"Aku hanya menyukai waktu yang tercipta antara kita berdua, meskipun hanya diisi keheningan." Tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Genta, aku memilih untuk diam dan memejamkan mata.
Kami sudah berada di bandara. Tidak ada pembicaraan serius antara aku dan Genta. Sampai aku mendengar informasi bahwa pesawat yang akan dinaiki Genta akan segera lepas landas.
"Nad, aku pergi ya."
"Iya, Ta. Hati-hati di sana, tapi aku gak perlu bilang begitu kamu kan udah tahu gimana tempat itu, lebih paham daripada aku." ucapku sambil menepuk lengan Genta dengan pelan.
"Nad, kamu bilang hati-hati itu hanya sebuah formalitas agar hubungan kita terlihat baik-baik saja, bukan?"
"Genta? kamu jadi pergi, kan?"
"Eh, iya Nad. Kamu jangan khawatir. Harusnya kamu yang hati-hati karena waktu kamu hanya sebulan, itu juga kalau kamu pergunakan dengan baik. Nad, kalau nanti aku di sana lebih lama bahkan satu hari saja, itu artinya kamu harus perjuangkan yang kemarin sempat terlewatkan."
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Genta. Dia membicara apa? Perpisahan yang seperti apa yang dia maksud? Tapi, sedetik kemudian dia memeluk dan berjalan meninggalkanku di antara orang-orang berlalu-lalang.
Genta, kamu sedang menjalankan peran apa? Kamu tahu semuanya? Lalu, kenapa kamu semudah itu melepaskanku?
Aku memotong jalannya, "Hanya sejauh ini usahamu, Genta?"
Genta menyunggingkan senyum kemudian berjalan lurus melewatiku, tapi aku menarik tangannya dan dia berhenti, "Nad, aku juga sudah berusaha. Dulu, laki-laki itu juga melakukan hal yang sama denganku, yang beda dari kami hanya hasil usahanya. Dia berhasil tapi tidak denganku. Nad, aku tidak akan kembali ke sini jika bukan kamu menyuruhku untuk pulang." Kembali Genta berjalan lurus dengan menggeret kopernya. Tidak lagi kuhentikan langkahnya, dia berhasil membius dan sekarang aku malah tidak tahu harus melakukan apa.
Banyak hal yang terus berputar di kepalaku. Aku tidak mungkin membiarkan Genta pergi sementara dialah yang membuatku 'ada' selama ini. Benar, bahwa perasaan tidak perlu dibalas, tapi bukan ini yang aku harapkan. Apa aku coba saja menerima Genta atau aku kembali ke masa itu…
"Mbak?"
"Mbak, Nad?"
"Eh, iya pak!?"
"Tadi, kata mas Genta, saya harus mengantarkan mbak ke mana saja mbak mau pergi. Sekarang mbak mau pulang ke rumah atau mau pergi ke mana, lagi?"
Sejauh ini Genta memang tidak pernah mengecewakan. Tapi perasaan bukanlah hal yang bisa dipaksakan. "Antar saya pulang saja, pak."
"Baik, mbak."
Harusnya kamu tidak perlu melakukan ini, Genta. Karena tempat mana pun yang ingin aku datangi tidak akan sama lagi. Kamu tidak perlu repot menyuruh orang, karena aku tahu tempat mana yang ingin kutempati.
***
Aku mengambil dua potong keik rasa stroberi kemudian menyiapkan satu botol air mineral dingin. Duduk di bangku yang menghadap keluar kamar. Sambil terus menguyah, kubuka kotak yang kemarin berada di atas lemari. Kudapati foto serta tulisan-tulisan atas mimpi dan cita-cita mereka. Aku ingat siapa dan bagaimana awal pertemuanku dengan mereka.
Kusambar tas yang bertengger di atas tempat tidur, lalu dengan sedikit tergesa-gesa aku menuruni anak tangga. Siapa pun pasti tahu ke mana tujuanku saat ini.
"Nad? Buru-buru banget, mau ke mana?"
"Bu, Nad harus selesaikan ini!"
"Itu yang dari dulu ingin ibu dengar, Nad. Apa pun hasilnya itu pasti yang terbaik untukmu." Aku tersenyum membalas semua pernyataan ibu. Tak ingin bernasib sama seperti Mas Aga dan tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari.
Sebelum aku pergi melihat negeri Sultan, aku sengaja mengunjungi gundukan tanah yang layaknya bukit di dekat taman, tempat yang selalu kami datangi kala sore untuk melihat matahari tenggelam. Bukit senja kami terlihat semakin lusuh, seingatku, dulu rumput hijau masih sangat mendominasi tapi kini banyak bekas pijakan kaki yang membuat rumputnya menjadi mati.
Ini memang bukan waktu yang pas untuk melihat matahari tenggelam karena masih terlalu siang. Melihat semua kenangan kita membuat hati ini meleleh dengan cepat, ingin sekali aku melakukan ini denganmu tapi ada banyak ketidakmungkinan yang sudah aku perkirakan.
Kutinggalkan tempat itu kemudian kembali berjalan, mengingat bahwa ada satu tempat yang memberi banyak sekali kenangan.
Aroma air asin semakin menyeruak, benar saja, hati tidak akan pernah salah. Sebuta apa pun mata, hati belum tentu.
"Kak, Nad?" aku langsung menoleh mencari sumber suara itu, ternyata, dia.
"Sultan?"
"Iya kak!!" benar, hatiku berdesir ketika mendengar suara itu, lagi. Suara yang dengan lantangnya menyatakan akan selalu menjagaku, bagaimana pun caranya.
"Kakak mau ke mana?"
Kenapa pertanyaan dia, ke mana? Bukankah dia sudah tahu jawabannya? "Mau ke negeri Sultan." Ucapku masih dengan senyum yang merekah.
Sambil terus berjalan Sultan memang tidak mengatakan apa pun, tapi kulihat dia sedang menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu.
"Yang Sultan dan teman-teman tahu terakhir kali adalah, bahwa kakak kehilangan ingatan. Itulah kenapa kami juga merasa sudah kehilangan semuanya. Kak Deka ke sini terakhir kali hanya untuk membicarakan itu, bahwa kakak sudah kehilangan kami. Setelah itu, kami hanya mampu belajar-belajar sendiri dan rumah pohon tidak lagi berfungsi secara utuh seperti biasanya, negeri Sultan menghilang. Terlebih, lagi, kak Deka memang sering ke sini tapi tidak seramah dulu. Kami jarang bicara, dia malah lebih sering termenung menatap laut."
Aku merasakan kesedihan yang amat dalam mendengar semua yang Sultan ceritakan. Bahkan aku merasakan hal yang lebih menyedihkan dari yang kalian rasa. Bagaimana aku bangkit, bahkan sampai saat ini aku belum bisa pastikan bahwa aku sudah bangkit atau masih di lembah itu.
"Pernah sekali, waktu kak Deka ke sini bawa kertas besar, Sultan juga gak tahu itu untuk apa tapi Sultan sempat ngintip, kejadian itu mungkin empat bulan yang lalu. Kak Deka membuat sketsa seorang perempuan yang kemudian dia remas dan dia masukan ke dalam botol. Dia campakkan dari atas bukit di ujung pantai sana. Semenjak kakak pergi, kak Deka memang jarang ke sini, sekali ke sini hanya sebentar itu pun tidak banyak bicara. Dia banyak berubah."
Apa yang barusan dikatakan oleh Sultan mungkin benar, dia kehilangan seseorang. Tapi, mana aku tahu kalau akan serumit ini karena dialah yang memintaku untuk pergi padahal aku tidak menginginkan itu. Yang sangat ingin aku ketahui adalah apa alasan sebenarnya dia pergi, kenapa dia memutuskan untuk pergi jika dialah yang paling menderita di sini?
"Sudah sampai kak!"
Kemudian kutoleh pandangan ke depan untuk melihat tempat yang menjadi rahasiaku. Tempat ini bukanlah tempat yang pernah membuatku bahagia, karena ini sangat kotor. Bukan karena sampah, alamnya masih sangat asri tapi aku merasa tempat ini sudah tidak bernyawa, tidak ada kehangatan di sana. Ternyata bukan hanya aku yang kehilangan Deka, tapi semuanya, tempat ini, Sultan dan teman-temannya. Bumi menyakitimu terlalu banyak.
"Sultan, kenapa ini berubah?"
"Sultan juga bingung kak, semenjak Kak Deka pergi dan kakak juga, semua teman-teman juga jadi malas untuk ke sini. Mereka lebih milih main di sekitaran rumah. Kalau Sultan ajak ke sini mereka selalu bilang, "malas ah, tempat itu udah gak menarik, lagi."
Teman-temanmu benar, Sultan. Tempat ini memang sudah tidak menarik lagi. Dulu, tempat ini adalah tempat yang paling nyaman untukku menyampaikan semuanya pada semesta. Tapi sekarang tempat ini seperti rumah tua yang ditinggal pergi oleh pemiliknya. Ditinggal tanpa alasan sangat menyakitkan, karena alasan itu penting untuk kita tetap menghentikan atau memperjuangkan.
Aku dan Sultan sedang duduk di atas gubuk sambil membersihkan sampah daun kering, "Kamu udah besar ya, Sultan. Makin pintar."
"Dari dulu Sultan udah begini, kak." Aku tersenyum dengan bangga, sambil sesekali menatap laut yang biru, lautnya masih sama tapi rasanya beda.
"Sultan, kita rapikan lagi tempat ini, mau?"
"Mau kak!"
Sambil terus membersihkan daun-daun dan rumput liar, aku meminta Sultan untuk kembali ke rumah mengambil alat-alat pertukangan karena ada atap yang terjungkit ke atas dan kehilangan pakunya.
"Kamu ambil martil, sapu terus satu lagi cangkul ya, Sultan."
"Siap kak, nanti Sultan ajak teman-teman ke sini juga, mereka pasti rindu juga sama kakak."
Aku membiarkan Sultan pergi, sementara badanku telah kaku. Aku runtuh dan terduduk di antara ilalang. Benar, mereka semua rindu, begitu juga denganku tapi aku tidak mampu melakukan apa pun, bahkan untuk menceritakan kebenaran saja aku tak mampu.
Dengan air mata yang belum berhenti, aku kembali bangkit dan naik ke rumah pohon itu, lagi. di sini terlihat jelas birunya laut, nelayan yang berlalu-lalang dengan sampannya serta angin yang membelai dengan pelan. Di hari ini untuk pertama kalinya aku membenci tempat indah ini karena tidak lagi ada kamu!
Beberapa foto sudah kabus terkena air hujan dan angina laut. Ada satu foto yang menampilkan senyummu dan Sultan. Kalian sedang membuat perahu dari kertas origami. Semesta, bisa kau kembalikan dia padaku?
"Kak, Nadir!" dengan kecepatan kilat kuusap air mata dan melihat ke bawah, mereka sudah datang! Wajah-wajah yang belum lama kembali di ingatanku dan sekarang mereka datang lagi, dengan wajah baru yang membuatku semakin merasa bersalah. Aku telah membuat jarak antara kalian dan Deka.
Seandainya, Deka tidak mengenalku dan tidak memperkenalkan aku dengan kalian, sudah pasti sampai sekarang dia tetap di samping kalian. Harusnya aku malu untuk datang lagi ke sini karena sudah menghancurkan semua mimpi. Mimpi kalian.
"Sebentar ya." Wajah-wajah berseri mereka menandakan rindu pada pertemuan-pertemuan kami di masa lalu, aku tak boleh menangis. "Kak, Nad!!" sahut mereka secara bersamaan dan kulebarkan tanganku mengisyaratkan untuk memeluk mereka semua. Dengan laju mereka berlari ke arahku dan tubuhku juga tidak mampu berdiri dengan tegap, hampir saja terjatuh karena tenaga mereka yang cukup kuat. Pelukan yang aku paham betul arti panjangnya.
Setelah bernostalgia sambil terus membersihkan tempat, ada satu anak perempuan yang bernama Asa, aku tidak terlalu familier dengan namanya tapi dia memang sudah menjadi bagian dari anggota Negeri Sultan dari awal terbentuk, mungkin dulu dia masih terlalu dini dan tidak banyak cerita.
Sekarang, anak itu malah beranggapan sebagai wakil dari Sultan, dia sangat suka berbicara dan punya mikropon sendiri berwarna merah muda. Dia juga bercita-cita sebagai pembawa berita.
"Kak Nadir, Asa nanti akan tampil di tv tiap hari, tiga kali sehari." Kami yang mendengar ucapanya tertawa dengan lepas. "Kalian jadi seperti minum obat, tiap hari ketemu aku. Walaupun gak secara langsung, tapi bisa mengobati rasa rindu." Asa mampu membuat tawa untuk teman-temannya tapi tidak denganku, karena kalimat yang terakhir dia ucapkan persis menancap di hulu hati, Asa kamu salah, karena semakin sering kita melihat maka rindu akan semakin sering datang. Di mana pun kamu sekarang, kuharap akan ada waktu yang mempertemukan kita, lagi.
Hari semakin sore langit jingga menuju kemerahan. Semua sudah pulang dan hanya meninggalkan aku sendirian, sambil terus berjalan meninggalkan tempat ini, aku berujar lagi dalam hati, semoga Tuhan menyiapkan waktu yang paling tepat untuk kita bertukar pendapat. Jika kita bukan pasangan setidaknya kita masih bisa bersahabat. Langit jingga, aku menunggunya. Laut, birumu cantik bercampur dengan jingga langit, aku pulang, ya.
Malam pekat, aku belum juga sampai di rumah. Tapi, Yogja bukanlah kota mati, ada banyak orang yang masih berjualan di pinggir jalan jadi aku tak perlu takut. Mungkin, karena kota kita sendiri dan kita tahu bagaimana budaya dan sifat masyarakatnya berbeda sekali saat aku berjalan di jalanan Belanda, selalu ada rasa takut yang berbeda. Rumah memang selalu membahagiakan.