webnovel

Nowadays: Apa Warnamu Saat Ini?

Empat Zona di Negara Satu, zona Merah, Kuning, Biru, dan Hijau. Salah satu emosi yang menjadi dominan, Amarah, Tawa, Tangis, dan Ketakutan. Perasaan yang terlupakan dan tak lagi dikenali. Cinta. Dapatkah zona bersatu seperti pada masa lalu? Apakah emosi akan menghilangkan rasa yang baru saja timbul?

chiechioechi · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
3 Chs

Orang-orang Berambut Merah

"Sekarang ini, siapa yang peduli jika salah satu bagian di system otakmu membesar setelah kiamat kecil alias perang besar dengan segala zat berbahaya yang telah terjadi—aku yakin tak akan ada yang selamat saat kiamat besar, hal ini kudapat dari cerama agama yang kuyakini. Ah, baiklah, aku tidak akan membahas ini, tapi tentang limbikmu. Ah sudahlah, kalau pun begitu, hatimu masih mengerti banyak rasa, meski hanya punya satu emosi untuk menunjukkannya. Ehm, ini kata orang sih."

Tio menghentikkan mengetik. Membaca sekali lagi tulisan di kolom komentar website pelajaran sejarahnya dan menekan tombol enter. Ia menggerakkan kepalanya. Melirik teman dengan rambut yang lebih gelap dari miliknya yang berwarna cokelat kemerahan, duduk di sampingnya, As yang masih mengetik dengan satu alis terangkat. "Kau lama sekali," gumam Tio.

As berhenti menggerakkan tangannya. Menggaruk kepala dengan rambut merah gelap dan nyaris berwarna hitam. Menoleh pada Tio. Juga teman sekelasnya yang masih berada di lab. komputer sekolah. Suara ketukan di atas keyboard terdengar sangat jelas.

"Aku tidak suka sekali berada di sini, ayo keluar," kata As, berdiri, mendorong kursinya ke belakang, dan membuat meja di belakangnya bergetar.

"Kau hati-hati," teriak Reid. "Kau mau aku mengulang?" protesnya.

Alis As menyatu. "Kau sih lama sekali kerjanya, hanya komentar begitu saja, ayolah ke kantin."

"Kau pergi saja, aku harus selesaikan ini dulu," kata Reid dengan bibir manyun. "Tidak perlu memesan makanan untukku," ucapnya pada Tio.

"Aku tahu," Tio mencibir, "kau tidak usah mengigatkanku terus. Ayo As, paling dia mau berduaan saja dengan Ruhi," katanya melihat gadis di sebelah Reid dan mengajak As keluar lebih dulu.

As dan Tio tiba di kantin dengan helaan nafas berat. Mereka pikir tak akan ada banyak siswa di sana. Tapi sudah banyak sekali siswa mengantri dengan balutan seragam olahraga ungu yang kontras dengan rambut warna merah mereka.

As mengepakkan ujung jas panjangnya. Mengambil tempat yang selalu kosong untuknya.

"Kalian seharusnya ganti pakaian dulu sebelum ke kantin," kata Tio, berteriak, membuat siswa yang baru saja mengikuti kelas olahraga berbalik.

"Memang kenapa, kami kan lelah," kata salah satu dari mereka dengan suara tertelan, dan yang lain membenarkan.

"Ai, ai, kalian merusak aroma kantin, menjadi lebih buruk," Tio menoleh, meminta dukungan As. "Kau tidak lihat ada Asyam Kafiglass di sini."

As menyilangkan tangan. "Kalian cepatlah makan dan keluar, jangan mengganggu makanku."

"Kami tahu," mereka memilih diam, setelah mendengar kalimat dari anak pemilik sekolah itu. "Kami juga tidak tenang kalau makan bersamamu," gumam mereka, dengan cepat menghindar.

Tio menyeringai. "Baguslah, kalau kalian tahu diri."

As menepuk bahu Tio. "Kau jangan terlalu banyak berteriak."

"Siapa? Aku?" tio menunjuk dirinya. "Mereka yang tidak tahu diri. Ah, sudahlah." Tio mendengus. "Bu, cepatlah menyendok makanan untuk mereka," teriaknya pada penjaga kantin.

"Aku tahu," wanita paru bayah itu mengenyitkan dahi.

"Baguslah, kalau kau tahu diri," cibir Tio. Bahkan setelah makanan berada di hadapan mereka.

Selanjutnya, terdengar ucapan selamat makan. Volume yang semakin meninggi. Teriakan. Cacian. Makian. Lemparan. Semuanya terlihat baik, seperti biasanya di salah satu sekolah tinggi di Zona Merah ini, remaja memang selalu suka berteriak.

Sejak ribuan tahun yang lalu, setelah dunia porak-poranda untuk beberapa saat. Menyebabkan perubahan terjadi. Perkembangan satu emosi dalam diri manusia menjadi tidak tertahan. Satu emosi berkembang pesat dari emosi yang lain. Para manusia memilih mengelompokkan diri mereka. Tidak ingin bercampur dengan orang-orang yang tidak akan mengerti apa yang lainnya rasakan. Karena itu terbentuklah beton dan pagar tinggi yang menjadi pembatas untuk setiap kelompok.

Setidaknya ada empat zona yang memisahkan diri. Mereka membatasi zona dengan beton tinggi dengan warna yang berbeda. Zona Merah tak akan mau perduli dengan urusan di zona lain, pun sebaliknya. Orang-orang Zona Biru bahkan sangat menghindari Zona Merah jika mereka sedang berada di luar zona aman mereka. Melalui beton merah itu saja, mereka sangat hati-hati. Terlalu beresiko mendengar teriakan mereka.

Hijau, merah, biru, dan kuning, warna-warna yang sesuai dengan warna rambut mereka dan dijadikan warna penghias beton pembatas. Mereka keluar dari zona mereka hanya untuk kepentingan Negara yang setiap tahunnya diadakan pemerintah yang berpusat di Zona Putih dengan gedung pemerintahan berwarna serba putih yang berdiri di tengah-tengah. Tentu saja, tak ada interaksi apalagi berbincang dengan yang lain. Meski jubah sudah digunakan untuk menutupi kekhasan, mereka tahu jelas, dan memilih untuk menjauh dari seseorang yang tak harusnya menjadi kawan. Karena itu, presiden Negara Satu menjadi khawatir.

Abra, pria tua dengan janggot putih sepanjang dada dan rambut jarang-jarang yang selalu mengenakan pakaian serba putih itu melihati layar besar yang terbagi menjadi beberapa kotak. Memperhatikan gerak-gerak yang terjadi di dalam sana. Ia duduk di kursi besarnya. Mengatupkan jari-jari tangannya. Ia menghela nafas melihati Taman Persatuan yang nampak kosong meski setiap tahun telah dibangun wahana.

"Sebentar lagi ada rapat," gumam Abra.

*