau Rinaya hanya perlu mengeluarkan semua kesedihannya.