webnovel

Kenapa

Sebuah rumah sudah terlihat. Meski masih beberapa meter di depan. Terlihat Jaka berdiri di halaman rumah entah apa yang dia lihat. Semilir angin selalu berhembus meniup dedaunan. "Dylan, Turunkan aku"

"Sebentar lagi. Aku tidak ingin berhadapan dengan balapati karenamu."

"Kenapa seperti itu?"

"Jika terjadi sesuatu padamu mungkin pedangnya akan menusuk jantungku. Saat ini kau orang yang berharga untuknya."

"Seperti drama saja." Jawabnya ketus

"Putri, kau sakit?" Tanya Jaka ketika baru saja sampai. Dylan menurunkannya di depan pintu. Rinaya duduk di disana.

"Tidak. Aku hanya lelah saja."

"Terjadi sesuatu?"

"Aku bertemu dengan Haris. Aku terpaksa melawannya."

Dylan "Aku ingin tanya. Bagaimana kau bisa melakukan itu?"

Rinaya "Melakukan apa?"

Dylan "Sebelumnya kau membuat busur panah. Tadi kau membuat pedang bergelombang. Bagaimana bisa?"

Rinaya "Entahlah. Bukankah bayu dan Dhika juga bisa melakukan itu?"

Dylan "Aku pernah mendengar itu. Tapi selama yang di pelajari di setiap padepokan hanyalah mengalirkan energi ke suatu senjata. Tapi kau membuat sesuatu dengan tangan kosong."

Rinaya tersenyum "Aku terdengar sangat hebat."

Dylan "Tapi aku tidak pernah melihat Balapati melakukan itu?"

Rinaya "Benarkah? Lalu bagaimana aku bisa melakukan itu?"

Dylan "Mana ku tau. Kenapa malah bertanya balik. Percuma saja bertanya padamu."

Jaka tersenyum "Tidak semua orang bisa melakukan itu. Tapi anggota kami hampir semua bisa melakukannya. Hanya saja tidak sekuat itu. Jika orang biasa mungkin harus berlatih lebih keras."

Dylan "Hoo. Jadi kau termasuk orang terpilih ya...."

Rinaya "Itu berlebihan. Aku hanya istimewa" dia terdengar sombong dengan kalimat itu. Senyumnya seakan bangga pada dirinya sendiri.

Dylan "Kudengar kau sangat hebat dulu. Sekarang untuk melakukan itu pun kau sampai selemah ini. Sebenarnya ada apa denganmu?"

Rinaya "Mereka melebih kan cerita. Ada kekuatan pasti ada kelemahan. Dulu pun aku tidak bisa melakukannya setiap saat."

Dylan "Benarkah? Apa mereka tau kelemahanmu?"

Rinaya "Tentu saja tidak. Mereka tidak tau keadaan yang sebenarnya seperti apa. Kalau mereka tau pasti rumor itu tidak akan seheboh ini. Kenapa kau sangat cerewet? Apa ini bagian dari investigasimu?"

"Hahaha hanya penasaran saja." Jawabnya

Jaka "Putri. Kau tidak keberatan menceritakan itu padanya?"

Rinaya "Benar juga. Tapi Balapati percaya padanya. Aku tidak khawatir. Mungkin dia akan di cincang olehnya jika melakukan hal buruk."

Dylan merengut "Kau sangat mengenalnya sekali."

***

Pagi pagi Jaka sudah bermain dengan busur dan anak panahnya. Dia sudah hebat tapi dia masih tetap berlatih. Bedanya kini dengan mata tertutup. Sungguh luar biasa. Rinaya keluar dari rumah dengan wajah pucat. Lingkaran hitam di matanya terlihat sangat jelas. Dia tidak bisa tidur semalaman.

"Aahhh. Ngantuuukkk. Rasanya badanku lemas sekali..."

Jaka masih menembakan anak panahnya "tentu saja. Kau tidak tidur semalaman. Apa yang kau pikirkan."

Rinaya "Banyak hal. Aahh. Perutku lapaarr..."

Dylan datang dengan nampan berisi makanan "Sepertinya aku datang di waktu yang tepat."

Rinaya tersenyum "Sepertinya kau bisa menebak pikiranku."

Dylan "Kau memang mudah di tebak."

Rinaya "Benarkah?" Rinaya memakan makanan itu mengisi perutnya yang kosong.

Jaka "Putri. Mengenai yang kau kataan waktu itu.....?"

Rinaya "hmm?? Kau ingin kita pergi dari sini?"

Jaka "Itu....?"

Dylan "Ada apa?"

Jaka "Putri, kita tidak harus berurusan lagi dengan mereka. Kita bisa hidup tanpa mereka. Kita bisa kembali ke gunung dan memulai hidup baru."

Rinaya tersenyum "Aku mengerti."

Dylan "Apa yang kalian bicarakan? Tidak bisa. Kau tidak bisa pergi jauh dariku. Kau ingat, kau adalah tahananku. Kau bukti penting miliku. Kau bisa pergi jika kasus kasusku sudah selesai."

Rinaya "Itu pasti lama sekali. Berapa banyak kasus yang kau tangani. Belum lagi wabah ini... Ini bukan kasus yang bisa di pecahkan dengan mudah. Kau akan menjadikanku tahanan selamanya. Aku tidak ingin berurusan dengan mereka dan kau malah menyeretku."

Dylan "Kalau begitu bantulah biar ini cepat selesai."

Rinaya "Aarrgghh kau tidak mengerti. Ini kasus yang berhubungan dengan lima puluh tahun lalu. Kau lihat sendiri mayat di dalam sumur itu. Pasti seseorang sengaja melakukan itu agar....." Rinaya terhenti dari kalimatnya matanya berputar seolah sedang berfikir keras. Apa yang terjadi sebenarnya dia hanya menduga beberapa hal saja. "Tunggu .... Kenapa harus menunggu selama itu? Kenapa tidak saat dulu atau diantara lima belas tahun kebelakang? Kenapa harus sekarang ketika aku datang dan kenapa....?" Nafasnya mulai tak beraturan. Dadanya mulai berdebar.

Jaka "Putri?"

Dylan "Ada apa? Apa yang kau pikirkan?"

Rinaya melompat dari kursinya dan berlari menuju desa.

Dylan berteriak "Hey. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Jaka "Tuan. Apa dia terlihat gelisah?"

Dylan "Dia terlihat panik."

Jaka "Tuan muda, Tolong susulah dia. Ku takut terjadi sesuatu di desa."

***

Di mata air dekat lereng gunung. Bayu berdiri mematung. Menahan kecewa dan marah. Bebatuan di sekitar mata air itu terbuka. Kertas kertas mantra yang dia simpan di bawahnya sobek menjadi beberapa bagian kecil. Airnya memang belum tercemar. Tapi lengah sedikit saja. Akan berpengaruh banyak terhadap pasien. Bayu mengepal erat kedua lengannya menahan emosi. Entah siapa yang melakukan ini. Mereka seakan sengaja melakukannya. Ingin membuat sebuah peragaan drama thriller yang mengerikan. Bayu berbalik dan lalu berlari pergi dari sana. Dengan emosi yang mungkin akan meledak setiap saat.