webnovel

Bab 4 Hamil

Gilda yang hendak pergi itu pun menjadi heran saat Kendrick melepas tangannya tiba-tiba dan tersenyum serta berdiri ke arah Carla. Melihat senyum Kendrick, Gilda menggeleng. "Dasar! Oh, jangan bilang kalian berdua pernah ada hubungan ...," bisik Gilda yang tak terlontarkan sambil menatap Kendrick yang mengucapkan selamat pada Carla dengan tidak tulus. Gilda mampu melihat ekspresi juga nada suara Kendrick yang berbeda.

Tiba-tiba saja Carla menerima pelukan Kendrick dan wanita itu mengajak Kendrick ke arah meja khusus makanan. "Aku harus membawa sahabatku ini sebentar, Gilda. Kami pergi dulu, ya!" seru Carla yang sudah pasti Gilda persilakan. Detik itu juga, Gilda menyadari bahwa pasti ada sesuatu di antara Carla dan Kendrick. Sesudah kepergian dua orang itu, pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.

"Ed? Kenapa ke sini? Kau tidak mau berduaan dengan Carla?"

Edzhar tertawa pelan. "Untuk apa? Dia tidak akan kemana-mana. Kebetulan aku sedang ingin berbicara dengan sahabatku." Gilda lantas menunjuk dirinya sendiri. "Siapa lagi kalau bukan kau, Gil? Ayo, kita ambil makanan terlebih dulu sebelum berbincang denganmu lebih jauh."

"Ah, tidak bisa. Aku haru pulang, Ed." Edzhar yang sudah meraih tangan Gilda itu langsung merasakan hempasan cukup kencang. "Bibi sedang membutuhkanku. Ada banyak pesanan roti untuk besok pagi, kami semua akan sibuk. Aku ingin pulang sekarang," alasan Gilda yang membuat Edzhar menatapnya penuh selidik.

"Kau sedang tidak berbohong, 'kan?"

"Tidak, Ed. Aku serius, besok pagi ada pesanan roti. Malam ini kami harus mulai membuat sebagian."

Dengan berat hati Edzhar mengizinkan Gilda pulang. Namun, sebelum itu Edzhar menelepon sang sopir agar mengantar Gilda pulang. Edzhar juga meminta Gilda untuk bertemu dengan Mateo terlebih dulu sebelum angkat kaki dari kediaman Carla.

*

Hampir satu bulan lamanya Gilda berkutat dengan toko serta customer yang selalu ramai setiap harinya. Semenjak toko rotinya ikut dipromosikan di media sosial, Gilda jadi tak punya waktu untuk berlibur beberapa hari. Bahkan ia harus mencari tambahan pekerja, dan menyewa tempat lagi untuk memperluas ruang produksi roti dan kue-kue miliknya.

Akibat dari kesibukan itu, Gilda pun jarang memerhatikan kondisi tubuh. Hingga siang ini Gilda mendadak pingsan di ruang produksi. Dalila yang panik lantas meminta beberapa pekerja untuk membantunya mengantar Gilda ke rumah sakit.

Belum sampai di rumah sakit, Gilda sudah sadar. Karena efek aroma dari minyak kayu putih, wanita itu terbangun. Gilda yang sudah membuka mata itu pun berkata, "Kepalaku pusing ... sepertinya karena perut kosongku."

"Kau membuatku khawatir! Lain kali jangan lewatkan jam makan siangmu, aku tidak suka melihatmu pingsan!" sembur Dalila dengan muka yang masih syok. "Kita hidup hanya berdua saja, Gilda. Seharusnya perhatikan kesehatanmu, aku hanya punya dirimu," tambahnya yang membuat Gilda mengangguk dan berusaha untuk duduk tegak.

"Cari tempat makan saja, Bibi. Aku lapar," ucap Gilda seraya mengelus perutnya. Sang bibi pun meminta sopir toko roti mereka untuk mencari tempat makan terdekat.

Tidak butuh waktu lama, mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan resto. Dalila dengan bantuan karyawannya, membantu Gilda turun. "Tidak perlu berlebihan, aku baik-baik saja. Lebih baik kalian kembali ke toko, aku bisa urus diriku sendiri," terang Gilda setelah mereka keluar dari mobil.

"Aku akan mengantarmu sampai dalam," lontar Dalila tegas. Ia menggandeng Gilda sampai masuk ke resto tersebut. Sampai di dalam, Gilda memohon pada sang bibi untuk kembali ke toko, dan membiarkannya pulang sendiri. Karena Gilda sangat keras kepala, alhasil Dalila setuju dengan meminta sopir toko untuk tetap menemani Gilda. "Jaga dirimu baik-baik, aku kembali sendiri saja. Makanlah yang banyak," pesan Dalila sebelum keluar.

Seperginya sang bibi, Gilda menyampaikan apa yang ingin sekali ia makan pada waitress. Begitu sang pelayan resto tersebut pergi, Gilda terdiam sambil mengelus perutnya. Ia menunduk dan berbisik, "Maafkan aku karena terlalu fokus bekerja, sampai lupa bahwa bisa saja kau kelaparan, maaf ...."

Makanan yang Gilda pesan pun datang. Gilda sangat ingin memakan sapo tahu seafood yang menurutnya sangat nikmat dimakan di waktu terik seperti ini. Bukan cuma itu, di meja Gilda sudah tersedia cumi goreng mentega. Satu gelas jus alpukat bahkan sudah lebih dulu ia minum sebelum mencicipi menu utama.

Gilda tidak langsung menghabiskan sapo tahu, tetapi diselingi dengan cumi goreng mentega yang tak kalah menggugah seleranya. Wanita itu tampak makan dengan tenang, dengan sesekali mengelus pelan perutnya. Sesekali harus meminum jus, karena haus melanda.

Wanita yang memakai gaun sebetis berlengan pendek itu dikejutkan dengan suara seseorang. Suara yang tak asing, dan berasal dari belakang tubuh, membuat Gilda menoleh. Sosok Mateo tengah tersenyum padanya dan memilih duduk di depan Gilda tanpa izin lebih dulu.

"Ka-Kakek?" Gilda agak terbata-bata dan berusaha menunjukkan senyum. "Apakah Kakek makan siang sendirian?" tambahnya sembari melirik ke kanan dan kiri, lalu ke belakang sebelum akhirnya kembali melihat depan.

"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan padamu, Gilda ...," balas Mateo yang terlihat begitu serius di mata Gilda. Wanita itu sampai meraih segelas jus alpukatnya sebelum mengangguk dan mempersilakan Mateo bersuara. "Hal ini mengenai malam ... di mana kau dan Ed pulang dari club."

Detik itu juga Gilda merasa waktu berhenti. Tatapannya pada Mateo semakin tajam, terlebih saat tangan kirinya refleks terulur ke perut yang masih rata. Dadanya berdegup lebih cepat saat Mateo mengambil sebuah ponsel dari kantong kemeja yang pria tua itu pakai, dan mengucapkan, "Ada yang aneh malam itu."

Gilda masih menutup rapat mulutnya, dan semakin memegangi perut. Berdoa di dalam hati, saat ponsel Mateo yang menyala disodorkan padanya. Gilda yang melihat rekaman CCTV di layar ponsel Mateo, lantas menutup mulutnya yang menganga beberapa detik.

"Malam itu kau tidak tidur di kamar tamu, Nak." Gilda perlahan mengangguk, kaku, bersama senyum yang sangat dipaksakan. Mateo yang mengamati ekspresi Gilda, sama sekali tidak mengalihkan sorot matanya. Ia memerhatikan gerak-gerik Gilda yang mulai berubah lebih jelas.

"Pagi-pagi buta itu apakah kau keluar dari kamar cucuku?" tanya Mateo yang membuat jantung Gilda terasa seperti kena pukulan benda tumpul nan berat. Gilda perlahan mengangguk-anggukkan kepalanya, dan membuat sudut bibir Mateo tertarik ke atas.

"Tetapi tidak terjadi apa-apa, Kakek. Kakek tidak perlu khawatir," ucap Gilda yang mencoba tersenyum lebih lebar. "Aku dan Edzhar hanya tidur, tidak lebih."

"Aku belum bertanya sejauh itu."

Gilda makin sulit bernapas mendengar ucapan Mateo yang seakan-akan ingin menggali lebih dalam. Gilda pun merasa bahwa apa yang ia katakan barusan sudah berlebihan, dan mampu menimbulkan kecurigaan Mateo terhadap sikapnya. Gilda tertunduk sebentar, sebelum akhirnya menatap Mateo.

"Kumohon, jangan ceritakan kejadian itu pada Edzhar maupun Carla. Aku tidak ingin merusak hubungan mereka berdua, Kakek. Malam itu hanya kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi," jelas Gilda sembari meraih tangan Mateo. "Aku akan menjauhi mereka, aku tidak akan mengganggu hubungan Ed dan Carla, Kakek. Biarkan malam itu menjadi kenangan buruk bagiku saja."