webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Historia
Sin suficientes valoraciones
240 Chs

13. Teror Dalam Pondok

"Kegiatan hari ini kita cukupkan. Tetapi sebelum kalian beristirahat di pondok masing-masing, Aku ingin bertanya kepada kalian semua. Apa yang sudah kalian pelajari dari kegiatan hari ini?" Tanya Sutaredja kepada murid-murid kecilnya yang sedang berbaris. Kemudian salah satu dari muridnya mengacungkan jari seperti hendak menjawab. "Nah, Turo, Silakan."

"Kami belajar tentang perjuangan, Kakek Guru," jawab seorang murid.

"Nah, benar sekali kamu, Turo. Tetapi ada lebih banyak pelajaran mendalam yang bisa kalian kupas. Kalian telah susah payah mengambil air dari sungai di bawah gunung untuk kemudian kalian bawa ke sini, menanjak melewati jalan setapak dan semak belukar penuh duri, dipikul sekuat tenaga, menjaga keseimbangan supaya air yang kalian bawa tidak tumpah kemana-mana. Apakah ada yang paham makna tersirat dalam perjuangan yang Turo maksud barusan?" Tanya sang guru kembali.

"Sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, kami hanya disuruh memikul dua gentong berisi air yang diambil dari sungai di bawah gunung untuk kemudian dibawa naik ke sini dan dituangkan ke dalam kolam itu. Kemudian turun untuk mengambil air lagi lalu naik untuk menuangkan lagi ke dalam kolam, begitu saja secara berulang-ulang, Kakek Guru," jawab salah satu muridnya yang lain tanpa mengacungkan tangan. "Padahal di dekat sini pun ada mata air, dan juga bulan ini sudah masuk musim penghujan. Kenapa tidak kita mengambil cara lebih mudah untuk mengambil air di tempat terdekat? Atau, kenapa tidak menunggu airnya terisi penuh oleh air hujan saja? Apakah Kakek Guru sengaja menyiksa kami? Sepertinya kami tidak sedang mendapatkan pelajaran apapun kecuali rasa haus dan lapar."

"Hei, Sayuti, jaga kesopananmu dalam bicara. Beliau guru kita," bisik Turo kepada Sayuti memperingatkan.

"Tidak apa-apa Turo, biarkan teman kamu bicara bebas, dia pun berhak mengatakan ketidaknyamanannya," ujar gurunya.

"Apa tujuanmu belajar di sini, Sayuti?" tanya guru.

"Ingin menjadi prajurit negara, Guru," Jawab muridnya.

"Prajurit negara dengan tugas apa? Prajurit perbatasan? penjaga kedaton? atau prajurit tempur?" tanya guru dengan melangkahkan kakinya pelan mendekat ke Sayuti.

"Prajurit pengawal Raja Agung, Guru," jawab Sayuti tegas.

Sang Guru berjalan santai ke belakang barisan, "Menjadi seorang tentara, tak melulu tentang kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan hati. Bagaimana untuk bisa mengatur emosi, bagaimana untuk bisa menahan kesabaran, bagaimana untuk bisa ikhlas bertugas. Di situasi yang sebenarnya, prajurit seringkali mendapatkan masalah yang tidak terduga. Kamu bahkan tidak punya waktu untuk bersiap, apalagi menjadi Pasukan Pengawal Raja yang memikul tanggung jawab besar untuk menjaga nyawa orang terpenting di negara ini," jawab Sang Guru dengan tenang.

"Baik, Kakek Guru. Maafkan saya yang telah lancang."

"Tidak apa-apa, aku mengerti kondisi letih kalian. Baiklah sekarang silakan kalian membubarkan diri, bersihkan badan kalian, lalu istirahatlah di pondok kalian masing-masing."

Rupanya sisa-sisa cahaya matahari sudah mulai meredup, warna jingganya semakin memudar. Hari sudah mulai gelap, para murid sudah mulai beristirahat di pondoknya masing-masing. Sang Guru Sutaredja berjalan santai di depan bangunan utama membawa sebuah obor yang digunakan untuk menyalakan beberapa obor lain di sudut-sudut pagar pelataran perguruan.

Ketika itu ada sebuah obor yang tidak menyala ketika di tempelkan api dari obor yang dibawanya.

"Runce ...! Runce ...!" teriak Sang Guru memanggil salah satu murid dewasanya.

"Runce ...! tolong ambilkan Minyak Gondorukem kemari!" Sang Guru mengulangi panggilannya.

Tidak ada jawaban yang terdengar, Sang Guru mengulangi panggilannya, "Runce...!" Tiba-tiba saja, "Aaaarrgghhh...!" suara teriakan terdengar dari dalam pondok. Bergegaslah sang guru berlari menuju dalam pondok. Murid dari bangunan pondok lain pun turut berlarian menuju sumber teriakan.

Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat banyak muridnya yang termasuk anak-anak tergeletak bersimbah darah. "Kakek Guru, lihat Kakang Runce...," teriak salah satu murid dari pondok lain sambil menunjuk Runce yang sedang sekarat. "Runce," bergegas Sang Guru mendekat kemudian memangku kepalanya yang bersimbah darah, "Katakan, Siapa yang melakukan ini?" tanya Sang Guru jengkel menunjukan wajahnya yang memerah dan matanya yang mulai berkaca.

"Sa sa saya tidak mengenalnya, Guru. Tapi mereka kabur keluar melalui atap sana," dengan gagap menahan sakit, Runce menunjuk ke arah atap yang berlubang.

"Kalian cepat bawa mereka ke Balai Pengobatan. Aku akan mengejar bajingan itu," perintah Sang Guru kepada muridnya yang lain.

"Saya ikut, Kakek Guru," pinta salah satu murid tertua.

"Kamu jaga padepokan!" perintah Sang Guru tegas sebelum akhirnya meloncat ke arah atap dan melesat dengan menggunakan ajian peringan tubuh untuk mengejar para peneror.

Dengan cepat Sang Guru melesatkan diri menuju ke arah hutan pinus. Tubuhnya yang ringan membuatnya sangat mudah meloncat dari pohon ke pohon layaknya seekor tupai. Tak jauh dari situ, dari atas pohon dia melihat empat orang berbaju merah sedang berlari. Dengan penuh kemarahan Sang Guru segera menjangkau pasukan berseragam merah yang diduga peneror tersebut dan kemudian menarik kerah baju salah satu anggota gerombolan itu dari belakang.

Kemarahan membuat Sang Guru menyerang mereka secara membabi buta. tanpa pilihan lain, mereka yang masih memakai cadar untuk menutupi wajah pun terpaksa melawan Sang Guru, meski mereka tahu kesaktiannya tidak akan cukup untuk melawan seorang yang sudah mahsyur di dunia persilatan.

Mereka mencabut pedang dari sarungnya untuk melawan Sang Guru. Dengan mudah semua serangan mereka bisa dimentahkan. Tak butuh waktu lama untuk Sang Guru melumpuhkan mereka. Pedang pun direbut dari tangan mereka dan diarahkan ke salah satu dari mereka yang tergeletak.

"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Sang Guru mengacam dengan menodongkan pedang ke leher si peneror.

"Kami bekerja sendiri," jawab Si Peneror.

"Hidup matimu bergantung pada tanganku, masih saja mengelak. Jika aku menggorok lehermu kamu binasa, sedangkan Tuanmu masih bisa hidup tentram. Cepat Jawab!" bentak Sang Guru mengancam.

"Kami suruhan Saga Winata," jawab peneror itu.

"Saga Winata?" tanya Sang Guru keheranan sambil kemudian menjatuhkan pedangnya.

"Tolong ampuni kami, Tuan Sutaredja," peneror itu memohon.

"Tidak, kalian akan aku bawa ke Kotaraja untuk mendapat hukuman."