Wajah Kamilia sedikit pucat saat tahu itu rumah orang tua Bagas. Wanita itu mengeluh dalam hatinya. Dia merasa Bagas sudah menjebaknya semakin jauh.
"Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Kamilia.
Pemuda itu hanya mengangkat bahunya. Dia malah bersiap untuk turun.
"Tunggu, mengapa kau membawaku ke sini?" Kamilia bertanya lagi.
"Aku sudah lama tidak ke sini, kangen." Bagas menjawab sekenanya.
"Bukan sebuah alasan!" Kamilia berkata dengan sedikit penekanan. Dia memandang Bagas dengan tajam.
"Sudahlah, mau ikut turun gak?"
"Hendra sedang sakit dan menungguku di rumah," jawab Kamilia.
"Terlambat … ayo ikut!" Bagas tidak menyerahkan kunci mobil kepada Kamilia.
Kamilia terpaksa mengikuti Bagas. Entah rencana apa lagi yang ada di pikiran laki-laki itu. Kamilia benar-benar tidak bisa menduga. Pikirannya masih tertuju kepada Hendra. Takut penyakitnya bertambah parah.
Kamilia melihat ada beberapa mobil mewah berderet. Kamilia melirik Bagas yang berjalan di sampingnya. Bagas menatap lurus ke depan. Kamilia heran, lelaki ini lebih kaya dari Hendra. Namun, Bagas lebih sederhana hidupnya. Punya rumah begini luas dan mewah, dia malah memilih tinggal di apartemen yang kecil.
Penilaian tentang Bagas perlahan-lahan berubah. Rupanya Bagas lebih suka hidup sederhana. Sekali lagi Kamilia melirik Bagas.
"Ada apa?" Kini, Bagas melirik gadis tersebut. Kamilia tidak menjawab, dia hanya tersipu malu. Ketahuan mencuri pandang.
Rumah Bagas sepi dan dingin. Tidak tampak ada penghuninya selain seorang pembantu dan penjaga gerbang tadi.
"Ayahmu ke mana?" tanya Kamilia.
"Entahlah," jawab Bagas tak acuh.
Kamilia diam, salah tingkah entah harus berbuat apa. Bagas sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba pintu gerbang dibuka dan masuklah sebuah mobil. Seorang lelaki perlente keluar dari dalam mobil tersebut. Kamilia mengenalnya sebagai Freza, bapaknya Bagas. Hati gadis itu berdebar-debar, sebenarnya dia tidak siap bertemu lagi dengan Freza.
"Hai, Kamilia." Lelaki itu menyapa.
"Ha hai." Gugup Kamilia membalas.
Pria setengah tua itu duduk di kursi. Mukanya kini lebih cerah daripada saat jumpa di cafe. Dia memandang Kamilia begitu dalam. Dia coba mengingat-ingat, seperti pernah melihat wajah seperti itu.
"Kapan kalian menikah?" tanya Freza.
"Apa?" Kamilia balik bertanya sambil menoleh ke arah Bagas.
"Secepatnya, dong, Pah," jawab Bagas.
"Bagus." Freza tampak begitu senang dengan jawaban Bagas. Lelaki itu tertawa kecil sambil masuk ke dalam.
"Aku pulang!" Kamilia menyambar kunci mobil di meja, kemudian berjalan keluar. Bagas secepatnya mengejar dan menjejeri langkahnya.
"Aku antar?" tanya Bagas.
"Tidak usah."
Kamilia cepat masuk dan mengunci mobilnya. Dia ingin secepatnya pergi dari sini. Tempat yang banyak menawarkan omong kosong. Pernikahan yang dia inginkan, bukan seperti ini.
**
"Dari mana?" tanya Hendra.
Rupanya lelaki itu sudah pulih. Dia memandang tajam Kamilia. Lelaki itu cemburu melihat Kamilia baru pulang.
"Kerja," jawab Kamilia. Tak urung hatinya ketar-ketir juga. Wanita itu melihat ada kemarahan dalam kilatan mata Hendra.
"Pulang kerja ke mana?" Hendra masih menyelidik.
Kamilia diam saja. Wanita itu sibuk membersihkan makeup bekas tadi pengambilan gambar. Dia membiarkan Hendra dengan segala ocehannya. Sekarang Hendra hobi sekali marah.
"Kamu harus tahu diri, harus ingat siapa dirimu?" Hendra mulai dengan ungkitan yang selalu menyakitkan bagi Kamilia. "Kamu dulu hanyalah wanita sundal."
Selalu seperti itu, sejak Kamilia menjadi model cacian selalu ditujukan kepadanya. Entah mengapa, Hendra selalu cemburu.
"Kau mau menyangkal apa? Jelas-jelas kamu berselingkuh, Mila!" Tiba-tiba Hendra menuduh Kamilia tanpa basa-basi lagi.
Cass..
Seperti tersengat arus listrik, Kamilia kaget. Dari mana Hendra tahu hubungannya dengan Bagas. Sejenak Kamilia menghentikan aktivitasnya. Dia memandang Hendra lama.
"Dari mana dia tahu?" pikirnya. "Kau mengada-ada Hendra!" kata Kamilia.
"Jangan sampai aku kalap, Mila!" Hendra mulai membentak.
Kamilia diam karena percuma, pembelaan apa yang akan dia sampaikan kepada Hendra. Kamila berusaha untuk tetap tenang. Wajahnya disetel untuk tidak berubah. Dia mengerti dengan watak Hendra. Sudah berkaki dia melihat kemarahan Hendra kepada orang lain. Tidak ada ampun lagi.
Kamilia sering mendengar Hendra memberikan perintah kepada seseorang. "Siksa sampai mengaku!" Kalimat itu sudah akrab di telinga Kamilia. Kini, ketakutan menyergap hatinya. Dia takut hal yang sama akan Hendra lakukan kepadanya.
Ternyata dugaan Kamilia benar. Hendra tampak semakin marah, melihat Kamilia terdiam. Caci maki keluar dari mulutnya, menebarkan duri-duri yang menancap di hatinya. Dengan sabar Kamilia memungut duri-duri tersebut. Tak ada keinginannya untuk membalas. Sadar dirinya juga telah bersalah dengan melayani segala omong kosong Bagas.
Praak.
Sebuah vas bunga terbuat dari kaca, pecah beradu dengan kening Kamilia. Kamilia tidak sempat menghindar, kejadian itu begitu cepat. Darah mengalir ke pipinya. Kamilia memegang pelipisnya yang berdarah. Dia limbung.
"Mila!" Masih sempat didengarnya suara orang berteriak. Mungkin Hendra, selanjutnya gelap.
Kamilia terbangun saat malam mulai gelap. Dia tidak tahu entah berada di mana, jendela kamar ini asing baginya.
"Syukurlah, kau sudah sadar, Mila," kata Bagas.
"Bagaimana aku bisa bersamamu? Aduh!" Kamilia mengaduh saat terasa perih di keningnya. Dia meraba, terdapat perban di sana.
"Dengarkan! aku akan bercerita tentang kejadian tadi itu," ujar Bagas.
Kamilia membetulkan letak duduknya, bersiap mendengarkan cerita Bagas.
***
Tadi aku menyusulmu ke rumah Hendra. Entah mengapa hatiku tidak tenang. Ternyata dugaanku benar. Aku masuk karena pintu depan tidak dikunci. Aku dekati kamar tempat kamu dan dia bertengkar. Aku dengar Hendra sedang mencaci maki dirimu. Kamu diam saja aku lihat. Hendra semakin kalap melihat dirimu terdiam. Rupanya dia cemburu padaku.
Praaang.
Aku terkejut saat ada suara benda pecah. Cepat kulongok ke dalam kamar. Kulihat Hendra terpaku melihat pelipismu berdarah.
"Mila!" aku berteriak. Cepat aku memburu badanmu yang ambruk dengan darah di wajahmu.
"Bagas!' katanya. Hendra kaget melihatku sudah berada di dalam kamarnya.
"Keparat!" Kutonjok mukanya sampai dia terhuyung. Kupukul kembali sampai dia terjatuh ke lantai. Aku Telpon polisi dan mereka segera datang. Aku membawamu ke rumah sakit.
"Lama sekali kamu tak sadar, Mila." Bagas mengakhiri ceritanya.
"Terus, Hendra bagaimana?" tanya Kamilia.
"Polisi membawanya, nanti aku tengok dia, aku pastikan dia masuk penjara!"
"Jangan!" seru Kamilia.
"Ada apa denganmu, Mila? Dia telah merusak wajahnmu. Kau tahu? Wajahmu adalah aset bagimu." Bagas kelihatan benci sekali kepada Hendra.
Kamilia meraba keningnya yang terluka. Masih terasa pedih, tentu saja hatinya lebih perih lagi. Tanpa sadar air matanya mengembun. Kamilia berusaha agar air itu tidak tumpah. Namun, Bagas terlanjur
melihatnya.
"Kamu menangis, Mila?"
"Gak." Sepandai-pandainya Kamilia berkilah tetap saja Bagas merasa geram dengan tingkah Hendra.
"Aku akan masukkan dia ke penjara, Mila! Aku pastikan itu!"
"Jangan, biarkan dia bebas, aku memaafkannya," kata Kamilia memohon.
Sementara itu, di kantor polisi Hendra kebingungan harus minta tolong siapa. Dia teringat kepada seseorang. Hendra mengirimkan pesan lewat ponselnya : Pak Freza, tolonglah! Aku di kantor polisi.