webnovel

Rasa Ingin Tahu

Motor Suzuki hitam milik Bintang sudah berada di depan gerbang tempat Eleanor bekerja. Walaupun wanita itu menyuruhnya untuk menunggu di seberang yang terdapat coffee shop, Bintang yakin bahwa Eleanor bekerja di sini. Dia mematikan mesin motornya sambil menurunkan helm full face miliknya agar bisa dijadikan sebagai sandaran siku-siku tangannya.

Tak lama kemudian, dugaan Bintang benar. Ia melihat wanita itu berjalan dengan temannya yang tampak sangat familiar, sebelum pada akhirnya mereka berdua berpisah karena harus masuk pada mobilnya masing-masing.

Kedua bola mata Bintang membulat, dia sangat mengenal si pemilik mobil yang kini hendak keluar dari pintu gerbang. Bintang buru-buru berpaling, berharap wanita itu tak menyadari atensinya.

"Bintang Devara? Kamu Bintang Devara kan, ya?"

Detik itu juga, Bintang tahu dirinya tidak akan baik-baik saja saat ia menoleh dan memasang tampang datar, sementara wanita itu terlihat baik-baik saja seperti berusaha mengenali dan menyapa teman lamanya.

Bintang masih diam dan tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya seolah menjadi patung. Alika tersenyum, mobilnya pun bergerak kembali mencari tempat aman agar tidak mengganggu kendaraan lain yang hendak keluar. Begitu Alika turun dari mobil, ada mobil Eleanor yang baru saja tiba di pintu keluar juga.

"Bintang, ke mana kita akan pergi?" Eleanor juga menurunkan kaca mobilnya dan ia mengerutkan kening ketika sosok Alika menghampiri Bintang.

Bintang panik, dia menatap dua wanita di hadapannya secara bersamaan. Kenapa dia sulit sekali untuk mengatakan sesuatu?

"Bintang, kamu dan Mbak Ele saling kenal?" tanya Alika setelah ia tahu Eleanor lebih tua satu tahun darinya, ia jadi menambahkan kata sapaan 'Mbak' pada Eleanor. "Kamu ke sini bukan untuk mencari tahu tentang aku, kan? Dan kalian berdua berpacaran?" Alika kembali melayangkan pertanyaan ketika Bintang tak kunjung memberikan jawaban, selain menatap keduanya bergantian dengan ekspresi yang sulit terbaca.

"Oh tidak, gue sama Bintang memiliki janji untuk pergi berdua." Eleanor mengerti, ada sesuatu yang tidak ia tahu di antara Alika dan Bintang. Namun, ia dapat membaca cepat gelagat Bintang yang menunjukkan ketidak nyamanannya.

Alika manggut-manggut. Kemudian, ia beralih menatap mantan kekasihnya tersebut sebelum pergi dari hadapan keduanya. "Kalau begitu, silakan menikmati kencan kalian. Aku permisi dulu, senang bertemu denganmu lagi Bintang." Alika memberikan senyum termanisnya yang selama ini selalu mengisi bayang-bayangnya.

Bahkan setelah Alika masuk ke dalam mobil, Bintang masih diam saja di tempatnya. Eleanor gemas sendiri melihat pria itu dan membuat dirinya harus turun dari mobilnya sendiri.

"Are you okay?"

Baru setelah mendapatkan pertanyaan dari Eleanor yang kini berdiri di hadapan motornya, Bintang mengerjapkan mata pelan. "Sorry, sorry, kita pergi sekarang." Bintang langsung memakai kembali helm full face miliknya.

Eleanor mengangguk, ia memberikan pergerakan tangan agar Bintang dapat berjalan lebih dulu di depannya. "Lo duluan, gue bisa ngikutin lo dari belakang."

"Pakai mobil lo ini?" Bintang bertanya sambil menunjuk mobil Eleanor dengan dagunya.

"Iya lah, gue bawa mobil dan lo juga bawa motor, jadi karena lo yang ngajak duluan dan lo lebih tahu tempatnya, duluan aja."

Kendaraan Bintang sudah menyala dan begitu dia mulai berjalan pelan di depan Eleanor, wanita itu tersenyum simpul sambil berjalan masuk ke dalam mobil untuk mengekori kepergian motor Bintang.

Dalam perjalanan yang cukup macet karena jam pulang kerja, Eleanor sepertinya tertinggal cukup jauh dari Bintang. Ia pun meraih ponselnya dan mengetikkan pesan kepada pria itu.

Eleanor : Gue kejebak macet. Mending share lock alamatnya biar langsung ketemu di sana dari pada lo nunggu gue di pinggir jalan kelamaan.

Menyalakan musik adalah pilihan yang tepat ketika merasa bosan menunggu giliran jalan. Eleanor mendesah panjang, pandangan matanya memperhatikan sepanjang jalan di mana aktivitas manusia terus berjalan. Tidak ada hentinya, manusia sibuk dan tergesa-gesa juga tertangkap ekor matanya, rasanya membuat lelah sendiri sampai suara getar pada ponselnya membuat Eleanor berpaling dan sedikit menunduk.

Bintang : Gue tunggu di sini.

Eleanor pun memasang google maps setelah Bintang mengirimkan lokasinya. Dalam beberapa menit, Eleanor berhasil tiba di tempat tujuan. Ia melihat sekeliling dan mencari atensi Bintang. Ternyata Bintang mengajaknya di pasar malam.

'Tok, tok, tok.'

Ketukan pelan sebanyak tiga kali pada kaca mobil Eleanor, membuat wanita itu segera menurunkan kaca mobil sambil mendapati Bintang tersenyum dan sedikit menunduk.

"Turun dulu gih, biar gue cariin parkiran untuk mobil lo," kata Bintang terdengar tulus, maka tidak ada pilihan untuk Eleanor tetap berada di dalam. Ia menyerahkan kunci mobil kepada Bintang dan menunggu pria itu di pintu masuk.

Melihat Bintang selesai memarkirkan mobilnya dan berjalan mendekat, Eleanor segera menyamai langkah pria itu dan mengajaknya masuk ke pasar malam yang cukup padat oleh pengunjung.

"Kita mau ngapain ke sini?" Eleanor bertanya untuk mematikan kecanggungan di antara keramaian.

Bintang tersenyum mendengar pertanyaan Eleanor. "Bales kebaikan lo, cuma ini yang bisa gue lakuin dengan bawa lo pergi ke pasar malam. Karena gue nggak punya banyak duit buat traktir lo di restoran mewah atau kasih lo sesuatu yang mahal."

"Yang bener aja?" Eleanor tertawa pelan sambil menggelengkan kepala tidak percaya mendengar kejujuran Bintang, sontak saja Bintang menghentikan langkahnya sambil menatap Eleanor di sisinya dengan ekspresi bingung.

"Gue paham kalau ini nggak seberapa sama nyawa lo yang udah nyelamatin Bunda. Bahkan nyawa lo juga enggak bisa dinilai sama barang-barang mewah. Jadi menurut gue, bawa lo ke sini mungkin bisa bikin lo merasa hidup. Lihat banyak orang, menghirup dan merasakan suasana udara malam, dengerin tawa anak-anak atau rengekan mereka yang minta naik beberapa wahana di sini, intinya gue cuma mau ngebantu lo ngelepas kepenatan," tutur Bintang yang mendapatkan tepukan pelan di bahunya oleh Eleanor.

"Makasih, Bin. Nggak ada yang sepeduli itu sama gue. Tapi masalahnya lo juga butuh melepas kepenatan, kan?" sahut Eleanor yang mendapat tatapan dalam dari kedua netra Bintang yang terlihat lebih bersinar.

Kelamaan saling tatap, bahu Eleanor sampai terdorong lebih dekat ke sisi Bintang dan hal tersebut spontan membuat Bintang mendekap bahunya dari belakang. Eleanor mengerjapkan mata pelan, lalu ia berdeham untuk menetralkan degup jantungnya.

"Maaf, lo nggak apa-apa, kan? Kayaknya terlalu ramai, kita harus nyari tempat menepi," tutur Bintang yang mendapatkan anggukkan setuju dari Eleanor.

Pandangan mata Eleanor tertuju ke bianglala yang ada di hadapan mereka saat ini, kepekaan Bintang pun menarik pergelangan tangannya untuk mengantri di sana, membeli tiket sejenak sebelum masuk.

Antrian yang cukup panjang, giliran mereka masuk ke dalam kincir raksasa tersebut dan hanya diisi mereka berdua, duduk saling berhadapan. Eleanor menatap ke arah lain sebelum pintu ditutup dan bianglala ini mulai bergerak perlahan.

"Maaf ya soal tadi, gue jadi kayak orang bego," celetuk Bintang yang membuat Eleanor menoleh ke arahnya dengan kernyitan heran.

"Hah? Yang mana?"

"Alika."

Eleanor manggut-manggut, kejadian tadi sore terputar kembali. Tepat ketika mereka berada di tengah-tengah putaran, langit menjadi lebih indah karena pergantian malam.

"Dia anak magang di sana, keponakan bos gue. Trus karena rekan kerja gue lagi cuti nikah, jadi dia disuruh belajar sama gue dulu sekalian bantuin gue gitu," kata Eleanor sedikit bercerita.

Bintang yang mendengar kisahnya sekilas berusaha untuk tidak peduli, ia lebih memilih menghindari tatapan Eleanor yang terlihat mengintimidasinya. Dari perjalanan tadi, Eleanor sangat penasaran dan ingin menanyakan hal ini pada pria itu. Walaupun terdengar tidak sopan, tapi apa salahnya dia bertanya? Untuk dijawab atau tidak dengan Bintang, itu adalah haknya, yang paling penting Eleanor sudah bertanya dan dia memiliki alasan di balik itu semua.

"Maaf, kalau boleh tahu, dia siapa lo Tang?"